Kontekstualitas Alquran

Kontekstualitas Alquran
Kontekstualitas Alquran

Hingga hari ini, mengungkap pesan dan sinyal Allah yang termaktub dalam Alquran, selalu menjadi bahan kajian yang menarik dan unik. Semakin berkembang zaman dan pengetahuan, semakin berkembang juga teknik dan pendekatan untuk menganalisa pesan-pesan Allah dalam Alquran.

Meskipun bersifat qawliyyah, Alquran diyakini oleh umat Islam sebagai perkataan (kalâm) Allah, yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk tekstual sesuai prosedur dari Allah (tawqîfiy). Alquran memuat beragam pesan dengan beragam redaksi. Terlalu dini untuk mengklaim sudah memahami Alquran jika hanya bermodalkan terjemahan atau pengetahuan bahasa Arab yang dangkal. Dengan keragaman pesan linguistik tersebut, menangkap dan mengurai kode-kode tekstual yang disampaikan Allah, dibutuhkan pendekatan konteks, atau dalam bahasa Arab disebut dengan siyâq (kontekstualitas Alquran).

Baca Juga: Kriteria-kriteria Tafsir Kontekstual Menurut Ali Mustafa Yaqub

Definisi Siyâq Alquran

Berdasarkan penjelasan Sa’îd Muhammad Sa’ad Al-Syahrâniy dalam al-Siyâq al-Qur’âniy fî Tafsîr al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah: Dirâsah Nazhariyyah Tathbiqiyyah, siyâq, berasal dari pola verbal sâqa yang terdiri dari huruf sîn, wâw, dan qof, artinya adalah mengikuti atau menuruti sesuatu. Sâqa juga bisa diartikan dengan mengarahkan atau menyetir kendaraan, baik bermotor atau binatang. Al-Zamakhsyariy mengatakan bahwa (slaah satu) unsur majas adalah mengarahkan perkataan sebaik/setepat mungkin.

Dalam Al-Mu’jam Al-Wasîth disebutkan bahwa siyâq al-kalâm (konteks perkataan) adalah keberlanjutan (pemahaman perkataan) dan prosedur linguistik yang terdapat di dalamnya. Dipahami sebagai konteks (dalam bahasa Indonesia) atau context (dalam bahasa Inggris), karena konteks dalam situasi kebahasaan adalah bagian suatu uraian kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.

Siyâq, pada umumnya terdiri dari dua unsur utama, internal (dâkhilîy) dan ekternal (khârijîy). Pertama, konteks internal. Unsur internal siyâq terdiri dari dua pilar; sibâq (perkataan sebelumnya) dan lihâq (perkataan sesudahnya). Siyâq internal adalah pemahaman (kontekstual) terhadap teks berdasarkan unsur-unsur kebahasaan dan komunikasi yang ada dalam teks tersebut.

Berdasarkan unsurnya, siyâq juga dipahami sebagai aktivitas mengungkap makna sebuah teks dengan melihatnya secara keseluruhan, sebelumnya, sesudahnya, atau keduanya secara simultan. Salah satu contoh aplikatif siyâq internal dalam Alquran adalah term al-kitâb.

Secara etimologis umum, kitab artinya buku, namun penyebutannya dalam Alquran mangandung variasi terminologis. Ada kalanya maksudnya Taurat (QS. Al-Baqarah: 78), ada kalanya dipahami dengan hukum Allah (QS. Al-Nisâ’: 24), ada kalanya dipahami dengan qadar Allah (QS.Al-Hijr: 4), ada kalanya catatan amal manusia (QS. Al-Muthaffifîn: 18), dan ada kalanya dipahami dengan masa ‘iddah wanita (QS. Al-Baqarah: 235). Dalam kajian ilmu Alquran dan Tafsir, pembahasan siyâq internal disebut juga dengan ilmu Al-Wujûh wa Al-Nazhâ’ir.

Kedua, konteks eksternal. Siyâq eksternal (khârijiy) menurut Abdul Fattâh Al-Barkâwiy dipahami dengan pemahaman yang dihasilkan dari unsur-unsur linguistik yang meyertai teks. Selain itu, konteks ekternal bisa juga dipahami sebagai faktor-faktor ekternal yang melingkupi teks, yang mempengaruhi pemahaman terhadap teks baik dari aspek pembicara (mukhâthib) ataupun lawan bicara (mukhâthab) pada teks, maksud yang dituju pada teks, dan situasi lahirnya teks.

Dalam hal ini, konteks Alquran (al-siyâq al-qur’âniy) dapat dipahami dengan faktor- faktor internal dan eksternal yang melingkupi teks Alquran, mempengaruhi pemahaman terhadapnya; baik dengan unsur sâbiq maupun hiq; posisi mukhâthib (Allah) dan mukhâthab, maksud yang dituju, dan situasi sebab turunnya ayat.

Pengetahuan tentang konteks setiap kali memahami teks Alquran adalah kebutuhan primer. Menurut Al-Zarkasyi, pengetahuan konteks penting agar sudut pandang seorang Mufassir selalu memperhatikan alur pembicaraan yang dituju meskipun terlihat menyelisihi makna literer. Begitu juga Al-Suyûthiy dalam Al-Itqân menjelaskan bahwa pengetahuan konteks Alquran adalah bentuk perhatian serius seorang Mufassir terhadap teks dan pesan yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga: Memahami Surah Ali Imran Ayat 118-120 dalam Konteks Keindonesiaan

Sejarah Implementasi Siyâq Alquran

Pemahaman ayat-ayat Alquran berdasarkan konteks-nya sebenarnya beriringan dengan turunnya Alquran, baik konteks internal maupun eksternal. Dalam praktek teori-teori ‘Ulûm al-Qur’ân dan Tafsir, kejelian dalam menangkap pesan dalam teks biasanya terdapat dalam implementasi Ilmu Munâsabah, Manthûq dan Mafhûm, Mujmal dan Mubayyan, Wujûh dan Nazhâ’ir, dan lain sebagainya. Selain itu, ilmu-ilmu alat khususnya ilmu linguistik Arab seperti Nahwu, Sharaf, Balâghah, dan lainnya, juga memiliki peran vital dalam meng-capture Maqâshid Al-Qur’an yang termaktub dalam nash.

Pada masa Nabi, seperti yang diraiwayatkan Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Aisyah pernah bertanya kepada Nabi Muhammad perihal orang-orang yang takut sedekahnya tidak diterima Allah (…wa qulûbuhum wajilat…) pada Q.S. Al-Mu’minûn ayat 60. Aisyah bertanya apakah mereka yang takut tidak diterima amalan sedekahnya adalah para pemabuk dan pencuri. Lalu Nabi Muhammad menjawab, “bukan (mereka) wahai putri (Abu Bakar) Al-Shiddîq, tetapi mereka adalah orangorang yang berpuasa, dan shalat, dan bersedekah, mereka takut amalannya tidak diterima (Allah)”, lalu Nabi Muhammad membaca lanjutan ayatnya, ayat 61. Dalam Hadis ini terlihat dengan jelas, bahkan sekelas Aisyah pun mengkonfirmasi maksud suatu ayat. Lantas Nabi Muhammad menjelaskan konteks atau maksud sebenarnya dari ayat tersebut.

Al-Thabariy dalam Tafsirnya Al-Jâmi’ Al-Bayân, menceritakan tentang seseorang dari Bani ‘Amr bin Sadûs berdebat dengan Abu Mijlaz tentang maksud trilogi Al-Mâ’idah, yaitu tentang potongan ujung ayat-ayat tersebut, “…siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang kafir (44)…, …mereka adalah orang zhâlim (45)…, ….mereka adalah orang fasik (46)”.

Para penanya menghendaki jawaban tekstual, yakni siapapun yang berhukum dengan selain hukum Allah maka mereka divonis kafir, zhâlim, dan fasik. Namun Abu Mijlaz menyangkalnya bahwa ayat tersebut turun di tengah orang-orang Yahudi, Nashrani, dan para pelaku kemusyrikan. Dalam kasus ini, seseorang dari Bani ‘Amr bin Sadûs yang memahami ayat sekedar tekstual, dikoreksi oleh Abu Mijlaz dengan pendekatan kontekstual (siyâq).

Baca Juga: Kontekstualisasi Nas ala Abu Yusuf: Pembebasan Nas dari Budaya Arab

Demikian, pendekatan kontekstual dalam memahami teks ayat-ayat Alquran adalah salah satu primary approach. Selain memang untuk menangkap pesan ayat yang setepat mungkin, juga penting untuk meluruskan kesalahpahaman pemahaman ayat-ayat Alquran yang hanya mengandalkan pendekatan tekstual. Wallah a’lam