Artikel ini khusus membahas taktik yang dilakukan Nabi Muhammad saw. dalam berdiplomasi melalui media surat yang dikirimkan kepada raja atau penguasa kala itu, baik yang dari kalangan bangsa Arab maupun non-Arab. Media surat merupakan cara diplomasi yang sering dilakukan Nabi Muhammad saw. untuk mensyiarkan Islam. (Mustafirin, Dakwah Bi Al-Qalam Nabi Muhammad Saw, 64)
Dalam surat-surat Nabi Muhammad saw. tersebut, terdapat beberapa pola redaksi bahasa yang dapat ditarik menjadi sebuah ciri khas gaya bahasa diplomasi nabi. Di surat-surat tersebut, terbaca beberapa pilihan kalimat yang sangat memerhatikan lawan bicaranya, serta sosial dan budayanya.
Baca Juga: Diplomasi Ala Nabi Muhammad Saw.
Sapaan penghormatan sesuai budaya
Dalam pembuka suratnya, Nabi Muhammad saw. menyesuaikan sapaan untuk lawan bicaranya, dia orang Arab atau non-Arab. Sapaan tersebut disesuaikan dengan budaya setempat. Untuk para raja atau penguasa suatu wilayah dari bangsa non-Arab, Nabi Muhammad saw. menyapa mereka dengan menyebutkan gelar kemuliaan, sebagaimana surat yang ditujukan untuk beberapa raja berikut;
Raja Najasyi (Abbisinia),
من محمد رسول الله الى النجاشي عظيم الحبشه
Dari Muhammad utusan Allah untuk al-Najasy, Pembesar Abbisinia
Raja Kisra (Persi),
من محمد رسول الله الى كسرى عظيم فارس
Dari Muhammad utusan Allah kepada Kisra, Pembesar Persi
Kaisar Heraklius (Romawi),
من محمد عبد الله و رسوله الى هرقال عظيم الروم
Dari Muhammad, hamba dan utusan Allah, untuk Heraklius, pembesar Romawi
dan Raja al-Muqawqis (Mesir),
من محمد عبد الله الى المقوقس عظيم القبط
Dari Muhammad hamba Allah, untuk al-Muqawqis pembesar Koptik.
Kutipan surat Nabi Muhammad saw. ini bisa didapati salah satunya di ath-Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Jilid 2 atau juga di karya Mahmud Syit Khattab, Sufara’ al-Nabiy Shallahu ‘alaihi Wasallam, 91-92, Jilid 2.
Terlihat jelas bahwa Nabi saw. menggunakan sapaan resmi untuk para raja non-Arab, yakni dengan menggunakan redaksi adzim yang bermakna pembesar. Sedangkan untuk raja atau penguasa wilayah yang berbangsa Arab, Nabi Muhammad saw. memilih untuk menyapanya dengan menyebut namanya langsung dengan diikuti nama ayahnya, sebagaimana berikut;
Raja al-Haris al-Gassani (Siria),
من محمد رسول الله الى الحارث بن أبي شمر
Dari Muhammad utusan Allah untuk al-Harits bin Abi Syamir
Raja al-Munzir bin Sawa (Bahrain),
من محمد رسول الله الى المنذر بن ساوى
Dari Muhammad utusan Allah untuk al-Munzir ibn Sawa
Raja al-Haris al-Himyari beserta saudaranya (Yaman)
من محمد رسول الله النبي الى الحارث بن عبد كلال ونعيم بن عبد كلال والنعمان قيل ذي رُعَيْنٍ وَهَمْدَانَ وَمَعَافِرَ
Dari Muhammad Nabi utusan Allah untuk Haris, Nu’aim, dan Nu’man bin Abd Kulal
Penjelasan ini masih bisa ditemukan dalam karya ath-Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, 552 Jilid 2, 29 dan 120 Jilid 3.
Raja Jaifar dan Abd (Oman),
من محمد رسول الله الى جيفري و عبد ابن الجلندي
Dari Muhammad utusan Allah untuk Jayfar dan Abd ibn al-Julanday
Raja Haudzah al-Hanafi (Yamamah),
من محمد رسول الله الى هوذة بن علي
Dari Muhammad utusan Allah untuk Hauzah bin Aly
Demikian kutipan dari Ibnu Sayyid al-Nas, dalam ‘Uyun al-Atsar, Jilid 2, 335 dan 338.
Baca Juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim
Substansi isi surat disesuaikan dengan kekuatan kekuasaan raja
Selain melihat lawan bicaranya, Nabi Muhammad saw. juga mempertimbangkan seberapa besar kekuatan kekuasaan dari raja yang dituju. Hal ini memengaruhi substansi dari surat yang akan ditulis oleh beliau.
Sebagaimana surat yang ditulis Nabi Muhammad saw. untuk Raja Kisra (Persi), Kaisar Heraklius (Romawi), dan Raja al-Muqawqis (Mesir). Mengingat ketiga penguasa tersebut memiliki kekuatan kekuasaan yang besar, maka Nabi Muhammad saw. menulis dengan sedikit bernada mengancam, namun tetap religius, yakni jika mereka tidak mau memeluk agama Islam, maka mereka akan celaka kelak di akhirat, tapi jika mereka bersedia mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw., maka mereka akan selamat dari siksaan Allah swt., serta mendapatkan pahala dua kali lipat.
Seperti surat yang ditujukan kepada Kaisar Heraklius; (Khattab, Sufara’ al-Nabiy Shallahu ‘alaihi Wasallam, 92, Jilid 2)
أَسْلِمْ تَسْلَمْ و أَسْلِمْ يُؤْتِك اللهُ أَجْرَك مَرَّتين, وَإِنْ تتوَلَّى فَإِنَّ إثمَ الأَرِبسِيِّنَ عليك
Masuklah kamu ke dalam agama Islam maka kamu akan selamat dan peluklah agama Islam maka Allah akan memberikan bagimu pahala dua kali lipat, dan jika engkau menolak, dosa kaum Aris akan ditanggung olehmu.
Sedangkan untuk raja yang kekuasaannya masih kecil, Nabi Muhammad saw. membubuhinya dengan ancaman politis yang bermaksud pada pengambilalihan wilayah kekuasaan, seperti surat yang ditujukan untuk Raja Jaifar dan Abd (Oman) (Al-Nas, ‘Uyun al-Atsar, Jilid 2, 335)
وَإِنَّكُمَا إِنْ أَقْرَرْتُمَا بِالإِسْلامِ وَلَّيْتُكُمَا، وَإِنْ أَبَيْتُمَا أَنْ تُقِرَّا بِالإِسْلامِ فَإِنَّ مُلْكَكُمَا زائل عنكما
Sungguh jika kamu berdua mengakui Islam, aku akan menetapkan kamu berdua (sebagai penguasa), jika enggan mengakui Islam, maka sungguh kerajaanmu akan lenyap.
Baca Juga: Isyarat Media Pendidikan Islam dalam Kisah Nabi Sulaiman
Pertimbangan interaksi penggunaan Bahasa
Surat diplomasi yang dikirimkan oleh Nabi Muhammad saw. tidak hanya ditujukan kepada raja-raja di Jazirah Arab yang notabene pengguna Bahasa Arab, tapi juga di luar Jazirah Arab, seperti Kaisar Romawi, Raja Persi. Untuk raja-raja yang non-Arab, Nabi Muhammad saw. tidak menggunakan makna asosiatif, yakni asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu, yang di dalamnya dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang. (Kushartanti, Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik, 119)
Sedangkan surat untuk raja-raja di wilayah Jazirah Arab, adakalanya Nabi Saw menggunakan Bahasa dengan makna asosiasi, sebab bahasa yang dimaksud adalah bahasa keseharian atau percakapaan sehari-hari. Seperti ketika Nabi Muhammad saw. mengirimkan surat kepada Raja Mundzir bin Sawa di Bahrain, sebagaimana berikut ini; (al-Nas, ‘Uyun al-Atsar, Jilid 2, 335)
وَاعْلمْ أنَّ ديني سَيَظْهَرُ إلى مُنْتَهَى الخُفِّ وَ الْحافِرُ
Ketahuilah bahwasanya agamaku ini akan sampai ke penghujung tempat kaki unta dan kuda berpijak.
Makna dari “penghujung tempat kaki unta dan kuda berpijak” adalah bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Saw akan muncul diberbagai penjuru dunia. (Ubaidillah, Bahasa Diplomasi Nabi Muhammad Saw (Analisis Sosiolinguistik Atas Surat-Surat Diplomasi Nabi Muhammad Saw), 77-81)
Demikianlah taktik bahasa yang digunakan oleh Nabi Saw dalam berdiplomasi menggunakan surat. Diplomasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. tidak lain adalah untuk mensyiarkan agama Islam bagi raja-raja yang belum mengenal Islam, agar mereka memeluk agama Islam. Untuk raja-raja yang sudah memeluk agama Islam, Nabi Muhammad saw. menegaskan kembali agar mereka tetap teguh pada pendiriannya, keimanannya, dan senantiasa taat beramal saleh, melaksanakan setiap perintah agama. Wallah a’lam.