BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPrinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan

Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan

Syariat Islam hadir untuk membawa kemaslahatan dan keselamatan di dunia maupun di akhirat. Semua hukum Islam yang terdapat dalam Alquran dan hadis diperuntukkan bagi kepentingan hidup manusia, baik dalam aspek jiwa, harta benda, dan lain sebagainya.

Selain prinsip-prinsip yang sudah dijelaskan dalam dua tulisan sebelumnya, ada dua prinsip lagi yang menjadi ruh dalam setiap bentuk penetapan dan penerapan ajaran Islam. dua prinsip tersebut adalah al-maslahah (berorientasi maslahat) dan al-musawah wa al-‘adalah (kesetaraan dan keadilan).

Al-Maslahah (Berorientasi Maslahat)

Ulama sepakat bahwa semua hukum dan aturan dalam syariat pasti memiliki hikmah dan berorientasi maslahat bagi kehidupan manusia. Jangankan aturan-aturan syariat yang memang diproyeksikan untuk membimbing manusia, segala ciptaan Allah yang ada di alam raya ini pasti mengandung hikmah dan tidak ada yang sia-sia. Hal ini dijelaskan misalnya dalam Q.S. Al-Anbiya’ ayat 16

{ وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ }

Artinya: “Kami tidak menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya sebagai suatu permainan dan hal yang sia-sia belaka.

Baca juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I)

Eksistensi maslahah dalam setiap hukum syariat dibuktikan dengan rumusan yang dilakukan oleh para ulama ketika mengkaji setiap hukum yang ditetapkan dalam Alquran dan hadis.

Ada banyak hukum partikular-kasuistik dalam Alquran yang mengindikasikan bahwa dalam setiap aturan syariat terdapat hikmah dan maslahat di dalamnya. Dari ayat-ayat dan hadis-hadis partikular inilah para ulama kemudian melakukan proses deduksi yang menghasilkan suatu rumusan bahwa setiap hukum syariat berorientasi maslahat.

Salah satu ayat yang secara tegas menyebutkan ada maslahat di balik suatu syariat hukum adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 179:

{وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ }

Artinya: “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam syariat qishash terdapat hikmah besar dan maslahat bagi semua pihak. Qishash mengandung kehidupan bukan berarti dengan pelaksanaan qishash akan menciptakan kehidupan baru. Akan tetapi, syariat qishash berpotensi menyelamatkan kehidupan orang yang berniat membunuh dan orang yang diincar oleh pembunuh.

Pasalnya, jika seseorang tau bahwa ketika ia membunuh akan mendapat hukuman qishash, barangkali ia akan mengurungkan niatnya untuk membunuh. Hal ini, selain menyelamatkan nyawanya sendiri dari hukuman qishahs, juga akan menyelamatkan nyawa orang lain dari tindakan pembunuhan yang semula akan ia lakukan.

Baca juga: Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

Dalam diskursus ilmu usul fikih, kemaslahatan yang terkandung dalam setiap hukum Islam tersebut dirumuskan dalam sebuah kajian tersendiri yang disebut maqasid syariah.

Maqasid syariah sendiri dapat diartikan sebagai tujuan-tujuan syariat. Dalam hal ini, tujuan syariat adalah membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik, bermartabat, dan tentunya menggapai keselamatan di dunia dan di akhirat.

Secara umum, ulama membagi kepentingan manusia yang menjadi objek maqasid syariah menjadi tiga bagian; kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Dalam usul fikih, ketiga istilah di atas lebih familier dikenal dengan istilah al-dharuriat, al-hajiyat, dan al-tahsiniat.

Al-Musawah wa al-‘Adalah (Kesetaraan dan Keadilan)

Salah satu prinsip yag tak kalah penting dalam proses perumusan hukum syariat adalah konsep al-musawah wa al-‘adalah. Dalam tataran aplikatif, Islam sangat menjunjung tinggi aspek kesetaraan dan kesamaan. Islam tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasarkan ras, suku, bangsa, dan bahasa. Di hadapan syariat Islam, semuanya berkedudukan sama.

Prinsip al-musawah ini di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13:

{يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ}

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Menurut sebagian riwayat, ayat di atas turun untuk menegur sebagian orang yang bersikap rasis terhadap sahabat Bilal bin Rabah r.a.

Baca juga: Jasser Auda dan Tawaran Teori Sistem dalam Hukum Islam

Kisahnya, ketika penaklukkan Kota Makkah, Nabi saw. memerintahkan sahabat Bilal r.a. naik ke atas Ka’bah guna mengumandangkan azan. Orang-orang Quraish yang menyaksikan kejadiaan tersebut kemudian berkata, “Apakah Muhammad tidak menemukan orang lain untuk mengumandangkaan azan selain budak hitam ini?” Kemudian turunlah ayat ini sebagai teguran atas sikap rasis mereka terhadap sahabat Bilal r.a. [Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, juz 1, hlm. 437].

Kesetaraan di hadapan hukum merupakan prinsip utama dalam syariat Islam, baik menyangkut soal ibadah mahdah maupun ibadah ghairu mahdah. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa mempertimbangkan latar belakang ras, suku, dan bangsa.

Selain prinsip kesamaan, prinsip serupa yang tak lalah pentingnya dalam syariat Islam adalah keadilan. Di antara ayat Alquran yang membicarakan soal prinsip ini misalnya dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 58:

{وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ}

“Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa seseorang harus mampu berlaku adil terkait menunaikkan hak orang lain. Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum. tidak hanya kepada seorang hakim, perintah untuk berlaku adil dalam memberi keputusan menyangkut hak-hak orang lain juga berlaku bagi seluruh umat muslim. [Tafsir al-Sya’rawi, juz 4, hal. 2350-2351].

Baca juga: Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Kesetaraan dan keadilan merupakan prinsip utama dalam yang melandasi setiap kebijakan-kebijakan dalam syariat. Dengan dua prinsip ini, nilai-nilai keislaman akan mudah diterima oleh manusia secara umum sebab keduanya memang sejalan dengan fitrah manusia untuk diberlakukan secara setara dan adil.

Akhir kata, dengan adanya prinsi-prinsip yang telah dirumuskan oleh ulama tersebut, dipahami bahwa betapa Islam merupakan agama universal yang membawa rahmat dan keselamatan bagi seluruh alam. Sekian.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

0
Taklid dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku seseorang yang mengikuti suatu perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman yang didasari dengan...