Tidak sedikit cendikiawan dan pemikir muslim kontemporer yang merasakan kegelisahan intelektual ketika melihat postulat-postulat hukum Islam hasil ijtihad ulama klasik diaplikasikan dalam kehidupan modern saat ini. Mereka menilai bahwa keputusan-keputusan fikih yang ada dalam kitab klasik banyak yang sudah tidak relevan untuk dalam kehidupan saat ini. Karena itulah kemudian lahirlah wacana-wacana yang berusaha merekonstruksi bahkan mendekonstruksi bangungan hukum Islam tersebut. salah satunya adalah gagasan revolusi atau dekonstruksi syariah Abdullahi Ahmed al-Na’im.
Biografi Abdullahi Ahmed Al-Na’im
Abdullahi Ahmed al-Na’im atau yang lebih dikenal dengan al-Na’im adalah seorang cendikiawan muslim berkebangsaan Sudan yang lahir pada tahun 1946. Ia menyelesaikan pendidikan S1-nya di Sudan, tepatnya Universitas Khourtoum dengan fokus pada kajian hukum. Di universitas inilah ia berkenalan dengan Muhammad Mahmud Taha, sorang ulama dan pembaharu Islam, yang kemudian menjadi guru utama dan banyak memberikan kontribusi terhadap konstruk pemikiran al-Na’im. Terutama konsep Makkiyah-Madaniyah yang kemudian dikembangkan oleh al-Na’im dan menjadi landasan paradigmatik dalam setiap wacana dan gagasannya.
Setelah mendapatkan gelar sarjana hukum di Universitas Khourtoum, al-Na’im melanjutkan studinya di Universitas Cambridge, Inggris dengan mengambil kajian kriminologi. Kemudian, gelar Ph.D ia peroleh dari Universitas Edinburg, Skotlandia pada tahun 1976. Sejak lima belas tahun terakhir ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi profesor hukum di The Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat.
Setelah mendapatkan gelar sarjana hukum di Universitas Khourtoum, al-Na’im melanjutkan studinya di Universitas Cambridge, Inggris dengan mengambil kajian kriminologi. Kemudian, gelar Ph.D ia peroleh dari Universitas Edinburg, Skotlandia pada tahun 1976. Sejak lima belas tahun terakhir ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi profesor hukum di The Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat. (Ahmad Taufiq, Pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim tentang Dekontruksi Syari’ah sebagai Sebuah Solusi, 150-151)
Baca Juga: Konsep Nasakh Perspektif Mahmud Muhammad Thaha
Kritik Syari’ah Al-Na’im
Salah satu faktor yang mengantarkan ketenaran nama al-Na’im adalah gagasannya tentang hukum Islam, HAM dan Hubungan Internasional. Di antara tema urgen yang menjadi sorotannya adalah tentang krisis kemanusiaan yang menurutnya bermula dari adanya ketegangan antara hukum Islam dengan HAM. Dalam pandangan al-Na’im, hukum Islam cenderung menempatkan non-muslim sebagai makhluk kelas dua yang ini disinyalir menjadi sumber sakralisasi kekerasan dan pelanggaran hak-hak kemanusiaan lainnya. Al-Na’im melihat realitas hukum Islam yang seperti ini jelas bertentangan dengan HAM dan hubungan internasional dan harus segera dikompromikan seara otoritatif dan konklusif.
Guna menyelesaikan ketegangan tersebut, al-Na’im menekankan perlunya revolusi dan pembacaan ulang terhadap teks-teks suci agama. Menurutnya, Islam sejatinya memiliki segudang landasan normatif yang mengafirmasi serta mengusung nila-nilai kebebasan dan kesetaraan. Nilai-nilai universal tersebut dijumpai pada ayat-ayat yang turun saat periode Mekkah berlangsung. Ia sangat menyayangkan postulat-postulat hukum Islam yang selama ini didasarkan pada ayat-ayat Madaniyah yang dinilai intoleran dan eksklusif serta mengabaikan ayat-ayat Makkiyah karena adanya konsep nasakh.
Dalam pandangan al-Na’im, ayat-ayat yang turun pada periode Madinah lebih menekankan hubungan internal kaum muslim serta memisahkannya dengan umat lain secara antagonistik. Misalnya adanya larangan menjadikan kaum beragama lain sebagai teman setia atau pelindung, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Ali ‘Imran [3]: 28, al-Nisa’ [4]: 144, al-Maidah [5]: 51 dan lain-lain. Begitu pula ayat-ayat Madaniyah lain yang oleh al-Na’im dinilai diskriminatif terhadap suatu golongan. (Abdullahi Ahmed al-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, 273-274)
Baca Juga: Pengertian Nasakh dan Penggunaannya dalam Al-Quran Menurut Para Ulama
Bagi al-Na’im, ajaran-ajaran pada periode Madinah sifatnya historis dan temporal. Dalam bukunya Toward An Islamic Reformation (yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan menjadi Dekonstruksi Syariah), ia menegaskan bahwa umat Islam tidak akan pernah benar-benar mencapai kemajuan terutama dalam bidang hukum publik selagi mereka masih berpegang pada apa yang disebut al-Na’im sebagai syariah historis. (al-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, 69)
Yang dimaksud dengan syariah historis menurut al-Na’im adalah ajaran ajaran yang berlaku pada periode Madinah. Sejalan dengan yang dikatakan oleh gurunya, Mahmud Taha, al-Na’im memandang masyarakat pada waktu madinah pada waktu itu belum mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran universal ayat-ayat makkiyah. Sehinnga aturan syariah yang diturunkan pada waktu periode Madinah menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Madinah pada waktu itu.
Guna menyelesaikan ketegangan antara hukum Islam, Ham dan hukum internasiolan ini, al-Na’im berupaya mendekonstruksi hukum Islam dengan teori Makkiyah dan Madaniyah gurunya, Mahmud Taha. Ia melanjutkan teori tersebut dan mengembangkannya menjadi nasakh terbalik untuk mendapatkan hukum Islam yang sejalan dengan HAM dan hukum internasional. Dengan demikian, al-Naim menawarkan bahwa dengan mempertimbangkan konteks di zaman modern saat ini, ayat-ayat Madaniyah-lah yang justru dinasakh oleh ayat-ayat Makkiyah.
Al-Na’im menilai bahwa ayat-ayat yang turun pada periode Madinah bersifat temporal dan tidak dapat diterapkan dalam realitass kehidupan saat ini. Justru ayat-ayat Makkiyah yang seharusnya dijadikan pedoman dan rujukan oleh umat Islam saat ini isi kandungan ajaran periode Mekkah yang memuat prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, toleran dan nilai-nilai universal lainnya. Ia menegaskan bahwa satu-satunya jalan menuju pembaharuan hukum Islam adalah dengan me-nasakh ayat-ayat Madaniyah yang membenarkan penggunaan kekerasan dan peperangan terhadap non-muslim dalam menyebarkan ajaran agama. Lalu menggantinya dengan ayat-ayat yang menekankan perdamaian dalam mencapai tujuan tersebut.
Gagasannya mengenai revolusi syariah dengan perspektif nasakh terbalik memang patut di apresiasi. Apalagi mengingat latar belakang munculnya gagasan tersebut yang bermula dari adanya krisis kemanusiaan yang dirasakan sendiri oleh al-na’im. Namun, wacana deonstruksi syariah tersebut tidak harus diamini dan diterima begitu saja. Masih banyak celah yang perlu didiskusikan dan direnungkan kembali, terlebih untuk wacana-wacana progresif yang rawan menimbulkan ‘kemarahan’ dalam internal umat Islam. Sekian.