Ada salah satu kisah yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah disisipi setan dalam proses penerimaan wahyu. Kisah ini berawal dari karya yang ditulis oleh Ibnu Ishaq. Kisah ini berawal ketika Nabi Saw dan pengikutnya mulai dijauhi dan ditolak keberadaanya oleh kaum Quraish. Sehingga Nabi Saw berpikir dan berharap datangnya pesan Allah agar kaum Quraish dapat menerimanya.
Kemudian Nabi Muhammad memutuskan untuk mengumpulkan mereka di sisi Ka’bah dan mulai membacakan sebuah ayat untuk mereka dan mereka pun bersujud. Ayat yang dilantunkan tersebut tenyata berisi tentang pengakuan Nabi mengenai tiga dewa yang disembah kaum Quraish, ialah al-Lat, al-‘Uzza dan Manat yang merupakan anak dari perempuan Allah. Seketika setan membuat beliau melafalkan kalimat ini. Mereka adalah al-Gharaniq .
Kisah al-Gharaniq menunjukkan bahwa Rasulullah Saw seakan-akan bisa ditipu oleh setan, sehingga melakukan kesalahan yang fatal dengan menganggap bisikan setan yang berisi pujian kepada berhala-berhala sesembahan kaum kafir itu sebagai wahyu dari Allah. Lalu bagaimana pendapat dari mufasir dan muhadis? Berikut uraiannya.
Baca Juga: Qishah al-Gharaniq, Riwayat “Turunnya” Ayat-ayat Setan
Ayat Alquran tentang Kisah al-Gharaniq
Peristiwa al-Gharaniq terjadi saat Rasulullah Saw membacakan surah Alnajm. Meski demikian, bagian paling terperinci tentang kisah al-Gharaniq itu biasanya dikemukakan oleh para mufassir saat mereka menafsirkan surah Alhajj [22]: 52-53:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ وَّلَا نَبِيٍّ اِلَّآ اِذَا تَمَنّٰىٓ اَلْقَى الشَّيْطٰنُ فِيْٓ اُمْنِيَّتِهٖۚ فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ۙ ٥٢ لِّيَجْعَلَ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ وَّالْقَاسِيَةِ قُلُوْبُهُمْۗ وَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَفِيْ شِقَاقٍۢ بَعِيْدٍ ۙ ٥٣
Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Nabi Muhammad), kecuali apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan (godaan-godaan) ke dalam keinginannya itu. Lalu, Allah menghapus apa yang dimasukkan setan itu, kemudian Allah memantapkan ayat-ayat-Nya (dalam hati orang-orang beriman). Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dia (Allah) hendak menjadikan apa yang dilontarkan setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan hatinya keras. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam perselisihan yang jauh (dari kebenaran).
Hadis tentang Kisah al-Gharaniq
Dikutip dari kitab Kashf al-Astar ‘an Zawa’id al-Bazzar (3/74, no. 2263):
حدثنا يوسف بن حماد، ثنا أمية بن خالد، ثنا شعبة، عن أبي بشر، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، فيها أحسب _أشك في الحديث_ إن النبي صلى الله عليه وسلم كان بمكة، فقرأ سورة النَّجم حتى انتهى إلى : (أَفـَرَأَيـْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْ رَى) فجرى على لسانه : (تِلْكَ الغَرَانِيقُ العُلى، الشَفَاعَةُ تُرْتَجَى)، قال : فسمع ذلك مشركو أهل مكة، فسروا بذلك فاشتد على رسول الله عليه وسلم، فأنزل الله تبارك وتعلى : (وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قـَبْلِك مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبيِ إِلا إِذَا تمَنىَّ أَلْقَى الشَّيْطَانُ فيِ أُمْنِيَّتِهِ فـَيـَنْسَخُ اللَّهُ مَا يـُلْقِي الشَّيْطَانُ ثمَّ يحُكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) .
Telah menceritakan kepadaku Yusuf bin Hammad, bercerita kepadaku Umayyah bin Khalid, bercerita kepadaku Syu’bah, dari Abi Basyar, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, yang dianggap ada keraguan dalam hadis, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw berada di Makkah, kemudian Nabi membaca surah an-Najm sampai pada ayat (maka apakah patut kalian, menganggap berhala al-Lata dan al-‘Uzza, dan Manat, yang ketiga kemudian anak perempuan Allah), kemudian Nabi membaca (mereka adalah patung-patung yang tinggi kedudukannya dan mereka adalah syafa’at yang diharapkan). Telah berkata: Maka ketika orang-orang musyrik mendengar perkataannya mereka senang maka menghebat-hebatkan Nabi, kemudian turunlah ayat: (Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Nabi Muhammad), kecuali apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan (godaan-godaan) ke dalam keinginannya itu. Lalu, Allah menghapus apa yang dimasukkan setan itu, kemudian Allah memantapkan ayat-ayat-Nya (dalam hati orang-orang beriman). Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana).
Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran
Pandangan Mufasir
Sikap para mufasir terhadap kisah al-Gharanīq bisa ditelusuri perinciannya pada poin-poin tertentu dalam penafsiran mereka atas ayat-ayat tersebut. Empat yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, pemaknaan kata “tamannā” dan “umniyyatihī”. Kedua, penilaian atas riwayat-riwayat tentang peristiwa al-Gharanīq. Ketiga, pengajuan takwil atas kisah al-Gharanīq tersebut. Keempat, pemaknaan konsep “naskh” dan “ihkam al-ayat” dalam ayat-ayat berkaitan.
Pandangan Muhadis
Kisah al-Gharanīq ini diriwayatkan melalui beragam jalur periwayatan. Sebagai ilustrasi, Ṣahab Ahmad (The Satanic Verses Incident, 284-289) berhasil menginventarisasi 37 riwayat tentang kisah al-Gharanīq dengan sanad yang berbeda-beda. Menyangkut sumbernya, sebagian besar riwayat tersebut berhenti pada periwayat-periwayat dari kalangan Tabiʽīn atau bahkan generasi setelah mereka, hanya ada dua periwayat dari kalangan Sahabat yang tercantum dalam sanad-sanad tersebut, yaitu Ibn ʽAbbas dan Muhammad bin Fadalah al-Zafari. (al-Albani, Nasb al-Majaniq li Nasf Qissat al-Gharanīq, 47-48)
Banyak ulama meyakini bahwa hadis-hadis tentang kisah al-Gharanīq itu ḍāʽīf atau mauḍūʽ. Ṣahab Ahmad bahkan menyatakan bahwa pendapat itu diyakini oleh seluruh ulama abad ke-14 dan abad ke-15 Hijriah tanpa terkecuali. Dalam karyanya, Dalaʽil al-Tahqīq li Ibtal Qissat al-Al-Gharanīq ) 168-225) ʽAli al-Halabi menyebutkan beberapa ulama klasik maupun modern yang dengan tegas menyatakan bahwa hadis-hadis al-Gharanīq itu sama sekali tidak berdasar.
Al-Albani juga menulis sebuah kitab yang secara khusus ditujukan untuk membantah klaim historisitas kisah al-Gharanīq, berjudul Nasb al-Majaniq li Nasf Qissat al-Gharanīq (46). Al-Albani mengulas sepuluh jalur periwayatan hadis-hadis al-Gharaniq, lalu menunjukkan kelemahannya satu persatu.
Baca Juga: Memahami Makna Setan dan Kejahatan Dalam Al-Quran
Hal senada juga dikemukakan oleh Muhammad ʽIzzat Darwazah (Al-Qur’an al-Majīd, 217-218 dan 227-228). Dengan bertolak dari posisi yang sama, yaitu bahwa kisah al-Gharanīq sama sekali tidak otentik, ʽIzzat menyatakan bahwa kisah palsu tersebut bisa menyebar luas karena ketidak telitian para ulama di awal masa kodifikasi (al-mudawwinun) yang mengutip dari sembarang sumber lalu diteruskan oleh para mufasir dalam karya-karya mereka. Di sisi lain, ada juga beberapa ulama yang menunjukkan kemungkinan bahwa hadis-hadis itu bisa diterima.
Ṣahab Ahmad (hal. 262-283) memperlihatkan dalam disertasi yang ditulisnya bahwa hingga pertengahan abad kedua Hijriah atau dalam kurun waktu kira-kira 150 tahun pertama sejarah Islam, kisah al-Gharanīq ini diterima sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi serta beredar dan dikutip secara luas dalam hampir semua literatur tafsir dan sirah-maghazi. Baru kira-kira sejak pertengahan abad kedua, terutama seiring dengan semakin maraknya gerakan kodifikasi dan pengumpulan hadis, riwayat-riwayat tentang kisah al-Gharanīq ini mulai dipersoalkan.
Selain apa yang dikemukakan oleh Ṣahab Ahmad di atas, sebetulnya masih ada beberapa ulama lain dari abad-abad berikutnya yang juga berargumen untuk menerima hadis-hadis al-Gharanīq sebagai sesuatu yang otentik. Pada bagian tentang polemik para ulama menyangkut historisitas peristiwa al-Gharanīq, akan diperlihatkan bahwa akomodasi dan penerimaan terhadap kisah al-Gharanīq itu masih ada setidaknya hingga abad IX Hijriah, dan beberapa di antara para proponennya justru merupakan ahli-ahli hadis terkemuka.
Wallahu a’lam.