Relasi antara Dakwah dan Opini Publik dalam QS. Ali Imran: 104 Perspektif Hamka

Relasi antara Dakwah dan Opini Publik dalam QS. Ali Imran: 104 Perspektif Hamka

Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai lini. Di antaranya adalah keharusan untuk mengajak pada kebaikan (ma’ruf) dan mencegah terjadinya penyimpangan (munkar). Dalam pembahasaan Alquran diungkapkan dengan frasa amar ma’ruf nahy munkar. Dengan kata lain, ia merupakan konsep dakwah jika dilihat dari fungsinya.

Tafsir Hamka tentang QS. Ali Imran: 104

Salah satu ayat sebagai representasi konsep dakwah tersebut dapat ditemukan di antaranya di QS. Ali Imran: 104.

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Ini merupakan lanjutan dari ayat yang menerangkan perihal nikmat Islam berupa persaudaraan muslim, hati yang saling terjalin satu dengan lainnya, dan juga kemungkinan manusia terjerumus ke dalam neraka. Sebab sebelum datang ajaran Nabi Muhammad Saw., banyak suku saling berkelahi, bahkan antara orang kota dan orang gunung atau padang pasir pun demikian. (Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 2, 23)

Baca Juga: Makna Fahsya’ dan Munkar dalam Al-Qur’an, Mirip Namun Tak Sama

Pada ayat 104 ini Hamka kemudian menerangkannya sebagai dorongan pada umat untuk berdakwah (wal takun minkum ummatun yad’uuna), melakukan amar ma’ruf nahy munkar, untuk menopang nikmat-nikmat yang telah digambarkan pada ayat sebelumnya. Supaya persaudaraan sesama muslim semakin kokoh dan tidak terjerumus ke dalam kabatilan.

Menurutnya, ada dua kata kunci yang perlu diperhatikan pada ayat ini, yaitu ma’ruf dan munkar. Ma’ruf, berasal dari kata ‘urf, maksudnya yang dikenal atau dapat dimengerti, dipahami serta diterima oleh masyarakat. Perbuatan yang ma’ruf apabila dikerjakan dapat diterima, dipahami serta dipuji oleh masyarakat, sebab demikianlah yang patut dikerjakan oleh manusia berakal.

Sedangkan munkar, kebalikannya, adalah perbuatan yang dibenci, tidak disenangi dan ditolak oleh masyarakat. Perbuatan munkar tidak selayaknya dilakukan oleh mereka yang berakal (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 24-25).

Lebih lanjut, Hamka menerangkan, bahwa agama hadir untuk memberikan pencerahan hidup, menuntun manusia dan mengenalkan pada mereka mana ma’ruf dan mana munkar. Sebab itulah, kegiatan dakwah yang demikian tidak terpisah dari pendapat umum atau opini publik.

Baca Juga: Surah Al-An‘am 107-108: Pentingnya Etika Dakwah Bagi Pendakwah

Jika terdapat perbuatan ma’ruf, umumnya masyarakat akan menyetujui dan sebaliknya, perbuatan munkar akan ditolak dan dibenci. Dengan kata lain, semakin tinggi kecerdasan seseorang dalam beragama, maka semakin seseorang mampu memberi distingsi yang kuat antara keduanya. Bahwa antara ma’ruf dan munkar benar-benar dua hal yang berseberangan (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 25).

Hal penting lain dalam melaksanakan dakwah adalah keberanian, sebab akan ada banyak konsekuensi, termasuk dibenci oleh masyarakat. Sebab sulit untuk mengubah kebiasaan buruk yang terlanjur mengakar. Namun, penulis di sini sepakat dengan pendapat Muhammad Abduh, di mana ia juga setuju dalam hal ini dengan Al-Ghazali bahwa ilmu mengharuskan amal. Dengan kata lain, pengetahuan tentang baik dan buruk mengarahkan pada implementasi amar ma’ruf nahy munkar. Ia mengomentari satu syair dari Abu al-Aswad al-Du’ali:

لَا تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِيَ مِثْلَهُ عَارٌ عَلَيْك إذَا فَعَلْت عَظِيم

Janganlah melarang suatu perbuatan namun kamu sendiri melakukannya. Jika demikian, maka suatu kehinaan besar bagimu.

Menurut Abduh, ada kesalahpahaman memahami syair ini, bahwa maksudnya adalah seorang pelaku keburukan tidak berhak memberi nasihat kebaikan, tapi menurutnya maksud dari syair ini justru bagaimana narasi amar dan nahy yang disampaikan oleh orang tersebut juga diseimbangkan dengan upaya perbaikan dalam diri. Sehingga dakwah tidak berhenti oleh status seseorang, apakah ia pelaku maksiat atau bukan. (Rasyid Ridha, Tafsir AlManar, Jilid 4, 26).

Baca Juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Peran Opini Publik terhadap Kemaslahatan Masyarakat

Secara sederhana, menurut Hamka, dakwah dikategorikan pada dua wilayah. Pertama, dakwah secara khusus, yaitu dakwah ditujukan pada kalangan sesama muslim, supaya di dalam tubuh muslim terdapat persaudaraan yang kokoh, saling mengingatkan apabila sesamanya melakukan perbuatan munkar yang bisa berakibat buruk pada dirinya dan orang lain.

Kedua, dakwah secara umum, maksudnya ditujukan pada mereka yang belum mengenal Islam supaya tertarik dan mempelajari ajaran-ajarannya. Setengah ulama ahli tafsir memaknai al-khairi sebagai Islam; memupuk kepercayaan pada Allah, termasuk tauhid dan ma’rifat. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 25).

Hamka menekankan bahwasanya seorang muslim haruslah terlibat aktif dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahy munkar. Hal tersebut berguna untuk membentuk pendapat umum yang sehat atau biasa disebut dengan opini publik.

Apa kaitan antara aktivitas dakwah dengan opini publik? Opini publik adalah istilah yang biasa dipakai dalam diskursus sosial-politik. Ia merupakan semacam wilayah yang diperebutkan guna menggapai kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, dalam pandangan Hamka, opini publik adalah wilayah di mana pelaku amar ma’ruf nahy munkar harus terlibat di dalamnya.

Hal ini guna membentuk opini publik yang sehat, sehingga terbentuklah masyarakat yang juga sehat. Demikian kemudian yang dimaksud dengan almuflihun, yaitu mereka yang beruntung (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 24).

Wallahu a’lam.