Tafsir al-Azhar dan Kategorisasi Tafsir Modern

Tafsir al-Azhar dan Kategorisasi Tafsir Modern
Tafsir al-Azhar dan Kategorisasi Tafsir Modern

Sebuah kitab tafsir pada dasarnya merupakan respons terhadap peradaban pada masanya. Selain itu, produk penafsiran ini mencerminkan kondisi sosial-historis dan konteks keadaan serta kecenderungan di sekitar penafsirnya. Terlebih pada karya tafsir era modern yang lahir sebagai respons terhadap persoalan-persoalan yang terjadi pada saat tafsir tersebut dikembangkan. Salah satu contohnya adalah Tafsir al-Azhar yang disusun oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Tafsir ini kemudian menjadi salah satu khazanah tafsir modern di Indonesia.

Apa itu Tafsir Modern?

Namun, sebelum melihat lebih dalam tentang Tafsir al-Azhar, perlu juga dipahami apa yang dimaksud dengan tafsir modern. Tafsir modern berkaitan erat dengan tafsir kontemporer. Kedua istilah ini, menurut Ahmad Syukri dalam Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman sering kali digunakan secara bergantian. Tafsir modern adalah penafsiran yang cenderung mencari relevansi teks Alquran dalam kehidupan masa kini, serta memperhatikan isu-isu kekinian yang dihadapi umat muslim. Pendekatan ini juga mencoba memahami pesan dan nilai-nilai universal Alquran secara lebih luas dan mendalam.

Tafsir modern merujuk pada pendekatan penafsiran yang muncul dalam konteks zaman sekarang dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan, konteks sosial, dan pemahaman kontemporer. Ada tiga pendekatan pemikiran utama dalam tafsir modern, yaitu tafsir ‘ilmi yang didapat melalui pendekatan ilmu pengetahuan, tafsir linguistik-filologis yang cenderung pada kajian bahasa dan makna kata, dan tafsir adabi ijtima’i yang menekankan nilai-nilai sosial dan etika yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran. (J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, xiii)

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Beda hal dengan tafsir klasik yang merujuk pada pendekatan penafsiran yang dikembangkan pada masa awal Islam dan dipraktikkan oleh para ulama dan mufassir terkemuka pada zaman itu. Metode ini mencakup berbagai pendekatan seperti tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Metode klasik cenderung menekankan pada pemahaman teks secara literal dan mempertimbangkan konteks sejarah dan linguistik dalam penafsiran. (Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 332)

Kedua metode ini memiliki peran dan kegunaan mereka masing-masing. Metode klasik mengacu pada warisan penafsiran tradisional dan otoritas ulama masa lalu, sementara metode modern mencoba menghubungkan Alquran dengan konteks zaman sekarang dan memperbarui pemahaman terhadap teks suci. Penggunaan metode penafsiran Alquran dapat bervariasi tergantung pada tujuan, konteks, dan pendekatan yang diambil oleh mufassir.

Awal Kemunculan Tafsir Modern

Munculnya tafsir modern dimulai oleh tokoh-tokoh modernisme Islam di Mesir dan India, di antaranya adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Hal Ini juga didorong oleh pergerakan modernisasi dalam era tersebut, yang merupakan suatu proses perubahan dan pembaharuan dalam hal nilai-nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, struktur lembaga masyarakat, serta lapisan masyarakat dari berbagai tingkatan dan interaksi sosial dan kekuasaan.

Meskipun tafsir modern ditujukan untuk masyarakat dan memiliki perbedaan dengan tafsir klasik, secara keseluruhan bentuk dan isi tafsir tersebut masih mengandung unsur tradisional. Dengan demikian, tafsir modern dapat dikatakan sebagai bagian dari warisan tafsir klasik. (J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, 26)

Baca Juga: Mengenal Tafsir Al-Azhar, Tafsir Bahasa Indonesia Karya Ulama Minangkabau

Aspek Modern dalam Tafsir Al-Azhar

Tafsir al-Azhar sangat dipengaruhi oleh Tafsir al-Manar, sebuah tafsir yang terkenal dan fenomenal pada zamannya. Pengaruh ini terlihat dari penjelasan Hamka pada QS. Ali ‘Imran [3]:19. Hamka memiliki pemahaman yang serupa dengan Rida tentang konsep al-din (agama) dan al-Islam. Dalam hal ini, Hamka menegaskan bahwa Tafsir al-Azhar mengadopsi gaya tafsir yang dipopulerkan oleh Tafsir Al-Manar. (Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang pendidikan Islam, 15)

Tafsir al-Azhar tidak hanya mengadopsi perspektif agama Islam, tetapi juga relevan dengan isu-isu politik dan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada era modern. Salah satu contohnya adalah konsep Islam KTP yang didefinisikan oleh Hamka sebagai seseorang yang mengaku sebagai Muslim namun tidak mempraktikkan ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Tafsir al-Azhar tidak hanya mengikuti pendekatan agama semata, tetapi juga mempertimbangkan isu-isu kontemporer dan lokal yang ada. (Mun’im Sirry, What’s Modern about Modern Tafsir? A Closer Look at Hamka’s Tafsir al-Azhar, 202)

Lebih lanjut, ketika Hamka menafsirkan ayat QS. Al-Maidah [5]:3, ia memahaminya sebagai kesempurnaan Islam yang harus dipahami sebagai alasan untuk melakukan reinterpretasi berdasarkan sejarah dan konteks lokal yang berbeda. Ia berargumen bahwa sulit bagi Islam abad ke-7 untuk secara relevan diterapkan di semua tempat dan konteks. Hamka juga menegaskan bahwa individu dipengaruhi oleh tempat dan waktu di mana mereka hidup. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tafsirnya, Hamka tidak hanya mempertimbangkan aspek teologis, tetapi juga faktor sosial dan sejarah.

Hamka juga menekankan pentingnya perubahan hukum dalam tafsirnya. Sebagai contoh, ia membahas cerita mengenai pemisahan laki-laki dan perempuan menggunakan tirai dalam pertemuan sebelum Perang Dunia II yang melibatkan salah satu pemimpin Muhammadiyah. Hamka menegaskan bahwa tidak ada ayat yang secara khusus membicarakan tentang hal tersebut, dan tafsir yang berhubungan dengan etika dalam pertemuan dapat ditemukan dalam ayat QS. An-Nuur [24]:30-31. Hamka menekankan pentingnya menjaga etika dalam pertemuan, sementara perubahan hukum dapat dilakukan melalui ijtihad dengan mempertimbangkan konteks tempat dan peraturan yang berlaku.

Dalam perspektif Mun’im Sirry, tafsir modern tidak hanya terkait dengan perubahan sosial, tetapi juga berkaitan dengan penerimaan hermeneutika. Tafsir al-Azhar mencerminkan bagaimana ia mencari keseimbangan antara teks Alquran dengan sejarah, sosial, politik, dan intelektual pada saat Alquran diturunkan. Ini sejalan dengan konsep the fusion of horizons yang diperkenalkan oleh Gadamer. Menurut Mun’im, tafsir modern adalah hasil dari waktu dan tempatnya sendiri. Meskipun menggunakan Alquran, hadis Nabi Saw, dan tafsir generasi awal sebagai sumbernya, tafsir modern memiliki pandangan dan isu yang berkembang pada saat itu.

Baca Juga: Karya-Karya Tafsir Bercorak Sosial di Era Modern

Sebagai contoh konkret, ketika Hamka menafsirkan ayat QS. Al-Maidah [5]:51, Hamka mendefinisikan auliya sebagai pemimpin, bukan sebagai teman. Ini berbeda dengan beberapa kamus yang menerjemahkan auliyasebagai teman. Penafsiran Hamka ini berkaitan dengan konteks politik pada saat itu, di mana rezim Soeharto mencurigai kelompok Muslim dan melarang mereka menduduki posisi strategis. Dalam konteks tersebut, Hamka mengarahkan makna auliya kepada kelompok non-Muslim. (Mun’im Sirry, What’s Modern about Modern Tafsir? A Closer Look at Hamka’s Tafsir al-Azhar, 207)

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Tafsir al-Azhar karya Hamka tidak sekadar mengulang tafsir-tafsir sebelumnya, tapi juga menghubungkan Alquran dengan konteks dan isu kehidupan modern. Tafsir ini mempertimbangkan perubahan sosial dan menekankan nilai-nilai etika dan keadilan dalam Islam. Dengan pendekatan ini, Hamka memberikan pemahaman yang relevan dan kontekstual terhadap ayat-ayat Alquran, sehingga dapat menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berkembang.