Sudah jamak diketahui bahwa Alquran diturunkan dengan bahasa Arab dengan kandungan sastra yang begitu tinggi. Sebagai sumber ajaran Islam, setiap muslim dituntut untuk memahami kandungan Alquran untuk kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, untuk memahami pesan-pesan dan ajaran-ajaran Alquran, seseorang memerlukan berbagai disiplin ilmu sebagai instrumen untuk membantu memahami Alquran agar sampai pada kesimpulan yang benar. Salah satu ilmu yang harus dikuasai ketika belajar tafsir Alquran adalah ilmu fikih dan usul fikih.
Adalah Gus Baha, seorang kiai yang diakui kealimannya di bidang fikih dan tafsir pernah menyampaikan tentang kaitan antara fikih dan tafsir Alquran. Dalam suatu kesempatan ketika mengisi kuliah umum di Ma’had Aly Situbondo, beliau menegaskan bahwa betapa pentingnya memahami Alquran dengan basis fikih yang kuat.
Kepakaran beliau dalam menafsiri Alquran agaknya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan Quraish Shihab pun mengakui beliau sebagai orang yang memahami detail-detail Alquran sekaligus kandungan fikih di dalam ayat-ayatnya.
Baca juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih
Namun uniknya, sebagai seorang yang diakui ahli di bidang tafsir Alquran, beliau mengakui bahwa kepakaran beliau dalam bidang tafsir adalah buah dari pemahaman yang mendalam dalam bidang fikih. Menurut beliau, orang akan rentan salah paham ketika membaca atau memahami Alquran tanpa basis fikih yang kuat. Sehingga, kalo orang mau belajar tafsir Alquran terlebih dahulu harus memiliki basis fikih yang kuat. Bahkan beliau sempat berpesan kalau mau jadi orang alim dalam tafsir Alquran minimal harus setengah hafal kitab I’anah al-Thalibin.
Memahami fikih sebagai basis mempelajari Alquran dapat meminimalisasi kesalahpahaman terhadap ayat-ayat yang menggunakan redaksi yang tidak lumrah. Terutama dalam memahami ayat-ayat yang berisi hukum praktis.
Terkait hal ini, Gus Baha memberikan contoh dalam Q.S. Al-Baqarah: 184 ketika Allah Swt. menjelaskan tentang ketentuan puasa.
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Menurut beliau, untuk memahami ayat ini, perlu memunculkan makna negasi لا sebelum lafaz يُطِيقُونَهُ. Sehingga makna yang pas dari ayat tersebut adalah bagi orang-orang yang tidak mampu melaksanakan kewajiban puasa maka ia boleh tidak berpuasa tetapi harus menggantinya dengan membayar fidyah untuk diberikan kepada orang miskin.
Contoh lain yang menunjukkan betapa pemahaman terhadap fikih dapat membantu mempelajari dan memahami tafsir Alquran adalah firmah Allah Swt. dalam Q.S. An-Nisa: 23. Ayat tersebut berbicara tentang siapa saja yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki. Di antaranya adalah ibu, saudari, bibi, dan seterusnya.
Baca juga: Prioritas Memilih Imam Salat: Antara Ahli Fikih dan Hafiz Alquran
Di antara kelompok perempuan yang haram dinikahi itu, ada yang sifatnya temporal. Misalnya menikahi saudari istri. Allah berfirman:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
Dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Menurut Gus Baha, bagi orang yang memiliki basis pengetahuan fikih, ayat tersebut tidak hanya dimaknai sebagai keharaman laki-laki mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam satu ikatan pernikahan. Akan tetapi, setiap dua perempuan yang memiliki hubungan mahram seperti perempuan dengan bibinya, atau dengan neneknya, misalnya, juga haram dilakukan.
Hal ini misalnya dipahami dalam kitab Fath al-Wahhab yang mengatakan:
” وَحَرُمَ ” ابْتِدَاءً وَدَوَامًا ” جَمْعُ امْرَأَتَيْنِ بَيْنَهُمَا نَسَبٌ أَوْ رَضَاعٌ لَوْ فُرِضَتْ إحْدَاهُمَا ذَكَرًا حَرُمَ تَنَاكُحُهُمَا كَامْرَأَةٍ وَأُخْتِهَا أَوْ خَالَتِهَا “
Tidak boleh mengumpulkan dua perempuan yang keduanya memiliki hubngan nasab. Yang mana batasannya adalah andai salah satu dari dua perempuan itu adalah laki-laki maka mereka tidak boleh menikah. Seperti perempuan dan saudarinya, atau perempuan dengan bibinya. [Fath al-Wahhab, juz 2, hal. 51]
Baca juga: Muhammad Abu Zahrah: Pakar Fikih Penulis Kitab Zahrah al-Tafasir
Metode yang ditempuh Gus Baha dalam mendalami dan belajar tafsir Alquran ini menunjukkan bahwa betapa satu ilmu dengan bidang keilmuan lain memiliki keterkaitan satu sama lain. Imam al-Farra, seorang ‘alim ‘allamah dalam bidang Nahwu dan Bahasa Arab mengatakan bahwa jarang sekali orang yang sudah mendalami satu cabang ilmu akan menemui kesulitan untuk memahami ilmu lain. Dan ini pun terbukti bahwa Imam al-Farra pernah menjawab permasalahan fikih yang ditanyakan kepadanya dengan bermodalkan kaidah nahu dan tata bahasa Arab [Wafiyat al-A’yan, juz 6, hal. 179]
Akhir kata, Alquran merupakan samudera tak terhingga yang bisa didatangi melalui sungai keilmuan yang beragam. Ada yang memahami Alquran dengan basis ilmu tata bahasa, ilmu tafsir, ilmu tentang riwayat (hadis dan perkataan sahabat), dan ada pula yang memahami Alquran dengan basis ilmu fikih seperti halnya Gus Baha. Sekian.