BerandaTafsir TematikNilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Kisah-kisah Nabi dalam Al-Quran tersebar di berbagai surat. Misal kisah Nabi Adam as. Untuk memahami kisah Nabi dalam Al-Quran dibutuhkan pendekatan yang dapat memberikan pemahaman secara komprehensif. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan yaitu tafsir maqashidi.

Qiraah Maqasidiyah ini disampaikan oleh prof. Abdul Mustaqim dalam sebuah serial diskusi tafsir yang dilaksanakan oleh tafsiralquran.id.

Macam-macam kisah dalam Al-Quran

Dalam kitab Mabahis fi Ulumil Quran dijelaskan bahwa ada 3 macam kisah dalam Al-Quran. Pertama, kisah para Nabi yang di dalamnya mengandung kisah dakwah para Nabi, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhi Nabi, tahapan dakwah dan perkembangan dakwahnya. Terdapat banyak kisah Nabi yang diceritakan dalam Al-Quran misalnya Nabi Nuh, Nabi Yusuf dan lainnya.

Kedua, kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampau dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah Ashabul Kahfi, Zulkarnain, kisah Talut dan Jalut. Ketiga yaitu kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah saw seperti perang Badar dan perang Uhud yang diceritakan dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan perang Tabuk dalam surat At-Taubah dan yang lainnya (Al-Qattan: 436).

Allah menurunkan ayat-ayat kisah bukan tanpa tujuan. Terdapat banyak faedah yang dapat diambil dari adanya kisah dalam Al-Quran. Seperti meneguhkan hati Rasulullah saw dan hati umatnya terhadap agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembangkangnya.

Hal ini dijelaskan dalam QS. Hud [11]: 120

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”

Baca Juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka

Empat maqashid dalam kisah Nabi Adam as

Kisah Nabi Adam as dalam Al-Quran salah satunya tercantum dalam QS. Al-Baqarah[2]: 35

وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”

Ayat ini menjelaskan tentang kisah Nabi Adam dan Hawa yang diperintahkan untuk menempati surga dengan syarat tidak mendekati pohon khuldi. Menurut sumber israilliyat diceritakan bahwa Nabi Adam dan Hawa terbujuk oleh rayuan setan yang akhirnya keduanya mendekati pohon kemudian memetik dan dimakanlah buah khuldi oleh keduanya. Karena melanggar perintah itu kemudian Allah swt menurunkan keduanya ke bumi.

Di surat Al-Baqarah ayat 35 ini mengandung beberapa maksud yang tersirat. Dengan menggunakan pendekatan tafsir maqashidi ditemukan empat maksud dari ayat tersebut. Nilai-Nilai yang terkandung di dalamnya antara lain pertama, Nilai Kesetaraan.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 35 menjelaskan bahwa Allah memerintah Nabi Adam dan Hawa untuk menjadi penghuni surga. Hal ini menyiratkan bahwa sebenarnya Allah telah mengajarkan kesetaraan. Pada ayat ini Allah tidak hanya memerintah Nabi Adam (sebagai laki-laki) saja, namun juga memerintah Hawa (representasi dari seorang perempuan) untuk menempati surga dengan segala kenikmatannya. Allah memberikan perhatian kepada keduanya untuk makan makanan yang mereka sukai di dalam surga, tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Baca Juga: Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia

Kemudian kedua, Adanya perintah untuk mencintai lingkungan. Surat Al-Baqarah ayat 35 menjelaskan bahwa Nabi Adam maupun Hawa tidak diperbolehkan mendekati pohon. Hal ini dapat diartikan bahwa larangan mendekati pohon dikarenakan adanya kekhawatiran merusak atau sampai menebang. Hal ini dimaksudkan bahwa Allah melarang umat manusia mengganggu atau bahkan sampai menebang pohon yang mempunyai banyak manfaat.

Sebagai penjaga kestabilan udara, pohon haruslah dirawat dan dijaga bukan untuk dirusak ataupun ditebang. Jangan ada lagi penebangan pohon liar, pembakaran hutan dan lainnya. Penghabisan lahan hijau yang kemudian disulap menjadi bangunan-bangunan berkaca adalah salah satu penyebab naiknya suhu udara, berkurangnya daya serap air oleh tanah sehingga berakibat banjir dan semacamnya.

Ketiga, adanya kebebasan memilih (freedom of choices). Dalam surat Al-Baqarah [2]: 35 dijelaskan bahwa Nabi Adam maupun Hawa dari awal sudah diberi tahu larangan mendekati pohon khuldi yang ada di surga. Namun keduanya mendekati pohon khuldi, memetik dan makan buah tersebut. Dari kisah ini dapat ditarik makna bahwa manusia diberikan kebebasan untuk memilih antara hal yang baik atau yang buruk. Jika memilih hal buruk maka mereka juga akan menerima akibat dari apa yang telah mereka perbuat.

Keempat, adanya perintah evaluasi diri. Setelah Nabi Adam dan Hawa mendapatkan hukuman dari Allah yaitu diturunkan ke bumi,  mereka menyadari bahwa apa yang mereka perbuat tidaklah benar. Inilah salah satu upaya evaluasi diri berupa penyesalan dari apa yang telah mereka perbuat.

Demikian empat maqashid dalam kisah Nabi Adam as. Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa hasil pembacaan terhadap Al-Quran sangat tergantung pada pendekatan atau kacamata yang digunakan. Beda cara mendekati, beda pula hasilnya.

Wallahu A’lam

Siti Robikah
Siti Robikah
Pegiat Gender, Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Maarif Institute 3
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...