Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa syariat Islam diproyeksikan untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan jargon rahmatan lil ‘alamin yang diusung oleh agama Islam itu sendiri.
Dalam tulisan sebelumnya sudah diterangkan bahwa setidaknya ada lima prinsip yang menjadi acuan dalam penetapan hukum Islam. Lima hal tersebut adalah ‘adam al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadrij fi al-tasyri’, al-maslahah, dan al-musawat wa al-‘adalah. Dua di antaranya sudah dijelaskan, yakni ‘adam al-haraj dan taqlil al-takalif yang bermuara pada kemudahan dalam beragama.
Berikut ini akan dipaparkan mengenai prinsip al-tadrij fi al-tasyri’, yakni penetapan hukum Islam secara bertahap.
Al-Tadrij fi al-Tasyri’ (Penetapan Hukum secara Bertahap)
Dalam proses perumusan hukum, Islam tidak abai terhadap adat istiadat dan kondisi sosial di masyarakat. Ketika menetapkan suatu hukum yang itu mengusik adat istiadat suatu kaum, Islam tidak langsung memvonis salah terhadap adat kebiasaan tersebut. Akan tetapi, proses penetapan hukumnya ditempuh secara gradual dan dialogis.
Dalam usul fikih, adanya tahapan-tahapan dalam penetapan hukum bertujuan supaya manusia memiliki kesiapan untuk menerima syariat tersebut serta memahami apa hikmah yang terkandung di dalamnya. Manakala ia sudah siap secara psikologis, selanjutnya syariat tersebut akan dilaksanakan dengan penuh ketundukan. Berbeda jika syariat tiba-tiba datang melabrak suatu adat yang sudah mengakar di masyarakat. Hal tersebut tentu akan mendapat penolakan dari masyarakat sehingga syariat Islam akan sulit diaplikasikan dalam kehidupan nyata [Al-Muhadzzab fi Ushul al-Fiqh al-Muqarin, juz 2, hal. 550].
Baca juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I)
Di dalam Alquran akan dijumpai banyak contoh bagaimana Islam menerapkan prinsip gradual dalam pensyariatan hukum. Di antaranya adalah ketika syariat mengharamkan minuman keras (khamr). Dahulu, minum minuman keras di kalangan masyarakat Arab merupakan suatu kebiasaan yang lumrah mereka lakukan.
Empat Tahapan Pengharaman Khamar
Demi mengharamkan minuman keras tersebut, para ahli tafsir menyebutkan bahwa setidaknya ada empat ayat yang diturunkan secara bertahap perihal status hukum khamar. Secara bertahap, keemat ayat tersebut adalah Q.S. An-Nahl ayat 67, Q.S. Al-Baqarah ayat 219, Q.S. An-Nisa’ ayat 43, dan pamungkas yang secara tegas mengharamkan khamar yaitu Q.S. Al-Maidah ayat 90 [Tafsir al-Baghawi, juz 1, hal. 294].
Berikut redaksi dari keempat ayat Alquran di atas. Pertama, Q.S. An-Nahl ayat 67:
{وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ} [النحل: 67]
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
Q.S. Al-Baqarah ayat 219:
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا} [البقرة: 219]
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”
Baca juga: Mengenal Diksi Tanya Jawab dalam Alquran
Q.S An-Nisa’ ayat 43:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ } [النساء: 43]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
Dan Q.S. Al-Maidah ayat 90:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة: 90]
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Dalam Q.S. An-Nahl di atas, Allah Swt. menjelaskan bagaimana masyarakat Arab pada waktu itu mendapatkan rezeki dan membuat minuman keras dari khamar. Pada saat itu, kaum muslim masih banyak yang minum khamar karena memang belum ada larangan.
Kemudian Allah Swt. menjelaskan bahwa meski dalam khamar terkandung manfaat, tetapi di dalamnya juga terdapat keburukan yang besar. Masih belum ada larangan tegas dalam ayat ini. Namun, pada tahap ini, terdapat sebagian sahabat yang sudah meninggalkan tradisi minum khamar dengan pertimbangan mafsadat yang dapat ditimbulkan. Di antara mafsadat tersebut adalah dapat merusak akal sehat.
Baca juga: Kegelisahan Umar bin Khattab dan Turunnya Ayat Pengharaman Khamar
Pada ayat ke 43 surah An-Nisa, Allah Swt. melarang kaum muslim melaksanakan salat dalam keadaan mabuk yang secara tidak langsung merupakan larangan minum minuman keras di waktu-waktu menjelang salat. Pada fase ini, larangan minum khamar masih belum tegas. Pasalnya, kaum muslim masih diperbolehkan minum khamar ketika waktu pelaksanaan salat masih lama, semisal setelah salat Isya atau setelah salat Subuh.
Barulah pada Q.S. Al-Maidah ayat 90, Allah Swt. dengan tegas melarang minum-minuman keras dalam kondisi apapun.
Menurut Imam al-Qaffal yang dikutip oleh Imam Fakhruddin al-Razi, hikmah di balik tahapan-tahapan larangan minum khamar tersebut adalah agar tidak memberatkan umat Islam. Hal itu disebabkan karena pada mulanya khamar memang menjadi kebiasaan yang telah melekat dalam tradisi budaya masyarakat Arab pada saat itu. Di samping itu ia juga kerap kali dimanfaatkan oleh umat Islam dalam berbagai hal. Sehingga, melarang minum khamar secara spontan akan dirasa berat oleh mereka [Mafatih al-Ghaib, juz 6, hal. 396].
Baca juga: Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?
Selain penetapan larangan minum minuman keras, ada banyak contoh lain yang menunjukkan bagaimana Islam sangat memperhatikan aspek gradual-dialogis dalam mensyariatkan suatu hukum. Hal ini merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada umatnya agar umatnya tidak kaget dengan syariat yang baru ditetapkan, terlebih jika syariat itu bertentangan dengan adat kebiasaan yang dilakukan.
Penetapan hukum dalam Alquran yang dilakukan secara bertahap menunjukkan bahwa hukum Islam selalu berpedoman kepada spirit meringankan beban manusia. hal ini dikarenakan proses pengharaman suatu perkara yang telah menjadi kebiasaan dapat diterima dengan penuh kesadaran dan ketundukan.