Dalam sejarah Arab pra Islam, menurut Mahmud Muhammad al-Sayyid Khalaf dalam penelitiannya, “Juhud al-‘Ulama’ Fi Muwajahah Jama’ah al-Dahriyyah: Al-Imam Abi Hanifah Namudzajan (105-158 H/724 -775 M)” menyebut salah satu paham yang berkembang di tanah Arab adalah al-Dahriyyah al-Madiyyah (secara sederhana adalah sekularisme dan materialisme) yang dihubungkan dengan mazhab pemikiran al-Samniyyah (realisme) dari wilayah Sindh (provinsi bagian Tenggara Pakistan saat ini).
Atas realitas faktual itulah, Alquran turun dan Islam hadir di tengah-tengah masyarakat di antara eksistensi berbagai paham dan pemikiran. Al-Dahriyyah dalam hal ini, adalah salah satu paham yang disinggung oleh Alquran.
Definisi al-Dahriyyah
Alquran tidak turun di jazirah Arab dalam keadaan hampa sejarah. Orang-orang Arab pra Islam memiliki keyakinan tersendiri yang diwarisi turun temurun dari generasi ke generasi. Alquran dalam konteks itu kemudian mengidentifikasi salah satu paham yang dianut oleh bangsa Arab, yaitu al-Dahriyyah pada QS. Aljatsiyah [45]: 24
وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ
Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Padahal, mereka tidak mempunyai ilmu (sama sekali) tentang itu. Mereka hanyalah menduga-duga.
Baca Juga: Tafsir Surah at-Taubah Ayat 28: Benarkah Orang Musyrik Itu Najis?
Tentang ayat ini, para ulama tafsir merumuskan secara konseptual tentang apa yang dimaksud dengan al-Dahriyyah. Menurut Imam al-Thabari, al-Dahriyyah adalah paham orang-orang musyrik Arab yang meyakini bahwa waktulah yang membinasakan manusia. Dunia adalah satu-satunya kehidupan.
Menurut penganut paham ini, kehidupan selain dunia, seperti hari kebangkitan adalah sebuah kebohongan. Bergantinya malam dan siang yang berada dalam waktu, itulah yang membuat mereka mati. Namun demikian, penganut al-Dahriyyah, melihat adanya kehidupan pada kematian, yaitu kehidupan pada keturunan-keturunan mereka. Kehidupan anak-anak mereka akan mengingatkan kehidupan orang tua mereka. Mereka seolah-olah hidup dan tidak mati. Meskipun mereka mati, mereka menghadirkan kehidupan sebelum kematian, yaitu dengan melahirkan keturunan.
Argumen di atas telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-Dahriyyah. Lebih lanjut, Imam al-Qurthubi melengkapi penjelasan tentang al-Dahr (waktu), yang oleh orang Arab pra Islam diposisikan sebagai subjek (fa’il).
Mahmud Muhammad al-Sayyid Khalaf menyatakan bahwa kelompok al-Dahriyyun meyakini kekekalan waktu. Segala takdir terjadi dalam waktu. Untuk itu, mereka mengingkari pencipta, hari kebangkitan dan para utusan. Waktu dan keabadiannya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia di alam raya. Sebagai implikasinya, kelompok al-Dahriyyah, menurut ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah al-Rajihi dalam Kitab Durus Fi al-‘Aqidah (Juz 2, 5), mengingkari monoteisme ketuhanan (tauhid). Mereka meyakini dunia berjalan dengan sendirinya, tidak ada yang mengaturnya dan menguasainya. Segala sesuatu terjadi dalam waktu.
Baca Juga: Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah
Dari semua argumentasi yang disebutkan di atas, posisi paham al-Dahriyyah bertolak belakang dengan tauhid. Paham al-Dahriyyah, menurut Imam al-Qurthubi berimplikasi pada keingkaran atas akhirat, hari kebangkitan dan balasan atas perbuatan baik dan buruk. Al-Dahriyyah dapat dikatakan dekat dengan paham al-Ladiniyyah (anti/ tidak beragama) atau ateisme. Imam Al-Syahrastani, bahkan menyebut kelompok ini dengan sebutan al-Mu’aththilat al-‘Arab (nihilis Arab).
Nurcholish Madjid dalam “Sekularisasi Ditinjau Kembali” (h. 310) menyebut sekularisme sebagai perwujudan modern dari al-Dahriyyah, dikarenakan prinsip pokoknya yang menolak adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi. Dengan alasan itu, tidak jarang pula al-Dahriyyah dikaitkan dengan materialisme.
Orientasi Realistis al-Dahriyyah
Struktur dasar keyakinan kelompok al-Dahriyyah, pada tahap selanjutnya, tentu saja, membentuk orientasi-orientasi realistis tentang kehidupan dunia, yang mereka anggap menjadi satu-satunya eksistensi. Alquran menyinggung persoalan ini pada QS. Aln’am [6]: 29
وَقَالُوْٓا اِنْ هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ
“Mereka pun akan mengatakan, “Hidup hanyalah di dunia ini dan kita tidak akan dibangkitkan.”
Imam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir menjelaskan bahwa sikap kelompok al-Dahriyyun yang menolak kehidupan setelah kematian serta tidak adanya kebangkitan merupakan bentuk pengingkaran atas Allah. Mereka berasumsi akan kembali ke dunia setelah menyaksikan kebangkitan.
Pandangan yang dibangun oleh al-Dahriyyun, menurut Imam al-Thabari, datang dari prasangka dan kebingungan. Imam al-Baydhawi menambahkan, bahwa dasar argumen kelompok al-Dahriyyah adalah taklid, mereka tidak mengetahui bahwa segala gerak yang terjadi di alam raya tidak berdiri sendiri, ada Allah dibalik segala gerak. Mereka, bahkan tidak mampu merasakan kekuasaan Allah dibalik gerak alam raya. Imam al-Syaukani menegaskan, bahwa kelompok al-Dahriyyun adalah para peragu yang tidak bersandar pada ilmu dan tidak mampu mencapai hakikat dari sesuatu.
Baca Juga: Sejarah Berhala-Berhala Di Sekitar Ka’bah: al-Lata, al-Uzza, dan Manat
Tauhid dan Paham al-Dahriyyah
Di sisi yang berlawanan dengan apa yang terjadi pada bangsa Arab pra Islam, Alquran turun dalam rangka mengkritisi realitas masyarakat Arab, memberi dasar bagi perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan etika masyarakat. Tauhid dalam hal ini menjadi respons atas paham al-Dahriyyah. Tauhid dalam narasi Alquran, menjadi pembawa manusia dari kegelapan menuju cahaya. Seperti dikabarkan Alquran pada QS. Albaqarah [2]: 257:
اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَوْلِيَاۤؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِۗ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ
Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah tagut. Mereka (tagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.
Ayat ini, dijelaskan oleh Imam al-Mawardi dalam tafsir al-Nukat wa al-‘Uyun (Juz 1, 328), dalam dua perspektif, eksistensi kehidupan dunia dan akhirat. Di dunia, Allah akan mengeluarkan orang-orang yang beriman dari gelapnya kesesatan menuju cahaya petunjuk. Di akhirat, orang beriman akan diselamatkan Allah dari gelapnya azab neraka menuju cahaya balasan Allah di surga. Pandangan Alquran ini berbeda sama sekali dengan al-Dahriyyah yang meskipun terlihat berdasar pada kenyataan, namun seperti tidak memiliki harapan atas kehidupan.
Alquran dan nilai-nilai tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah berhasil mengubah lanskap sosial dan kebudayaan masyarakat Arab yang lebih beradab. Kehadiran Islam pada bangsa Arab bertujuan untuk merubah struktur dan sistem keyakinan. Hal itu juga mengandung makna perubahan pada berbagai aspek kehidupan dalam ruang lingkup yang lebih luas dengan tauhid sebagai nilai dasarnya yang sama sekali berbeda bahkan bertentangan dengan ateisme, materialisme, sekularisme dan nihilisme yang terkandung dalam paham al-Dahriyyah. Dilihat dari orientasinya, tauhid menjangkau dan mendorong tujuan-tujuan yang mulia di dunia dan akhirat.
Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.