Ada setidaknya empat karya tafsir yang cukup populer menjadi rujukan di era Indonesia awal. Keempat tafsir tersebut adalah Ma‘alim al-Tanzil karya Al-Baghawiy (w. 529 H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlawiy (w. 691 H.), Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin (w. 741 H.), dan Al-Jalalain karya Al-Mahalliy (w. 864 H.) dan Al-Suyuthiy (w. 911 H.).
Hal ini seperti telah disebutkan Peter Riddell di beberapa tulisannya, seperti Controversy in Qur’anic Exegesis and its Relevance to the Malayo-Indonesian World, The Sources of ‘Abd al-Ra’uf’s Tarjuman al-Mustafid, The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an in the Early Islamic Period in South-East Asia, dan Earliest Quranic Exegetical Activity in the Malay-Speaking States. Tulisan-tulisan tersebut secara umum merupakan kajian Pak Riddell terhadap naskah-naskah tafsir Melayu di abad 16 dan 17 Masehi.
Dalam perjalanannya, teks-teks yang menjadi rujukan tafsir di Indonesia mengalami perkembangan, seperti yang penulis temukan dalam naskah Al-Jalalain koleksi Museum Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Deskripsi selengkapnya dapat dibaca pada tulisan berjudul Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah. Menurut Pak Anasom, naskah tersebut diduga berasal dari abad ke-18-an masehi atau sekitar abad ke-13-an Hijriah. Ini artinya bahwa perkembangan yang penulis maksud adalah sekitar 2 abad dari era yang Pak Riddell sebut dalam tulisannya.
Tentunya dalam kurun waktu 2 abad tersebut banyak hal dan peristiwa yang dapat terjadi berkaitan dengan perkembangan studi tafsir di Indonesia. Oleh karenanya, penulis membatasi apa yang akan dituliskan di sini sebagai ‘penelusuran awal’.
Selain Ma‘alim al-Tanzil karya Al-Baghawiy yang telah penulis ulas beberapa waktu yang lalu (baca tulisan berjudul Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu dan Meneguhkan Popularitas Tafsir al-Baghawiy di Masa Lalu), naskah Jalalain koleksi Museum MAJT diketahui menambahkan interpolasi -meminjam bahasa Pak Riddell- yang berasal dari teks Al-Wajiz.
Al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz merupakan satu dari trilogi tafsir karya Al-Wahidiy, ‘Aliy bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Aliy al-Naisaburiy. Sementara trilogi tafsir yang dimaksud sebelumnya adalah Al-Basith, Al-Wasith, dan Al-Wajiz. Ulasan selengkapnya terkait biografi Al-Wahidiy dan ketiga karyanya dapat dibaca pada tulisan Rudy Fachruddin berjudul Mengenal Al-Wahidi, Ulama yang Menulis Tiga Judul Kitab Tafsir.
Dalam naskah Jalalain MAJT, interpolasi dari Al-Wajiz menggunakan pola yang sama sebagaimana tafsir Al-Baghawiy. Penyalin menempatkannya pada bagian pias halaman dengan menempatkan tanda rujuk yang menandakan penjelasan tambahan atau syarh. Tak lupa pada bagian akhir ditambahkan huruf ha’ (هـ) yang berarti intaha atau akhir dari sebuah interpolasi atau kutipan.
Penelusuran singkat yang penulis lakukan pada bagian surah Al-Kahf [18] mendapati satu redaksi Al-Wajiz yang ditulis oleh penyalin dengan ‘Wajiz’ (وجيز) di akhir interpolasi. Sekilas dapat dipahami bahwa interpolasi yang diberikan berasal dari teks Al-Wajiz. Hasil pencocokan teks yang penulis lakukan terhadap interpolasi tersebut juga menunjukkan hasil yang identik.
Menariknya, dalam beberapa interpolasi berikutnya, pengambilan dari Al-Wajiz menunjukkan intensitas yang cukup tinggi, selain dari tafsir Al-Baghawiy. Bahkan sebagai dugaan awal, bisa saja dikatakan bahwa penyalin atau pemilik naskah Jalalain MAJT tersebut dulunya tengah melakukan kajian perbandingan atas teks Al-Wajiz dan Al-Baghawiy. Hanya saja, pola interpolasi yang digunakan agak berbeda, yakni dengan menggunakan huruf waw (و) sebagai inisial dari Al-Wajiz, sebagaimana huruf ba’ (ب) sebagai inisial Al-Baghawiy.
Keberadaan interpolasi dari Al-Wajiz ini agaknya juga menunjukkan bahwa kajian tafsir di era tersebut telah mengalami perkembangan dari era sebelumnya, di mana rujukan yang digunakan telah berkembang tidak hanya pada empat teks tafsir milik Al-Baghawiy, Al-Baidlawiy, Al-Khazin, dan Jalalain, yang telah disebutkan di atas. Kendati teks Al-Wajiz di era modern ini agaknya tidak begitu dikenal di Indonesia.
Pemilihan teks Al-Wajiz di antara trilogi tafsir Al-Wahidiy mungkin saja disebabkan oleh metode sajian yang digunakan. Al-Wajiz, sebagaimana namanya, berarti tafsir yang singkat atau ringkas. Al-Wahidiy dalam mukadimahnya menjelaskan bahwa penggunaan metode sajian tersebut dinilai lebih cocok. Perubahan mental para pelajar (qishar al-himam) ditengarai menjadi penyebab tidak relevannya penggunaan narasi yang terlalu panjang.
Alasan ini juga yang mungkin menyebabkan pemilik dan penyalin naskah Jalalain MAJT merujuk pada teks Al-Wajiz sebagai informasi pembanding dari teks Jalalain. Hanya saja dalam konteks Indonesia, masyarakat saat itu membutuhkan pengajaran yang langsung memberikan manfaat. Mengutip dari Al-Wahidiy, ta‘jilan li al-manfa‘ah.
Namun seperti telah penulis sampaikan di awal bahwa tulisan ini adalah penelusuran awal maka masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk menggali informasi yang lengkap terkait teks Al-Wajiz dalam peta perkembangan kajian tafsir di Indonesia. Wallahu a‘lam bi al-shawab.