Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 2)

Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya, sudah diuraikan pendapat mufasir dari periode klasik dan beberapa mufasir dari periode pertengahan tentang perbedaan penafsiran tentang peristiwa kurban. Berikut sambungan dari penjelasan sebelumnya.

Ketiga, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. (Jilid 26, 346-348 ). Terkait persoalan ini, al-Razi cukup panjang lebar membahasnya. Di awal dia menyebutkan para tokoh yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. (‘Umar, ‘Ali, ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, Ibnu Mas’ud, Ka’ab al-Akhbar, Qatadah, Sa’id bin Jubair, Masruq, ‘Ikrimah, Zuhri, Saddi, dan Muqatil), atau Ismail as. (Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Musayyab, Hasan, asy-Sya’biyyi, Mujahid dan Kalbi).

Mereka yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as berdasarkan pada, pertama, berdasarkan sabda Nabi Saw. “أَنَا ابْنُ الذَّبِيحَيْنِ”. Kedua, Ishaq as. tidak pernah di Mekkah. Ketiga, berdasarkan surah Alanbiya’ [21]: 85 dan Maryam [19]: 54 merujuk pada Ismail as. Keempat, berdasarkan surah Hud [11]: 71, setelah Ishaq as. ada Ya’qub as., sehingga tidak mungkin yang dikurbankan adalah Ishaq as. kelima, surah Alshaffat [37]: 99-100 merujuk pada Isma’il as., bukan Ishaq as. keenam, tanduk domba jantan ada di Ka’bah, Mekah, yang menandakan bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as. Jika yang dikurbankan adalah Ishaq as., seharusnya terjadi di Syam.

Sedangkan yang mendukung Ishaq as. hanya ada dua argumen, yakni bahwa surah alshaffat [37]: 112-113 membicarakan tentang Ishaq as., maka kuat disinyalir yang dikurbankan ialah Ishaq as. Lalu, keterangan kitab Ya’qub as, kepada Yusuf as. yang menyebutkkan إِسْحَاقَ ذَبِيح اللَّه بْنِ إِبْرَاهِيمَ خَلِيل اللَّه.

Sebagai penutup dari persoalan ini, al-Razi mengutip perkataan dari al-Zajjaj bahwa, “Hanya Allah Swt. yang tahu siapa di antara keduanya yang dikurbankan. Mereka yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as., maka tempatnya di Mina. Sedangkan apabila yang dikurbankan Ishaq as., maka tempatnya di Syam atau pun Baitul Maqdis”.

Baca Juga: Fungsi Transformatif Islam dalam Ritual Kurban

Tafsir Periode Modern

Pertama, Tafsir al-Maraghi (Jilid 23, 74) karya dari Musthafa al-Maraghi. Dalam menafsirkan surah Alshaffat [37]: 102, al-Maraghi cukup singkat menjelaskannya. Bahwa ayat tersebut berkenaan dengan seseorang yang taat dan menepati janji. al-Maraghi pun mengaitkannya dengan surah Maryam [19]: 54, bahwa Ismail as. adalah orang yang benar-benar menepati janji.

Kedua, Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhaili (Jilid 12, 119-120). Dalam tafsirnya, al-Zuhaili membahas secara khusus siapakah sebenarnya putra yang dikurbankan? Terlihat jelas dalam uraiannya bahwa ia berpihak pada pendapat yang menyatakan bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as.

Untuk menjelaskan perkara tersebut, al-Zuhaili mengutip pendapat dari al-Baidhawi dengan lima argumennya, yakni Isma’il as. adalah anak yang dianugerahkan selepas Ibrahim as. hijrah, kelahiran Ishaq as. di’athafkan dengan kabar kelahiran Isma’il as. Kemudian, sabda Nabi Saw. “أَنَا ابْنُ الذَّبِيحَيْنِ”, dan dua tanduk domba tersebut ada di Makkah. Terakhir adalah kabar kelahiran Ishaq as. diikuti dengan kabar kelahiran Ya’qub as.

Sedangkan rujukan dari pendapat Ibnu Katsir adalah pendapat ulama atau bahkan sahabat yang menyebutkan bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. sama sekali tidak ada dasarnya, baik itu dalam Alquran maupun sunah. Justru pendapat itu diduga berasal dari para Ahlul Kitab.

Baca Juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban

Kesimpulan

Dari segi penyampaiannya, data yang ditemukan penulis dari beberapa sampel karya tafsir yakni, dalam periode klasik penyampaiannya diuraikan secara singkat, berdasarkan riwayat hadis tanpa adanya argumen lanjutan.

Sedangkan dalam periode pertengahan, mufasir menyantumkan banyak hadis sebagaimana at-Thabari. Ada pula yang menambahkan argumennya hingga beberapa poin, semisal al-Zamakhsyari dan al-Razi. Adapun dalam karya tafsir modern, penjelasan mufasir cenderung mengulang apa yang disampaikan oleh mufasir pada periode pertengahan.

Lalu, dari segi kecenderungan mufasir terkait sosok yang dikurbankan, pada karya tafsir klasik, mereka tidak banyak berkomentar. Kecenderungan mereka disampaikan melalui nukilan atas sebuah riwayat.

Hal ini berbeda dengan mufasir periode pertengahan. Kecenderungan mereka diikuti dengan rentetan argumen, baik itu didasarkan pada hadis maupun Alquran. Ada yang secara tegas mengklaim bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as., sebagaimana penjelasan ath-Thabari.

Ada pula yang tidak menyatakan secara lugas, namun kecenderungannya bisa diamati dari argumen yang disampaikan, sebagaimana al-Razi dan al-Zamakhsyari. Sekalipun keduanya sama-sama menyantumkan pendapat yang condong pada Isma’il as. atau Ishaq as., sekaligus menyampaikan jalan tengah di akhir urainnya, namun kedua mufasir tersebut terlihat begitu antusias saat menjelaskan pendapatnya yang lebih mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as.

Hal ini jauh berbeda dengan tafsir modern, sebagaimana al-Maraghi dan al-Zuhaili. Ketika menjelaskan peristiwa kurban tersebut, keduanya langsung menyondongkan pendapatnya pada salah satu tokoh, yakni Isma’il as. Sekalipun argumen yang digunakan memang mengutip dari karya tafsir sebelumnya, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Zuhaili.

Namun dari pada itu, hal ini justru mengindikasikan bahwa mufasir modern seakan tidak tertarik pada perdebatan mengenai tokoh yang dikurbankan dalam peristiwa tersebut. Mereka langsung memberikan klaimnya dan beranjak menafsirkan yang lain.

“Ketidaktertarikan” ini bisa juga diamati dalam Tafsir al-Misbah, dimana M. Quraish Shihab sama sekali tidak menyinggung siapa yang dikurbankan Ibrahim as. saat itu. Beliau lebih tertarik pada pembahasan kosa kata dan sejarah pengorbanan manusia untuk Tuhan. Wallah a’lam bish shawab.