Selain bulan Iduladha, Dzul Hijjah juga dikenal dengan sebutan bulan haji karena bulan tersebut adalah byulan pelaksanaan ibadah haji. Alquran menyebutkan kata haji di beberapa ayat. Di antara ayat-ayat tersebut, kata hajj ada yang disandingkan dengan kata akbar.
Istilah al-hajj al-akbar disebutkan dalam Alquran di surah al-Taubah ayat ke 3. Secara kebahasaan, al-hajj al-akbar bisa diartikan dengan haji besar. Dari sinilah kemudian ulama mengistilahkan umrah dengan haji kecil.
Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji
Dalam Q.S. at-Taubah, Allah swt. berfirman:
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Suatu maklumat dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Jika kamu (kaum musyrik) bertobat, itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah. Berilah kabar ‘gembira’ (Nabi Muhammad) kepada orang-orang yang kufur (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (at-Taubah [09]: 3).
Ayat di atas dan juga dua ayat sebelumnya menjelaskan berlepasnya Allah swt. dan Rasul-Nya dari perjanjian gencatan senjata yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Sejatinya, Islam agama yang mewajibkan umatnya untuk memenuhi janji-janji sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Maidah ayat 1. Akan tetapi, ketika perjanjian damai yang telah dilakukan dikhianati oleh pihak musuh, maka (dalam hal ini) kaum muslim tidak lagi terikat dengan perjanjian damai tersebut.
Jika boleh dikatakan, sebenarnya ayat di atas beserta beberapa ayat sebelum dan sesudahnya merupakan ultimatum kepada orang kafir yang menistakan perjanjian damai yang telah disepakati bersama kaum muslim.
Dalam sejarah Islam, perjanjian damai yang dilanggar oleh kaum kafir ketika itu adalah Perjanjian Hudaibiyah. Kemudian Rasulullah saw. mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan ultimatum tersebut kepada mereka dan memberi batas waktu (untuk memilih antara perang atau masuk Islam) selama empat bulan.
Ultimatum tersebut disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib pada hari al-hajj al-akbar tahun ke sembilan Hijriyah. Terkait hal ini, ulama berbeda pendapat prihal maksud dari hari al-hajj al-akbar pada ayat diatas.
Baca Juga: Revolusi Ibadah Haji: Dari Paganis Menuju Islamis
Apa itu al-hajj al-akbar?
Terlepas dari konteks makna ayat diatas, ada satu istilah yang menarik untuk ditelusuri pengertiannya dalam ayat tersebut, yaitu al-hajj al-akbar. Untuk memahami apa pengertiannya, kita perlu merujuk kepada penafsiran para ulama tafsir. Dalam hal ini, ulama memiliki pandangan yang berbeda terkait apa dan kapan hari al-hajj al-akbar itu, dan mengapa dinamai al-hajj al-akbar.
al-hajj al-akbar dapat diartikan dengan haji besar. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan haji besar adalah haji qiran. Haji qiran adalah salaah satu metode melaksanakan ibadah haji yang dilakukan dengan cara menyatukan umrah dan haji dalam satu rangkaian. Sedangkan al-hajj al-ashghar atau haji keci adalah haji ifrad, yaitu haji yang dilakukan dengan cara mendahulukan ibadah haji dulu baru setelah itu melaksanakan ibadah umrah.
Menurut ulama lain, yang dimaksud dengan al-hajj al-akbar adalah ibadah haji. Sedangkan haji kecil adalah umrah. Pendapat inilah yang dinilai lebih pas oleh Imam at-Thabari. Alasannya karena ibadah haji memang meliputi rangkaian ibadah yang lebih banyak dari pada ibadah umrah. Oleh karena itulah haji disebut haji besar untuk membandingi umrah yang diistilahkan dengan haji kecil. (Tafsir al-Thabari, juz 11, hal. 339)
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 201 dan Doa Ketika Berhaji
Kapan tepatnya hari al-hajj al-akbar?
Perbedaan penafiran di kalangan ulama juga terjadi menyangkut prihal kapan tepatnya hari al-hajj al-akbar itu berlangsung. Setidaknya ada tiga pendapat mengenai waktu hari al-hajj al-akbar tersebut. (al-Bahr al-Muhith, juz 5, hal. 369)
Pertama, Menurut riwayat dari Umar bin Khattab, Ibnu Zubair, Said bin Musayyib, Thawus dan lainnya, bahwa yang dimaksud dengan hari al-hajj al-akbar adalah Hari Arafah, yakni hari tanggal ke sembilan Dzulhijjah.
Diantara alasan mengapa Hari Arafah dinamakan al-hajj al-akbar adalah karena pada hari tersebut jamaah haji berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan salah satu rangkaian haji yang paling urgen, yaitu wukuf di Arafah. Saking pentingnya wukuf di Arafah sampai-sampai jamaah haji yang tidak sempat melaksanakannya maka dianggap tidak melaksanakan ibadah haji. Sedangkan rukun-rukun lain, manakala tertinggal maka dapat diganti dengan membayar dam (denda).
Kedua, riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari, al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Abi Aufa dan lainya mengatakan bahwa al-hajj al-akbar adalah Hari Raya Idul Adha (Hari Nahr). Dinamakan al-hajj al-akbar sebab hari tersebut merupakan waktu pelaksanaan sebagian besar rangkaian ibadah haji. Seperti tawaf, melempar jumrah, menyembelih hewan dan lain-lain.
Ketiga, pendapat yang diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa yang dimaksud dengan hari al-hajj al-akbar adalah seluruh hari-hari dalam ibadah haji. Menurutnya, menamakan hari-hari haji dengan al-hajj al-akbar yang berbentuk mufad (tunggal) adalah hal yang lumrah dalam Bahasa Arab. Hal ini sama seperti menyebut يوم صِفّين (hari Perang Siffin), padahal yang dimaksud adalah Perang Siffin yang berlangsung selama beberapa hari.
Demikian penjelasan mengenai perbedaan penafsiran ulama terkait al-hajj al-akbar. Baik Hari Arafah maupun Iduladha keduanya memang merupakan hari yang dimuliakan oleh Allah swt. sehingga, terlepas dari perdebatan di atas, umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah pada hari-hari tersebut. Wallah a’lam