Pengiriman dan penerimaan diplomat gencar dilakukan Nabi Muhammad saw. setelah disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah dengan kaum kafir Quraisy pada tahun 6 H. Salah satu klausul dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa gencatan senjata atau perjanjian damai antara pihak Islam dan kafir Quraisy berlangsung selama sepuluh tahun (Said Ramadhan al-Buthy, The Great Episodes of Muhammad Saw., 451).
Momen yang penting itu lantas dimanfaatkan Nabi Muhammad saw. untuk mengirim surat kepada sejumlah raja atau penguasa, baik Arab maupun non-Arab, untuk mengajak mereka masuk Islam (Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Perjalanan Nabi dan Rasul, 191).
Berikut adalah beberapa raja dan penguasa yang menerima surat diplomasi Nabi saw.
Raja Muqauqis
Untuk mengirim surat kepada Raja Muqauqis, Nabi saw. mengutus Hathib bin Abi Balta’ah. Raja menyambut Hathib dengan hangat dan memuliakannya. Raja pun langsung membaca surat dari Nabi saw., dan memberikan jawabannya di secarik kertas dengan kalimat, “Sungguh aku mengetahui bahwa seorang Nabi telah datang, dan aku hormati kerasulanmu.”
Perilaku Raja yang memuliakan utusan Nabi saw. ternyata tidak menandakan bahwa Raja menerima ajakan Nabi saw. untuk memeluk Islam. Sekalipun demikian, Raja sangat menghormati Nabi saw. dengan mengirimkan balasan berupa hadiah empat orang budak perempuan. Salah satu di antaranya kemudian menjadi istri Nabi saw., yakni Mariyah al-Qibtiyah. Selain itu, Raja juga mengirimkan seekor bighal (bagal) warna putih yang pada saat itu satu-satunya di tanah Arab, dan seekor keledai (Ibnul Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 585-586).
Kaisar Heraklius, Romawi
Dari riwayat ‘Abdullah bin ‘Abbas, Nabi saw. mengutus Dihyah al-Kalbi untuk mengantarkan surat kepada Kaisar Heraklius. Surat itu berisi ajakan untuk memeluk agama Islam. Nabi saw. memerintahkan kepada Dihyah untuk mengirimkan surat itu melalui Gubernur Bushra agar disampaikan kepada Kaisar Heraklius.
Ibnu ‘Abbas melanjutkan, bahwa saat dalam perjalanan niaga, rombongan Nabi saw. dan saudagar Quraisy sedang berselisih di Syam. Ketika itu pula datang seorang utusan Kaisar, kemudian membawa Abu Sufyan bin Harb beserta teman-temannya ke hadapan Kaisar.
Baca Juga: Diplomasi Ala Nabi Muhammad Saw.
Pada waktu pertemuan itulah, Kaisar melemparkan beberapa pertanyaan kepada Sufyan, sebab ia memiliki kekerabatan dengan Nabi saw. Di antara pertanyaan itu berkaitan dengan nasab Nabi saw., pengikutnya, ajaran agamanya, hingga cara berperangnya. Setelah itu, Kaisar menjelaskan maksud dari pertanyaan-pertanyaan itu. Yang pada intinya, apa yang dijawab oleh Sufyan membuktikan bahwa Nabi saw. memang benar seorang Rasul.
Namun, Ibnu Ishaq mengisahkan dari beberapa pakar ulama, bahwa Heraklius berkata kepada Dihyah, “Demi Allah, aku sungguh mengetahui bahwa temanmu itu adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia adalah orang yang kami tunggu kehadirannya selama ini. Tetapi aku takut hal itu mengancam posisiku (sebagai raja) di Romawi. Jika tidak karena itu, aku pasti menjadi pengikutnya.” (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 588-595).
Raja Kisra, Persia
Nabi saw. mengutus ‘Abdullah bin Hudzafah untuk menyerahkan surat kepada Raja Kisra melalui Gubernur Bahrain. Menurut Riwayat dari Muhammad bin Ishaq, setelah membaca surat tersebut, Kisra langsung merobeknya dan memerintahkan kepada Raja Badzan di Yaman agar mengirimkan ajudannya untuk membawa Nabi saw. kepada Kisra.
Ketika kedua ajudan itu sampai di hadapan Nabi saw., mereka menyampaikan bahwa Raja Kisra telah menginstruksikan kepada Raja Badzan agar membawa Nabi saw. bersama mereka. Namun, Nabi menolak ajakan itu, dan menyuruh mereka untuk kembali lagi. Ketika keduanya sudah kembali, Nabi saw. mendapatkan kabar bahwa Allah telah membinasakan Raja Kisra di tangan putranya sendiri, yakni Syirwaih.
Baca juga: Bahasa Diplomasi Nabi Muhammad saw. dalam Media Surat
Keesokan harinya, kedua ajudan itu datang Kembali, dan Nabi saw. langsung memberitahukan akan kabar tersebut. Keduanya lantas memberikan ancaman kepada Nabi saw. sebab mereka tak terima. Mereka lantas kembali dan menemui Raja Badzan, dan menceritakan apa yang disampaikan oleh Nabi saw.
Tak lama setelah itu, Raja Badzan mendapatkan surat dari Syirwaih, bahwa ia telah membunuh Raja Kisra. Seketika itu Raja Badzan berkata, “Sungguh orang itu (Muhammad) adalah benar utusan Tuhan.” Dengan itu, ia menyatakan masuk Islam dan diikuti oleh orang Persia yang berada di Yaman (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 601-603).
Raja Najasyi, Habasyah
Yunus yang meriwayatkan dari lbnu lshaq, berkata, “Nama an-Najasyi adalah Mashamah, yang dalam bahasa Arabnya berarti ‘Athiyyah. An-Najasyi merupakan gelar bagi Raja Ethiopia. Seperti halnya Kisra adalah gelar bagi Raja Persia dan Herakrius bagi Raja Roma.” (adz-Dzahabi, Sirah Nabi; Sejarah Kehidupan Muhammad Saw., 170).
Dari penuturan al-Waqidi, Nabi saw. mengirimkan dua surat kepada Raja Najasyi. Surat pertama berisikan tentang ajakan agar ia masuk Islam. Setelah membacanya, Raja Najasyi meletakan surat itu di matanya. Kemudian ia turun dari singgasananya dan duduk di lantai dengan rendah diri. Dan menyatakan masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.
Baca juga: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis
Surat kedua berisikan perintah agar Raja menikahkan Nabi saw. dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Dalam surat itu, beliau meminta Raja agar mengirim Ummu Habibah bersama para utusannya yang telah datang sebelumnya. Maka Najasyi pun melakukannya.
Nabi saw. sangat menghormati Raja Najasyi. Bahkan saat mendengar berita bahwa Raja telah meningga dunia, Nabi melakukan salat gaib bersama sahabatnya, demikian menurut pernyataan dari Abu Hurairah. Namun, pernyataan ini ditampik oleh Anas bin Malik, bahwa yang disalati oleh Nabi saw. bukanlah Najasyi yang dikirimi surat oleh beliau (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 605-606).
Raja Harits bin Abu Syammr al-Ghassani
Dalam riwayat Al-Waqidi, Nabi saw. mengutus Syuja’ bin Wahb al-Asadi untuk menemui Harits bin Abu Syammr dalam rangka misi menyebarkan Islam. Namun, ketika ia membaca surat itu, raut marah di mukanya langsung tampak, “Siapa yang berani merampas kerajaan ini dari tanganku?” Aku akan menyerangnya bersama rakyatku.” Ia pun memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan kuda.
Sebelum melakukan penyerangan, ia melaporkan kepada Kaisar terkait keadaan tersebut. Namun, Kaisar tidak menyetujui keinginan Raja Harits, “Kamu jangan menyerangnya, berilah bagianku di Iliya padanya.” (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 606-607).
Al-Mundzir bin Sawa Al-Abdi, Bahrain
Al-Ala’ bin Al-Hadhrami diutus untuk menyampaikan surat diplomasi Nabi saw. kepada Al-Mundzir bin Sawa Al-Abdi di Bahrain. Setelah membaca surat tersebut, Al-Mundzir membalasnya dengan menyatakan bahwa ia masuk Islam dan membenarkan risalah Rasulullah saw. (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 611).
Aksi diplomasi Nabi saw. tidaklah selalu berjalan mulus. Bahkan utusan Nabi saw., al-Harits bin ‘Umair Al-Azdi, terbunuh saat mengirimkan surat ke Bashra. Kendati demikian, semangat untuk mensyiarkan Islam tetap berkobar, sehingga waktu di tengah gencatan senjata dengan kafir Quraisy dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Nabi saw. bersama para sahabat. []
Wallahu a’lam.