BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanPrinsip Kerukunan Antaragama dalam Tafsir Nusantara

Prinsip Kerukunan Antaragama dalam Tafsir Nusantara

Di tengah keragaman agama dan budaya, Indonesia menjadi rumah bagi berbagai keyakinan. Islam, sebagai agama mayoritas pun turut mengajarkan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Dalam konteks ini, menjadi seorang muslim yang baik tidak hanya berarti melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, tetapi juga mampu mempraktikkan nilai-nilai kerukunan antaragama yang menjadi bagian integral dari identitas bangsa Indonesia.

Islam sebagai agama yang menghargai keberagaman dan mengajarkan perdamaian, menempatkan pentingnya kerukunan antaragama. Misalnya di bulan puasa tahun ini muncul fenomena yang tengah viral di Indonesia yakni kalangan nonmuslim yang turut bersaing dalam hal berburu takjil. Hal tersebut justru mendapat respons positif dari kalangan umat Islam, sebab di samping pihak nonmuslim yang ikut membantu memajukan perekonomian dengan melariskan takjil yang mereka dagangkan, juga memberikan gambaran tentang indahnya memahami keharmonisan dalam keberagaman.

Dalam ajaran agama Islam, sebenarnya tidak ada larangan untuk bersikap baik terhadap kalangan nonmuslim selama mereka sendiri tidak berbuat buruk, baik dalam hal akidah maupun muamalah. Alquran sendiri telah banyak menyebutkan tentang pentingnya menjaga kerukunan antaragama dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan. Salah satunya yang termaktub pada surah Almumtahanah [60]: 8-9 sebagai berikut.

لا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ٩

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarangmu (berteman akrab) dengan orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama, mengusirmu dari kampung halamanmu, dan membantu (orang lain) dalam mengusirmu. Siapa yang menjadikan mereka sebagai teman akrab, merekalah orang-orang yang zalim.”

Dari ayat di atas kiranya perlu untuk ditelaah dengan menggunakan pandangan dari beberapa tafsir Nusantara untuk memahami prinsip kerukunan antaragama yang terkandung di dalamnya. Hal ini agar paling tidak penafsiran yang diberikan mudah untuk dipahami karena memang menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisannya, serta tetap relevan dengan kondisi bangsa dewasa ini.

Prinsip Kerukunan Antaragama Menurut Tafsir Nusantara

Pendapat pertama yakni dari A. Hassan yang tampaknya tidak jauh berbeda dengan terjemahan dari ayat di atas (Al-Furqan (Tafsir Qur’an), hal. 1093). Namun, A. Hassan sendiri sebelumnya telah memberikan penjelasan mengenai makna “zalim” dalam bagian Fasal 35: Qamus Bagi Beberapa Kalimah. Menurutnya, zalim diartikan sebagai bentuk menganiaya diri sendiri dengan melakukan sesuatu yang tidak diridai Allah Swt. Dalam hal ini, sesuatu yang tidak diridai Allah adalah berkawan dengan orang-orang yang memusuhi dalam hal agama dan merampas hak-hak manusia.

Sementara Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (Jilid 9, hal. 7303-7305) mengatakan jika kebolehan berbuat baik, adil, dan jujur kepada golongan lain yang di luar Islam berlaku kapan pun masanya selama mereka tidak bersikap yang sebaliknya; memerangi dan mengusir dari tanah air sendiri. Bagi Hamka, seorang muslim yang berkawan dengan musuh Islam dianggap tidak memiliki keteguhan iman dan tidak ada gairah untuk mempertahankan agama.

Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Selain itu, Hamka juga tampak memberikan sindiran bagi orang Islam yang terlalu berlebihan dalam bertoleransi yang berpendapat bahwa semua agama sama saja; sama-sama baik tujuannya. Orang seperti ini dinilai oleh Hamka justru tidak ada agama sama sekali dalam hatinya. Seharusnya, jikalau benar-benar seorang muslim, tentu ada keyakinan dalam hatinya bahwa agama yang benar tetaplah Islam.

Pendapat lainnya yakni dari Zainuddin Hamidy dan Fachruddin dalam karya tafsir berjudul Tafsir Quran. Dalam tafsir ini dikatakan bahwasanya perbedaan agama dan kepercayaan bukanlah inti dari suatu permusuhan bagi umat Islam. Akan tetapi, hal ini akan berbeda apabila orang-orang di luar Islam bertindak sebagai musuh yang mengganggu kemerdekaan, keagamaan, dan kediaman. Dengan kata lain, pihak-pihak seperti inilah yang perlu untuk dibalas dengan sikap yang keras lagi tegas (Tafsir Quran, hal. 820).

Hal serupa juga disampaikan oleh Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Jilid 5, hal. 4193-4194). Dalam tafsir tersebut dijelaskan bahwa Allah memperbolehkan umat Islam untuk tetap berbuat ihsan kepada orang kafir sekalipun dengan catatan pihak mereka tidak memusuhi Islam, tidak mengusir orang-orang muslim maupun terlibat memberikan bantuan kepada pihak yang melakukan kegiatan tersebut.

Baca juga: Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan

Kendati demikian, Islam sendiri sejatinya adalah agama yang damai dan berakidah cinta sebagaimana pendapat Sayyid Quthub yang ditulis oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (Jilid 14, hal. 170). Shihab juga mengatakan bahwa dalam dua ayat di atas mengandung prinsip dasar terkait hubungan interaksi antara kaum muslim dan nonmuslim. Lebih lanjut, Islam sendiri sejatinya tidak memiliki niatan untuk mengadakan permusuhan dengan pihak mana pun dan lebih ingin agar semua umat dapat saling memahami keharmonisan.

Keharmonisan Islam idealnya dapat tetap ditunjukkan melalui kejujuran dan keadilan meskipun berada dalam situasi permusuhan. Hal ini dilandaskan pada sebuah harapan agar setiap hati manusia dapat kembali jernih sebagaimana mestinya, sehingga mereka dapat kembali kepada jalan yang benar lagi diridai-Nya (Islam). Alhasil, seorang muslim seharusnya mampu untuk ikut berusaha menciptakan kerukunan antaragama dengan senantiasa memberikan kebaikan tanpa membandingkan agamanya dengan agama yang lainnya.

Memahami Pesan Kerukunan Antaragama

Menjadi seorang muslim yang baik di Indonesia tidak hanya melibatkan pelaksanaan ajaran agama dengan baik, tetapi juga keterlibatan aktif dalam memperkuat kerukunan antaragama. Dengan memahami dan menghormati keberagaman, masyarakat muslim dapat memainkan peran penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan damai. Dalam konteks ini, Islam bukanlah hanya agama, tetapi juga sebuah panggilan untuk hidup berdampingan dengan harmoni dan saling menghormati dengan pemeluk agama lain.

Selanjutnya, mufasir Nusantara menekankan bahwa Islam tidak melarang untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi umat Islam atau mengusir mereka dari rumah mereka. Ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menghargai keadilan dan kemanusiaan, bahkan terhadap mereka yang tidak memeluk agama Islam.

Baca juga: Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

Dalam pandangan mufasir Nusantara, ayat-ayat ini memberikan landasan yang kokoh bagi pembangunan masyarakat yang inklusif dan harmonis di wilayah Nusantara. Pesan-pesan tentang perdamaian, toleransi, dan keadilan yang terkandung dalam surah ini menjadi pedoman dalam menjalin hubungan antarumat beragama dan membangun masyarakat yang damai serta berkeadilan.

Dengan demikian, tafsir Nusantara memberikan pemahaman yang mendalam tentang surah Almumtahanah ayat 8-9, serta relevansi dan aplikasinya dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Islam di wilayah Nusantara. Pesan-pesan tentang perdamaian, toleransi, dan keadilan yang terkandung dalam surah ini menjadi pedoman dalam menjalin kerukunan antaragama dan membangun masyarakat yang damai serta berkeadilan.

Adi Swandana E. P.
Adi Swandana E. P.
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...