Surah al-Baqarah yang penamaannya diambil dari ayat yang terdapat dalam surah ini, yaitu sapi betina, menceritakan salah satu kisah tentang Bani Israil. Selain itu, banyak pula penggambaran cerita Bani Israil yang lain dielaborasi panjang lebar, bahkan nyaris seluruh surah al-Baqarah memuat kisah tentangnya. Meskipun sebagiannya adalah kisah israiliyyat, tetapi dari sini bisa menjadi pelajaran untuk umat manusia agar tidak mengulangi perangai buruk yang dicontohkan Bani Israil dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Pada artikel ini akan diungkap bagaimana Bani Israil mendapati ujian kenikmatan dan respons mereka terhadapnya. Alquran merekam baik bagaimana Bani Israil dan kelakuan yang mereka perbuat. Disisipi pesan-pesan umum, pertama-tama, memberi peringatan akan berbagai nikmat dan karunia Allah yang telah mereka terima, lantas menagih janji dan komitmen mereka.
Bani Israil, Banyaknya Nikmat Menjadi Sebab Berpaling
Kata nikmat pada surah al-Baqarah ayat 40 berdasarkan pendapat Wahbah az-Zuhaili merupakan isim jins yang memiliki bentuk tunggal, tetapi bermakna plural. Artinya, nikmat yang dimaksud Allah adalah semua kenikmatan yang telah diberikan untuk Bani Israil.
Di antaranya, diceritakan dalam Q.S. 2:49-65 bahwa Allah menyelamatkan mereka melalui tongkat Musa yang membelah lautan, dari kejaran tentara Fir’aun. Mereka ingkar. Ketika Musa naik ke Gunung Sinai untuk menerima 10 Perintah Tuhan, mereka murtad dengan menyembah anak sapi. Lepas dari kejaran Fir’aun, mereka sampai di tanah yang dijanjikan. Mereka disuruh memasuki Bait al-Maqdis dengan tawadu’, tetapi mereka enggan dan malah mengganti perintah tersebut dengan apa yang seharusnya tidak dikerjakan.
Baca juga: Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi
Setelah itu, banyak adegan buruk Bani Israil yang diceritakan Alquran. Melalui tongkat Musa, Allah cukupi kebutuhan air mereka dari batu yang dipecah dan memancarkan 12 sumber mata air. Allah naungi mereka dari sengatan matahari dan cukupi kebutuhan pangan mereka dengan manna (sejenis madu) dan salwa (sejenis burung puyuh). Mereka malah kemaruk, minta sayur mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah. Sebagian mereka rakus dan melanggar kesucian hari Sabat. Mereka tamak terhadap harta dan Allah kutuk mereka menjadi kera yang hina.
Berdasarkan dari banyaknya nikmat yang dianugerahkan kepada Bani Israil dapat dipahami bahwa mereka memiliki watak dan sifat; tidak pernah merasa bersyukur bahkan terus menerus melakukan pembangkangan kepada Allah, mereka bahkan tidak peduli dengan peringatan-Nya dan janji yang telah mereka buat malah diingkarinya.
Melanggar Perjanjian dengan Allah
Bani Israil dalam Alquran direkam sebagai kaum yang paling sering ingkar janji, merusak komitmen, dan memutarbalikkan fakta. Ibnu Katsir mengutip Ibnu ‘Abbas, mengatakan dari Ibnu Ishaq dan beberapa ulama lainnya, bahwa ketika Nabi Musa berangkat untuk memerangi para penguasa zalim, ia memerintahkan kaumnya agar setiap kabilah mengangkat seorang pemimpin. Tujuannya adalah untuk mengambil janji dari mereka semua (Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I, h. 316).
Di antara janji-janji itu terdapat pada Q.S. al-Baqarah ayat 41-48 dan ayat 83-84. Janji itu bukan sembarang janji, melainkan ada timbal baliknya kepada Allah dengan mereka. Bila mereka berikan janji setia mereka kepada Allah dan mereka tunaikan, maka Allah juga memberikan janji balasan yang berlipat ganda (Q.S. 2:40).
Baca juga: Runtuhnya Bani Israil: Ibrah Untuk Memulai dari Diri Sendiri
Akan tetapi, dasar watak bani Israil, mereka kemudian ingkar janji kepada Allah. Salah satu janji yang mereka langgar adalah ingkar pada Alquran padahal sebelumnya selalu memohon agar didatangkan seorang nabi (Q.S. 2:89) (‘Ali As-Sabuni, Safwat at-Tafasir, Juz I, h.80).
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka tidak memenuhi janji antara lain disebabkan karena rasa takut, khawatir, dan tidak rela kehilangan otoritas keilmuan dan kepemimpinan yang selama itu mereka miliki. Diketahui bahwa Allah mengistimewakan Bani Israil dari suku bangsa lain dengan pengetahuan yang lebih mengenai kitab-kitab Allah. Hanya saja kelebihan-kelebihan itu tidak digunakan untuk positif. Namun, untuk kepentingan mereka sendiri dan tidak peduli bahwa itu berdampak keburukan bagi yang lain.
Memandang Bani Israil: Sebagai Media Intropeksi Diri
Alangkah hebatnya Alquran dengan kisah-kisah yang memuat hikmah yang dapat ditarik melintasi ruang dan waktu, dari zaman Nabi Adam kemudian juga tentang Bani Israil. Kisah-kisah itu bisa dijadikan pelajaran untuk manusia di masa kini. Sebab sikap, pola pikir, dan perilaku (kondisi psikologis) manusia tidak akan berubah.
Jika kita terjebak pada ciri fisik, maka akan sangat mudah bagi kita untuk merasa bahwa para pelaku kejahatan dalam Alquran adalah orang lain belaka. Namun jika kita menelaah kondisi psikologis mereka, baik motivasi maupun pola pikirnya, kita akan terkejut bahwa mungkin sekali perangai buruk yang berulang kali disindir dalam Alquran adalah perilaku diri kita sendiri.
Baca juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius
Saat kita membaca dan menghayati Alquran dengan sungguh-sungguh, dapat direnungi bahwa sebenarnya ciri-ciri Bani Israil sangat relevan dengan masa kini dan bahkan mungkin jika kita menyadari, ternyata yang kita baca pada tiap halamannya adalah diri pribadi.
Betapa melimpahnya kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada kita, tetapi hal itu malah menjadikan diri lalai dan mendustakan bahwa itu semua merupakan karunia dari Allah, sehingga menjadikan diri seorang hamba setengah-setengah untuk taat atau bahkan mendurhakai-Nya. Memang begitulah manusia ketika diberi ujian kenikmatan mudah sekali untuk terlena dan menjadi kufur.
Kisah Bani Israil mengajarkan untuk selalu mensyukuri dan memuji-Nya. Nikmat yang Allah beri jangan sampai membuat kita menjadi orang yang sombong, merasa lebih baik, dan bahkan merendahkan yang lain. Hendaknya nikmat itu digunakan sebagai sarana untuk lebih semangat melakukan ketaatan dan ibadah kepada-Nya, bukan malah untuk mendurhakainya dengan berpaling dan ingkar. Sebab, bukankah kita telah mengambil sumpah setia kepada Allah dahulu kala yang bahkan sebelum kita dilahirkan ke dunia?[]