BerandaTafsir TematikLima Makna Ruh Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman

Lima Makna Ruh Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman

Alquran  menggunakan term ruh sebanyak 21 kali (Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras). Penggunaan ini ada yang disandingkan dengan kata lain dan ada yang digunakan sendirian. Penggunaan term ruh dengan kata yang lain ada kalanya dipasangkan dengan isim dhamir (kata ganti), kata al-qudus, dan kata al-amīn. Ketika berpasangan dengan isim dhamir, makna term ruh ini tidak lepas dari Allah.

Sementara pemasangan term ruh dengan kata al-qudus dan al-amīn, ditujukan sebagai penyebutan khusus untuk Malaikat Jibril selaku pembawa wahyu. Hanya saja dengan yang pertama, lebih sering digunakan ketika Alquran  mengisahkan Nabi Isa. Sedangkan yang kedua digunakan untuk pewahyuan Alquran  itu sendiri.

Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman, Alquran  menggunakan term ruh untuk menunjuk pada lima makna; rahmat, malaikat penghuni langit tujuh, Malaikat Jibril, wahyu, dan Nabi Isa (al-Wujūh wa an-Nażā’ir). Makna pertama bisa ditemukan dalam QS. Almujadilah [58]: 22. Kata ruh dengan makna ini, dipilih karena ayat tersebut membahas sikap orang beriman yang tidak mungkin akan menjalin pertemanan dengan penuh kasih sayang terhadap penentang Allah dan Rasul-Nya. Bagi Allah, mereka adalah orang-orang yang keimanannya sudah merasuk ke dalam hati. Untuk menguatkan sikap mereka, Allah memberikan rahmat dengan berbagai bentuknya. Kementerian Agama menerjemahkan rahmat tersebut dengan bentuk ‘pertolongan’.

Baca Juga: Apa Hanya Ruh Nabi Saw yang Melakukan Isra Mikraj? Ini Penjelasan Ulama

Untuk makna kedua, Imam Muqatil mengutip QS. Alnaba’ [78]: 38; “Pada hari ketika Rū dan malaikat berdiri bersaf-saf”. Menurutnya, kata ruh di sini adalah malaikat yang berwajah manusia, berbadan malaikat, salah satu penghuni langit tujuh. Ia menjadi makhluk terbesar kedua setelah ‘Arasy. Bertugas sebagai penjaga para malaikat. Berdiri sendiri pada satu saf di sebelah kanan ‘Arasy. Term ruh dengan makna ini juga dituturkan oleh Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri saat menjelaskan ayat tersebut. Ia menuliskan ‘satu malaikat yang besar dan agung, berdiri pada satu saf tersendiri’ (Aisar at-Tafāsīr; 4/356).

Ruh dengan makna ketiga merupakan makna yang digunakan oleh para mufasir saat kata ruh bersanding dengan kata al-qudus atau al-amīn. Hal ini juga dilakukan Imam Muqatil. Adapun ketika sendirian, kata ruh ini – oleh Imam Muqatil – dipahami sebagai Malaikat Jibril pada QS. Maryam [19]: 17. Ayat ini menceritakan alur kehamilan Maryam. Ketika itu, wanita suci ini sedang sendirian di dalam mihrabnya. Kemudian, Allah mengutus Malaikat Jibril dalam bentuk manusia untuk memberitahu akan kehamilannya tanpa campur tangan laki-laki. Lalu, pada QS. Alqadr [97]: 4, ayat yang sudah masyhur mengabarkan bahwa Malaikat Jibril dan para malaikat turun pada malam Lailatul Qadar.

Makna keempat ruh adalah wahyu. Saat menjelaskan makna ini, Imam Muqatil mengutip tiga ayat yang saling berkaitan. Menurutnya, kata ruh dalam QS. Alnaḥl [16]: 2 bermakna wahyu. Ia mengaitkan pemaknaannya ini dengan QS. Almu’min [40]: 15 dan QS. Alsyura [42]: 52.

Baca Juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Pada dua ayat ini, kata ruh diperjelas dengan min amrihī dan min amrinā. Dua kata penjelas ini menunjukkan bahwa ruh yang dimaksud bukanlah Malaikat Jibril. Ia berkaitan dengan informasi suatu hal dan bukan sosok tertentu. Sehingga, pemaknaan kata ruh pada ayat ini dengan wahyu menjadi sesuatu yang tepat. Terlebih QS. an-Naḥl [16]: 2 sendiri menyebutkan kata al-malā’ikat sebelum ruh. “Dia menurunkan para malaikat membawa wahyu atas perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” Demikian terjemahan versi Kemenag terhadap ayat ini.

Makna terakhir dari kata ruh ini adalah Nabi Isa bin Maryam. Makna ini bisa ditemukan dalam QS. Alnisa’ [4]: 171. Ruh dengan makna Nabi Isa ini juga digunakan oleh Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri saat membahas ayat tersebut. Ia menuliskan ‘yakni Isa melalui tiupan Malaikat Jibril terhadap rūḥullāh pada lengan bajunya Maryam’ (Aisar at-Tafāsīr; 1/321).

Imam Ibn ‘Asyur menjelaskan perihal penamaan Nabi Isa dengan rūḥullāh. Menurutnya, ruhnya Nabi Isa merupakan ruh yang menjadi unsur penting kehidupan seseorang. Namun ia dinisbatkan kepada Allah karena  ruh tersebut sampai pada Maryam tanpa melalui proses pembuahan sperma. Dari sini, ia berbeda dengan ruh manusia pada umumnya (at-Taḥrīr wa at-Tanwīr; 6/52).

Wallahu a’lam.

Syafiul Huda
Syafiul Huda
Musyrif dan mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur'ani

Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur’ani

0
Berdasarkan laporan "Digital 2023" oleh We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta pada Januari 2023, yang setara dengan 60,4%...