Rekonsepsi Prasyarat Mufasir di Era Kontemporer

Rekonsepsi prasyarat mufasir (ilustrasi)
Rekonsepsi prasyarat mufasir (ilustrasi)

Rekonsepsi pada aspek-aspek studi Alquran, tidak hanya menjamah perangkat teoritis maupun metodologis, melainkan juga pada subjek aktif yang menempatkan Alquran sebagai objek studi. Dengan kata lain, rekonsepsi juga menyentuh aspek prasyarat mufasir.

Perangkat interpretasi Alquran yang terus menyesuaikan kondisi zaman dan kecenderungan mufasir, menambah sederet lahirnya teori-teori baru yang diupayakan dalam mengungkap signifikansi makna. Di saat yang bersamaan, rekonsepsi tentang subjek yang berperan dalam memakai sejumlah teori interpretasi, meniscayakan modifikasi pada syarat-syarat mufasir yang dinilai ketat sebagaimana telah ditetapkan oleh ulama terdahulu.

Baca juga: Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

Pada aspek tersebut, Quraish Shihab menilai perlu diadakan perombakan prasyarat mufasir. Prasyarat yang sekiranya lebih aplikatif serta tetap mempertahankan prinsip-prinsip kunci dan penguasaan keilmuan yang mumpuni dalam kecenderungan terhadap bidang yang digeluti. Dalam diskusi yang baru-baru ini digelar (lihat ulangan di Ngaji Bareng bersama Prof Quraish Shihab dan Gus Baha), Shihab menegaskan urgensi dari hal tersebut. Dia menilai bahwa kebutuhan akan modifikasi prasyarat mufasir yang digagas beberapa ulama semisal as-Suyuthi, membutuhkan konseptualisasi ulang dalam ranah implementasi.

Bagi Shihab, salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi adanya hal ini adalah demi membuka peluang yang seluas-luasnya bagi para ilmuwan untuk ikut berperan dalam menghadirkan tafsir kontekstual. Kemajuan ilmu pengetahuan meniscayakan profesionalitas dan keahlian yang beragam.

Di saat yang bersamaan, Alquran perlu untuk dibaca pada wilayah yang ilmiah. Dalam hal ini, gagasan merekonsepsi prasyarat mufasir menjadi satu keniscayaan agar dapat membuka peluang bagi para ilmuwan di satu sisi dan tidak membatasi mereka untuk menuangkan keahliannya menghadirkan tafsir kontekstual di sisi lain.

Baca juga: Kontekstualitas Alquran

Sejauh upaya yang telah dilakukan, tidak lantas serta merta mempersilahkan siapa saja untuk menafsirkan Alquran. Lebih-lebih jika peluang itu dipahami secara semena-mena dan tanpa batasan. Tawaran Shihab tersebut kemudian diikat oleh nilai-nilai objektif yang menjadi pondasi atas upaya keseluruhan yang ingin dilaksanakan dalam menafsirkan Alquran.

Nilai-nilai objektif ini agaknya telah secara sadar bernaung di bawah akidah yang lurus sebagaimana syarat pertama yang ditetapkan oleh Manna’ al-Qaththan dalam kitabnya (Mabahits fi Ulum al-Qur’an, 1995). Akan tetapi, ketegasan al-Qaththan dalam syarat pertamanya tersebut, akan menolak seluruh upaya intelektual non-Muslim karena perbedaan akidah (Shihab, 2013). Berbeda dengan as-Suyuthi yang mengerucutkannya pada penguasaan aspek kebahasaan secara luas (al-Itqan, 2021).

Lantas, sejauh mana kita memahami syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di dalam kitab-kitab ulum Alquran tersebut?

Baca juga: Nadirsyah Hosen dan Penafsiran Al-Qur’an di Media Sosial

Terkait hal ini, Shihab juga mengutarakan dalam diskusi yang digelar bahwa, syarat tersebut menjadi pengikat bagi orang-orang yang hendak tampil dalam menafsirkan seluruh Alquran. Di samping itu, Shihab juga mengajukan syarat-syarat yang telah diutarakan untuk menambah kredibilitas penafsiran yang dihasilkan.

Bagi Shihab, penempatan rekonsepsi yang ditawarkan menjadi penting sebagai legitimasi bagi para pengkaji Alquran kiwari. Sebab, keberadaan orientasi pengkajian yang tidak selalu menafsirkan keseluruhan ayat, sangat diperlukan dalam menanggapi berbagai problematika yang muncul.

Artinya, untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan hal-hal yang menuntut hadirnya penafsiran ayat tertentu, menjadi suatu keniscayaan yang tidak terelakan untuk rekonsepsi prasyarat mufasir. Di sinilah tawaran Quraish Shihab tersebut dapat ditempatkan, tanpa menafikan argumen dan gagasan para ulama terdahulu. Wallahu a’lam[]