BerandaTafsir TematikInilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al Quran

Inilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al Quran

Kepemimpinan transformatif didefinisikan sebagai kekuatan untuk menggerakkan dan mempengaruhi orang lain guna mencapai tujuan bersama yang dikehendaki. Pemimpin tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai top-down semata, tetapi harus button-up. Dalam arti, ia harus mendengar aspirasi mereka dan mengakomodasinya dengan beberapa pertimbangan. Sederhananya, kepemimpinan transformatif ialah mereka yang mampu bertransformasi secara mindset, perilaku dan hasil.

Kepemimpinan semacam ini telah direalisasikan oleh Rasulullah saw, jauh sebelum istilah kepemimpinan transformatif tercetus. Sebab, kalau kita berbicara tentang hal itu maka pasti merujuk pada baginda Rasulullah saw. Karena kepemimpinan beliau selalu didasarkan pada saripati ajaran Alquran dan al-hadits. Kepemimpinan beliau oleh Allah swt diabadikan dalam firman-Nya di bawah ini,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (Q.S. Ali Imran [3]: 159)

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159

Ayat ini memuat pesan-pesan kepemimpinan transformatif Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw tidak hanya teladan di satu aspek saja, melainkan seluruh kehidupan Rasulullah saw adalah teladan bagi kita. Sunnah rasul saw tidak terbatas satu aspek saja, melainkan banyak. Amat disayangkan jika yang diambil adalah bentuk simbolitas saja, bukan substansinya.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kepemimpinan transformatif Rasulullah tercermin dalam empat aspek berikut ini.


Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Bersikap Sabar Bagi Peserta Didik


Berikut 4 Karakter Kepimpinan Transformatif:

Lemah Lembut

Sesuai redaksi fabima rahmatin minallahi linta lahum. Ibnu Katsir dan ‘Ali al-Shabuny menjelaskan bahwa Rasulullah saw dapat bersikap lemah lembut kepada mereka sebab rahmat Allah swt. Huruf ma merupakan silah, orang-orang Arab biasa menghubungkannya dengan isim ma’rifat, sebagaimanan termaktub dalam firman-Nya fabima naqdhihim mitsaqahum (Q.S. al-Nisa [4]: 55).

Rasulullah saw bersabda sembari memegang tangan sahabat Abu Umamah al-Bahili, “Hai Abi Umamah, sesungguhnya termasuk orang-orang mukmin ialah orang yang dapat melunakkan hatinya. “(H.R. Imam Ahmad).

Tidak Kasar baik dalam Ucapan maupun Perbuatan

Karakter tidak kasar, tidak bengis tercermin dari redaksi berikutnya, walau kunta fadzan ghalidzal qalbi lanfaddhu min haulika (sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu). Ibnu Katsir menafsirkan kata al-fadzu dengan keras, namun makna yang dikehendaki ialah keras dan kasar dalam berbicara.

Sedangkan al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir menandaskan sekiranya engkau (Muhammad) bersikap bengis lagi berhati kasar, kejam dan diktator, mereka tidak hanya sekadar menjauhi, melainkan memisahkan diri dari sekelilingmu.

Dengan kata lain, sekiranya Nabi saw berbicara kasar dan berkeras hati, tidak sabar dalam menghadapi mereka, niscaya mereka bubar dan meninggalkan Nabi saw. Namun, Allah swt menghimpun mereka di sekelilingnya dan membuat hati Nabi saw lemah lembut terhadap mereka sehingga mereka menyukai Nabi saw dan loyal kepadanya.

Dikatakan oleh Abdullah bin Umar, “Sesungguhnya aku telah melihat di dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasul saw, bahwa beliau dicitrakan tidak keras, tidak kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar serta tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, melainkan memaafkan dan merelakan.”

Pemaaf dan Demokratis

Meskipun Rasulullah dihina, dicaci, difitnah, dikucilkan, diboikot bahkan dilempari kotoran oleh mereka, beliau tetap memaafkan bahkan al-Baghawy menuturkan Rasulullah tetap memberi syafaat kepadanya jika bertaubat. Selain pemaaf, pribadi Rasulullah saw sangat demokratis.

Wa syawirhum fil amr, Rasulullah saw dalam memutuskan sesuatu selalu mengedepankan musyawarah agar aspirasi mereka terakomodasi dan berkenan untuk melaksanakannya dengan kesadaran diri sendiri tanpa dipaksa.

Sikap demokratis ini tergambar dalam beberapa peristiwa penting misalnya dalam perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Tawaran itu ditolak oleh dua orang Sa’d, yaitu Sa’d bin Mu’az dan Sa’d bin Ubadah. Akhirnya nabi saw menerima usulan mereka.

Perjanjian Hudaibiyah misalnya, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan untuk berumrah.” Lalu Nabi saw memperkenankan pendapat Abu Bakar itu.

‘Ali al-Shabuny melukiskan Rasulullah saw itu pribadi demokratis, sangking demokratisnya Ia gemar berdiskusi dan bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Bahkan dalam beberapa kitab tafsir dijelaskan bahwa perintah bermusyawarah ini bukan karena Nabi saw membutuhkan pendapat orang lain, akan tetapi lebih untuk menjaga dan menghargai perasaan orang lain agar tetap merasa dihargai dan dihormati, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah nguwongno uwong atau ngerumangsani (menghargai orang dan memberi tempat kepada orang lain)

Di samping itu, watak tokoh-tokoh Arab memiliki perasaan sangat sensitif, jika tidak dimintai pendapatnya, mereka gampang tersinggung atau baper. Maka mengajak bermusyawarah merupakan keniscayaan untuk menjaga keseimbangan.

Hal ini menunjukkan Rasul saw sangat demokratis dalam memutuskan suatu persoalan, tidak gegabah, tidak mementingkan ego sektoral, sehingga semua sama suka, sama senang dan sama suka rela untuk melaksanakan perintah Rasul saw sebab aspirasi mereka didengar dan menjadi bahan pertimbangan rasul saw.


Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Surat As-Saffat Ayat 102


Komitmen dan Tawakkal

Fa idza ‘azamta (Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad). Ibnu Katsir menafsiri redaksi ini dengan apabila engkau pasca bermusywarah dengan mereka dalam urusan itu dan telah berkomitmen untuk menjalankannya, hendaklah engkau Muhammad saw bertawakkal kepada Allah swt.

Adapun al-Shabuny memaparkan jika Rasulullah saw sudah menetapkan dalam hatinya, pantang untuk menyerah, dan beliau bertawakkal dan mengembalikannya kepada Allah swt karena apa yang dilaksanakannya tidak lepas dari campur tangan Allah swt.

Dengan demikian, jauh sebelum Stephen Robbins dan Mary Coulter menyatakan bahwa kepemimpinan transformatif itu harus mampu memberikan stimulus dan inspirasif untuk mencapai hasil yang luar biasa, Rasulullah saw sudah mampu melakukan itu.

Bahkan lebih dari sekadar itu, Rasulullah saw adalah sosok pemimpin yang ideal, sempurna dan berintegritas. Beliau mampu mengintegrasi-interkoneksikan antara Iman, Islam dan Ihsan, sehingga sejatinya beliau lah yang harusnya kita idolakan. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...