Penafsiran Literal dan Kontekstual Mufasir Klasik

penafsiran literal dan kontekstual mufasir klasik
penafsiran literal dan kontekstual mufasir klasik

Pada abad klasik (abad pertama hingga abad ketiga hijriah), para ulama telah menghasilkan banyak karya tafsir yang menjadi pijakan bagi perkembangan ilmu tafsir di masa selanjutnya. Sejak awal, karya-karya tafsir yang muncul, secara garis besar dapat dibedakan pada dua kecenderungan, yaitu penafsiran literal dan kontekstual. Dua kecenderungan penafsiran ini yang kemudian terus berlanjut hingga sekarang. Kecenderungan yang mana kemudian yang relevan dengan tuntutan zaman?

Pendekatan Literal dalam Penafsiran

Beberapa mufasir klasik mengakui pentingnya pendekatan literal dalam memahami ayat-ayat Alquran. Penafsiran literal adalah metode tafsir yang mengedepankan makna harfiah dari kata-kata dalam Alquran (Didi Junaedi, Menafsir Teks Memahami Konteks, 69). Metode ini mencoba untuk memahami ayat-ayat Alquran berdasarkan makna kata per kata yang digunakan dalam bahasa Arab, serta memperhatikan tata bahasa dan struktur kalimat yang digunakan dalam ayat tersebut. Penafsiran literal ini dapat ditemukan pada karya-karya tafsir abad klasik seperti Tafsir Ibnu Mas’ud, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, dan lain sebagainya.

Pada abad klasik, penafsiran literal dalam tafsir Alquran menjadi salah satu metode yang paling umum diterapkan oleh para ulama (Badrudin, Metode Penafsiran Alquran, 93). Penafsiran literal ini didasarkan pada asumsi bahwa Alquran adalah kitab suci yang diturunkan langsung dari Allah SWT. Oleh karena itu, makna harfiah dari kata-kata dalam Alquran adalah makna yang paling benar dan otentik.

Kekurangan tafsir literal dalam memahami Alquran adalah kurangnya perhatian terhadap konteks sosial, budaya, dan sejarah pada masa pewahyuan maupun pasca pewahyuan (era mufasir). Hal ini dapat menyebabkan pemahaman yang terbatas dan sering kali terdistorsi dari makna yang sebenarnya. Selain itu, penafsiran literal juga dapat menyebabkan ketidakfleksibelan dalam memahami Alquran, karena cenderung mengikuti interpretasi yang telah ditetapkan pada masa lalu tanpa memperhatikan konteks kekinian yang semakin kompleks dan beragam.

Meskipun demikian, penafsiran literal dalam tafsir Alquran juga memiliki kelebihan. Metode ini dapat membantu para pembaca untuk memahami ayat-ayat Alquran dengan lebih mudah dan jelas. Selain itu, penafsiran literal juga dapat membantu para pembaca untuk memahami makna harfiah dari kata-kata dalam Alquran yang seringkali menjadi dasar bagi penafsiran-penafsiran lainnya.

Baca Juga: Kontekstualitas Alquran

Pendekatan Kontekstual dalam Penafsiran

Sementara itu, penafsiran kontekstual adalah metode penafsiran yang mencoba untuk memahami pesan Alquran dengan memperhatikan faktor-faktor seperti latar belakang sejarah, konteks sosial, budaya, dan politik, serta berbagai aspek lainnya (Abdullah Saeed, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia, 132). Dalam penafsiran Alquran, tafsir kontekstual memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pesan Alquran dan relevansinya dalam konteks zaman sekarang. Dengan memperhatikan konteks sejarah dan sosial pada saat ayat-ayat Alquran diturunkan, tafsir kontekstual dapat membantu umat Islam untuk memahami ajaran Islam dengan lebih baik dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Penafsiran kontekstual ini dapat ditemukan pada karya-karya tafsir abad klasik seperti Tafsir at-Thabari. Berikut adalah contoh penafsiran kontekstual dalam Tafsir al-Tabari terhadap QS. Al-Baqarah [1]: 190,

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

al-Thabari menafsirkan ayat ini secara kontekstual dengan memperhatikan latar belakang sejarah saat ayat ini diturunkan. Menurutnya pada saat itu, umat Islam sedang berada dalam masa awal-awal Islam di Makkah dan sedang menghadapi tekanan dan penganiayaan dari kaum musyrik. Ayat ini turun sebagai perintah kepada umat Islam untuk mempertahankan diri dan melawan kaum musyrik yang memerangi mereka (Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, jilid 3, 561).

Dengan demikian, penafsiran kontekstual Surat al-Baqarah ayat 190 menunjukkan pentingnya memahami ayat-ayat Alquran dalam konteks sejarah dan sosial pada masa Nabi Muhammad SAW, sehingga dapat memahami makna ayat-ayat tersebut dengan lebih mendalam dan akurat.

Perdebatan antara penafsiran literal dan kontekstual dalam pemikiran tafsir abad klasik menghasilkan berbagai pandangan. Mereka yang menggunakan pendekatan literal menganggap bahwa makna ayat-ayat Alquran harus dipahami sesuai dengan arti harfiahnya, dan tidak boleh ditafsirkan secara terlalu luas atau metaforis.

Sementara ulama yang menggunakan pendekatan kontekstual menganggap bahwa pemahaman yang akurat tentang ayat-ayat Alquran harus memperhatikan konteks sejarah dan sosial pada saat ayat-ayat tersebut diturunkan. Mereka juga menggunakan berbagai metode tafsir untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan akurat tentang ayat-ayat Alquran.

Baca Juga: Kriteria-kriteria Tafsir Kontekstual Menurut Ali Mustafa Yaqub

Kesimpulan

Dalam kesimpulannya, antara penafsiran literal dan kontekstual sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagaimana diuraikan di atas. Namun, seiring perkembangan waktu, pemikiran tafsir abad klasik telah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan zaman. Saat ini, para ahli tafsir cenderung menggabungkan kedua metode tersebut dalam memahami Alquran. Penafsiran literal tetap diperlukan untuk memahami makna harfiah dari kata-kata dalam Alquran, sementara penafsiran kontekstual diperlukan untuk membantu memperkaya wawasan keagamaan, serta mendorong diskusi yang lebih terbuka dan inklusif.