BerandaKisah Al QuranRuntuhnya Bani Israil: Ibrah Untuk Memulai dari Diri Sendiri 

Runtuhnya Bani Israil: Ibrah Untuk Memulai dari Diri Sendiri 

Suatu bangsa dapat bangkit pun terpuruk tergantung dari kelakuan setiap individu dari bangsa tersebut. Sehebat apapun kemajuan suatu bangsa tanpa diiringi dengan moralitas dan etika dari individu di dalamnya maka kehancuran mereka adalah keniscayaan. Semisal jika seseorang mencintai bangsa Indonesia, maka yang perlu dilakukan adalah menjaga moral dan etika diri sendiri. Jika moral dan etika diri telah tiada, bagaimana seseorang bisa dengan percaya diri melakukan perbaikan? Setiap perbaikan dimulai oleh sosok-sosok yang terlebih dahulu memperbaiki dirinya sendiri.

Baca Juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius

Kegagalan dalam memperbaiki moral dan etika diri jika dibiarkan begitu saja kian lama akan terakumulasi menjadi kegagalan sosial dalam memperbaiki tatanan kehidupan bermasyarakat. Kegagalan semacam ini pernah dialami oleh bangsa Bani Israil ketika mereka secara individu gagal mengikuti petunjuk Taurat, maka secara sosial mereka pun gagal melakukan perbaikan. Justru ketika datang suatu semangat perbaikan dari Nabi tertentu, mereka akan melenyapkannya, sehingga pada akhirnya mereka sendiri yang menerima akibat buruk dari gagalnya sistem sosial. Dalam surat Alisra’ [17]: 4-5 disebutkan kisah tentang mereka.

وَقَضَيْنا إِلى بَنِي إِسْرائِيلَ فِي الْكِتابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيراً (4) فَإِذا جاءَ وَعْدُ أُولاهُما بَعَثْنا عَلَيْكُمْ عِباداً لَنا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجاسُوا خِلالَ الدِّيارِ وَكانَ وَعْداً مَفْعُولاً (5)

Dan kami tetapkan kepada Bani Israil di dalam kitab sungguh kalian akan berbuat kerusakan di bumi dua kali dan sungguh kalian akan berlaku sewenang-wenang dengan merasa superior nan besar. Maka ketika datang janji yang pertama dari keduanya, kami utus kepada kalian hamba-hamba yang bagi kami memiliki kekuatan hebat lalu mereka memorakporandakan setiap celah rumah-rumah, dan itulah janji yang pasti terlaksana.

Menjauhi Petunjuk Kebenaran

Al-Razi menyebut bahwasanya ayat ini merupakan konfirmasi dari ayat 2. Setelah Allah memberikan kenikmatan kepada Bani Israil dengan turunnya Taurat, menjadikannya sebagai petunjuk, tetapi mereka justru berbuat kerusakan.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran

Makna kata qadhaina pada ayat 4 ini menurut al-Razi yakni ‘kami wahyukan’, sehingga masih terkait dengan ayat-ayat sebelumnya. Mereka melakukan kerusakan yakni dengan menjalankan kemaksiatan yang menyelisihi hukum Taurat. Kesewenangan meninggikan diri terhadap masyarakat di luar hak yang telah diberikan, karena setiap mutajabbir atau otoritarian disebut ala dan taadzdzama yang berarti meninggikan dan mengagungkan diri.

Ketika orang-orang fasik tersebut merajalela, maka kepada mereka diutus suatu kaum yang memiliki kekuatan besar dalam peperangan untuk melawan mereka, merendahkan Bani Israil karena kesombongan yang telah dilakukannya. Di saat mereka menghalalkan yang telah diharamkan dalam Taurat, membunuh para nabi dan menumpahkan darah, maka Allah menguasakan kaum itu pada lawan mereka. Raja Majusi Bukhtanshir menumpas empat puluh ribu para pembaca Taurat  sehingga tinggallah kaum Bani Israil dalam kerendahan.

Al-Razi juga menyebut pendapat lain yang mengatakan bahwa sebelumnya Allah menjadikan ketakutan ada dalam hati kaum Majusi terhadap Bani Israil. Ketika kemaksiatan banyak dilakukan oleh para pembaca Taurat, maka ketakutan tersebut dihilangkan oleh Allah, sehingga kaum Majusi berani menyerang dan menghancurkan mereka.

Ibrah Kisah Bani Israil: Gambaran untuk Memulai dari Diri Sendiri

Peristiwa ini menjadi gambaran bagi kita umat Muslim tanah air, bagaimana bangsa Bani Israil yang digdaya pun hancur karena kelakuannya. Suratan takdir yang telah dikabarkan bahwa mereka akan melakukan kerusakan tidak dapat dihindarkan.

Seakan peristiwa ini ditakdirkan untuk menjadi titik reflektif Bagi umat masa kini. Bagi al-Razi, seandainya saja mereka tidak melakukan kerusakan itu, tentu kabar dari Allah yang benar akan menjadi kebohongan, hukum-Nya yang tetap menjadi batil, dan ilmu-Nya yang hakiki menjadi kejahilan yang mana kesemua hal ini mustahil adanya.

Baca Juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil Bagian II: Kebodohan akan Kitab Suci Mereka Sendiri

Kerusakan yang dilakukan Bani Israil tersebut menjadi keniscayaan yang tidak dapat dihapuskan. Mereka dibebani tanggung jawab untuk meninggalkannya dan dilaknat karena melakukannya. Al-Razi menuturkan bahwa demikianlah Allah memerintahkan kepada sesuatu namun memalingkan darinya dan Dia melarang akan sesuatu namun menetapkan hal itu dapat dicapai.

Bani Israil dengan segala kehebatan mereka dapat terpuruk karena secara sosial telah terbentuk kebersamaan untuk melalaikan pesan kitab suci. Kitab suci mereka ada, namun semangat untuk memperjuangkan ajaran di dalamnya telah tiada. Semangat untuk berlaku adil terhadap sesama, tidak membuat kerusakan pada alam, dan tidak berlaku sewenang-wenang menjadi hal yang hilang dari peradaban yang dihiasi oleh para Nabi tersebut. Secara sosial, mereka sepakat melakukan kerusakan karena individu-individu yang gagal memperbaiki diri sendiri.

Sejarah mereka dapat menjadi gambaran bagi kita untuk memulai dari diri sendiri. Tidak perlu menuntut muluk-muluk kepada penguasa untuk membenahi diri, jika memang hal ini jauh dari lingkup kuasa kita. Hal positif dapat dimulai dari diri sendiri. Terlebih di dunia digital dewasa ini kita semestinya dapat memutuskan apa yang mesti kita lihat dan klik. Setiap hal negatif akan hilang dari gawai kita jika kita memustuskan untuk tidak melihatnya, meskipun berat karena algoritma terkadang dapat menjebak.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

Semua dapat dimulai dengan berlaku adil dengan hak hati kita akan kebutuhan ilmu yang mesti dipenuhi. Menjaga diri dari konten yang berpotensi merusak produktifitas dan kesehatan mental. Terakhir tidak berlaku sewenang-wenang terhadap kuasa kita akan jari dan diri karena di setiap detik kita terdapat hak Allah atas nafas yang telah diberikan-Nya.

Semoga kita umat Muslim tanah air bisa lebih mencintai Alquran demi perbaikan diri. Semoga kita tidak dipalingkan dari apa yang diperintahkan serta dapat menahan diri dari larangan yang senantiasa mendekati.

Wallahu a’lam

Muhammad Fathur Rozaq
Muhammad Fathur Rozaq
Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0
Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar....