Qishah al-Gharaniq, Riwayat “Turunnya” Ayat-ayat Setan

Qishah al-Gharaniq, Riwayat “Turunnya” Ayat-ayat Setan
Qishah al-Gharaniq, Riwayat “Turunnya” Ayat-ayat Setan

Belum lama ini perhatian publik dunia tertuju pada penikaman yang dialami Salman Rushdie, penulis novel The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Pelakunya seorang pemuda imigran Lebanon di New York bernama Hadi Matar.

Penikaman tersebut merupakan rentetan dari reaksi sebagian umat muslim yang dipicu isi novel Salman yang menghina Nabi Muhammad, sayidah Aisyah, dan malaikat Jibril. Reaksi pertama yang diterima Salman adalah vonis mati yang dikeluarkan oleh Ayatollah Khomeini untuknya.

Novel tersebut berangkat dari sebuah riwayat yang dikisahkan para sejarawan muslim dalam karya-karyanya dan masyhur dikenal dengan Qishah al-Gharaniq (Kisah Burung Bangau).

Penting diketahui, tulisan ini bukan untuk mempertentangkan kebenaran Qishah al-Gharaniq dengan novel Salman tersebut. Akan tetapi difokuskan pada Qishah al-Gharaniq dan komentar para ulama terhadapnya. Seperti apa Qishah al-Gharaniq itu?

Kisah Burung Bangau

Kisah ini dapat kita temui dalam buku-buku sirah Nabi Muhammad dan dalam beberapa karya tafsir Alquran. Buku sirah berjudul Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-Mursalin (2013) karya Muhammad Hudhari Beik adalah salah satunya.

Kisah bermula dari rencana kembalinya para muhajirin dari Habasyah ke Makkah setelah tiga bulan mereka tinggal di negeri Raja Najasyi. Rencana itu disebabkan karena kehidupan mereka di tanah asing selama tiga purnama itu ternyata tidak membuat keadaan mereka menjadi lebih baik (Hudhari, hal. 58).

Selain alasan di atas, sebagian sejarawan cenderung menjadikan sebuah kisah yang menyebabkan para muhajirin kembali ke Makkah. Yaitu islamnya kaum kafir Quraisy Makkah ketika Nabi Muhammad membaca surah Annajm [53] di depan Kakbah dan memuji sesembahan mereka dalam surah tersebut. Pendapat ini dikemukaan di antaranya oleh Musa bin Uqbah, al-Waqidi dan al-Thabari sebagaimana disebut Muhammad bin Faris al-Jamil dalam al-Hijrah ila al-Habasyah (2004).

Oleh al-Thabari, riwayat tersebut disampaikan dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (vol. II, 1968) dengan beberapa perbedaan yang tidak disebut Hudhari Beik dalam Nur al-Yaqin. Yaitu ketika Nabi Muhammad sampai pada ayat 19-20, setan menaruh dua ayat tambahan di lisan Nabi Muhammad:

اَفَرَءَيْتُمُ اللّٰتَ وَالْعُزّٰى وَمَنٰوةَ الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى

Apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (dua berhala) al-Lata dan al-‘Uzza. Serta Manata; (berhala) ketiga yang lain (sebagai anak-anak perempuan Allah yang kamu sembah)?

تِلْكَ الْغَرَانِيْقُ الْعُلٰى. وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرْتَجَى

Ialah burung-burung bangau (para malaikat) yang mulia. Pertolongan mereka sungguh diharapkan.

Setelah Nabi Muhammad selesai membaca surah Annajm [53], bersujudlah seluruh orang yang berada di keliling Kakbah, baik mukmin (karena membenarkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad) maupun kafir (karena tuhan-tuhan mereka disebut dan dipuji), kecuali satu orang, yaitu al-Walid bin al-Mughirah (al-Thabari, hal. 338).

Setelah bangun dari sujud, semua orang kembali ke aktivitas masing-masing. Para kafir Quraisy sangat bahagia mendengar dua ayat tadi. “Muhammad telah menyebut tuhan-tuhan kita dengan sebaik-baiknya,” kata mereka. Lalu sampailah kabar itu ke negeri Habasyah bahwa para kafir Quraisy telah masuk Islam.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan

Ayat-ayat Setan

Usai kejadian tersebut, lanjut al-Thabari, datanglah Jibril kepada Nabi Muhammad seraya berkata, “Wahai Muhammad! Apa yang kaulakukan? Kau telah membacakan kepada manusia ayat-ayat setan! Kau mengatakan apa yang tidak sepantasnya kaukatakan!” (hal. 339).

Mendengar itu, Nabi Muhammad sangat bersedih dan takut kepada Allah. Akan tetapi kemudian Allah menenangkan hati Nabi Muhammad dan mengabarkan kepadanya bahwa semua nabi dan rasul pendahulu juga mengalami hal yang sama; dikacau oleh setan. Lalu turunlah Q.S. Alhajj [22]: 52;

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ وَّلَا نَبِيٍّ اِلَّآ اِذَا تَمَنّٰىٓ اَلْقَى الشَّيْطٰنُ فِيْٓ اُمْنِيَّتِهٖۚ فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ۙ

Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi  sebelum engkau (Nabi Muhammad), kecuali apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan (godaan-godaan) ke dalam keinginannya itu. Lalu, Allah menghapus apa yang dimasukkan setan itu, kemudian Allah memantapkan ayat-ayat-Nya (dalam hati orang-orang beriman). Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Maka Allah menasakh ayat-ayat setan tersebut dengan ayat-ayat lain dari-Nya, yaitu Annajm [53] ayat 21-26.

Kemudian ketika kaum kafir Quraisy mendengar penasakhan tersebut, mereka saling berkata; “Muhammad menyesal telah menyebut tuhan-tuhan kita disandingan dengan Allah. Akhirnya dia menggantinya dengan yang lain”. Buntutnya, kaum kafir Quraisy meningkatkan siksaan mereka terhadap pengikut Nabi Muhammad di Makkah (hal. 339).

Baca juga: Merasa Diganggu Setan? Amalkan Doa Ayat Kursi

Kritik atas Kisah Burung Bangau

Kisah di atas ditolak oleh banyak ulama. Salah satunya adalah Qadhi Iyadh. Dalam karyanya, al-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Mustafa (2013), Qadhi Iyadh mengkritiknya dalam satu subbab panjang dengan beberapa argumen yang diajukannya.

Kritik pertama dari segi sanad. Qadhi Iyadh mengatakan tidak ada satupun perawi yang dapat dipercaya kredibilitasnya. Hanya para mufasir dan sejarawan yang suka pada hal-hal aneh saja yang meneyertakan riwayat tersebut dalam karyanya tanpa peduli kebenarannya (hal. 645).

Hanya satu riwayat sahih yang dapat diterima. Namun, redaksi riwayat tersebut sama sekali berbeda dan hanya menceritakan sujudnya semua manusia dan jin bersama Nabi Muhammad usai pembacaan surah Annajm [53]. Riwayat ini justru menunjukkan keagungan Alquran. Dengan demikian tidak ada penasakhan yang terjadi (hal. 646).

Kritik kedua secara matan (redaksi). Qadhi Iyadh mengatakan, tidak ada di antara para sahabat Nabi, bahkan para musyrik Makkah yang mendengar eulogi di tengah-tengah nistaan (hal. 647).

Surah Annajm [53]: 19-23 adalah nistaan Alquran kepada berhala-berhala musyrik Makkah. Dengan demikian, sangat tidak masuk akal jika di tengah-tengah nistaan terhadap sesembahan musyrik Makkah ada eulogi atau pujian kepada mereka. Kita baca Annajm [53]: 23 yang jelas-jelas menyebut berhala-berhala itu hanyalah seonggok batu yang tidak memiliki faedah sama sekali.

اِنْ هِيَ اِلَّآ اَسْمَاۤءٌ سَمَّيْتُمُوْهَآ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللّٰهُ بِهَا مِنْ سُلْطٰنٍۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْاَنْفُسُۚ وَلَقَدْ جَاۤءَهُمْ مِّنْ رَّبِّهِمُ الْهُدٰىۗ

(Berhala-berhala) itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu ada-adakan. Allah tidak menurunkan suatu keterangan apa pun untuk (menyembah)-nya. Mereka hanya mengikuti dugaan dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu. Padahal, sungguh, mereka benar-benar telah didatangi petunjuk dari Tuhan mereka.

Selanjutnya, Qadhi Iyadh mengutip beberapa riwayat; Qatadah dan Muqatil mengatakan bahwa Nabi Muhammad membaca surah Annajm dalam keadaan mengantuk sehingga perkataan beliau dianggap sebagai igauan.

Lain lagi, Ibn Syihab dari Abu Bakr bin Abd al-Rahman mengatakan bahwa Nabi Muhammad lupa, sehingga kesempatan itu dipakai oleh setan. Andai riwayat-riwayat tersebut diterima (itupun kalau benar), maka tetap tidak masuk akal sebab Nabi Muhammad terpelihara (ma’shum) dari semua kesengajaan dan kelalaian (hal. 650).

Dan yang terakhir dari segi tarikh kejadian. Hudhari Beik, menukil dari para sejarawan, menyebut bahwa hijrah kaum muslim Makkah ke Habasyah terjadi pada bulan Rajab dan kembali ke Makkah pada bulan Syawal. Sedangkan surah Annajm turun pada bulan Ramadan. Dengan demikian, ada rentang waktu satu bulan antara turunnya surah dan kembalinya muhajirin ke Makkah (hal. 59).

Menilik pada masa itu, perjalanan dari Makkah ke Habasyah dan kembali lagi ke Makkah tidak cukup ditempuh dalam satu bulan. Tak ada transportasi, baik darat maupun laut, atau teknologi yang mampu menyampaikan sebuah kabar dengan cepat. Apalagi perjalanan Makkah-Habasyah mesti menyeberangi Laut Merah. Dengan demikian, kabar yang diterima muhajirin di Habasyah tidak dapat diterima sebab alasan-alasan di atas (hal. 60).

Demikian ulasan singkat Kisah Burung Bangau dan ayat-ayat setan serta komentar para ulama terhadapnya. Wallahu a’lam.

Baca juga: Q.S. Yusuf: 28 vs Annisa: 76, Perempuan Lebih Berbahaya Daripada Setan?