Kewajiban membayar zakat bagi umat muslim bukan hanya berkaitan dengan aspek ketuhanan. Zakat juga erat kaitannya dengan aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Pendistribusian zakat dari golongan mampu kepada golongan tidak mampu bisa menjadi sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan bersama.
Ditilik dari sejarahnya, zakat mulai disyariatkan kepada umat Islam pada tahun ke-2 Hijriyah. Kewajiban zakat fitrah lebih dahulu turun kepada Rasulullah sebelum zakat mal, yaitu pada tanggal 28 Ramadan. Pada hari itu Nabi saw., memerintahkan dan mengajarkan pembayaran zakat kepada masyarakat dua hari hingga sebelum dilaksanakannya salat Idulfitri.
Sementara sebagian pendapat menyatakan bahwa anjuran zakat telah ada sejak Nabi masih berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan salat. Sebab, ayat tentang perintah membayar zakat senantiasa beriringan dengan perintah mendirikan salat.
Dalam Alquran terdapat 82 ayat yang berisi perintah menunaikan zakat. Dari sekian ayat itu di antaranya adalah ayat-ayat makiyah. Ini berarti semenjak munculnya Islam telah memiliki perhatian terhadap problem kemiskinan dan masalah sosial dalam masyarakat.
Zakat dapat memberikan kemanfaatan untuk individu dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang di lingkungan yang menjalankan sistem zakat tersebut. Hal ini kemudian mengantarkan zakat untuk memainkan peranannya sebagai instrumen yang memberikan kemanfaatan secara kolektif.
Fungsi Zakat Bagi Muzaki dan Mustahik
Allah berfirman dalam surah At-Taubah ayat 103 sebagai berikut.
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengannya kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Adapun kata tuthahhiruhum wa tuzakkīhim (kamu membersihkan dan menyucikan mereka) menurut An-Nuhas dan Makki seperti yang dikutip dalam Tafsir al-Qurthubi (8/626) merupakan sifat dari kata zakat, yaitu membersihkan dan menghiasi jiwa dengan aneka kebajikan. Susunan kedua kata itu mengisyaratkan bahwa membersihkan diri dari dosa harus didahului dari upaya menghiasi diri (Tafsir al-Mishbah, 5/236).
Baca juga: Ayat Zakat dan Isyarat tentang Sumber Pendapatan Negara
Fungsi zakat adalah pembersihan dan penyucian. Dalam Tafsir asy-Sya’rawi (h. 501) dikatakan bahwa fungsi tersebut terjadi pada setiap elemen zakat, yaitu muzaki (orang yang mengeluarkan zakat), mustahik (penerima zakat), dan harta yang dizakatkan itu sendiri.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi, dari sisi muzaki, zakat itu dapat menyucikan diri dari kotoran kikir, rakus, dan materialistis yang merupakan sifat dan watak yang hina. Sifat tersebut pada akhirnya menjadikan manusia enggan memberikan hartanya kepada orang lain walau sekecil apapun.
Ketika sifat kikir dan rakus tersebut dibiarkan, maka akan sangat berbahaya baik bagi individu maupun bagi kehidupan bermasyarakat. Sifat kikir dan rakus ini akan mendorong manusia untuk saling menjatuhkan bahkan sampai menumpahkan darah, menjual agama, bahkan rela mengkhianati negaranya (Daur al-Zakah, h. 42).
Baca juga: Semangat Filantropi dalam Alquran dan Keadilan Ekonomi
Kewajiban zakat bagi seorang hamba memiliki peran penting untuk sedikit demi sedikit membunuh sifat-sifat tercela tersebut. Dengan adanya zakat, dia dipaksa untuk memberikan sebagian harta yang Allah titipkan kepada orang yang berhak.
Dengan harapan, hal itu dapat membiasakannya untuk bisa saling berbagi dan bersimpati atas kehidupan orang lain yang kesejahteraannya jauh di bawahnya. Sehingga pada akhirnya nanti dia tidak hanya mengeluarkan zakat. Akan tetapi lebih dari itu, dia akan mulai memberikan sedekah yang melebihi dari nilai zakatnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi dan para salaf.
Selain membersihkan dan menyucikan hati muzaki, zakat pada akhirnya juga mampu menyucikan hati mustahik dari sifat-sifat, seperti iri, dengki, dan amarah. Ketiga sifat tersebut sering sekali dipicu oleh tingginya tingkat kesenjangan dalam masyarakat. Sifat tersebutlah akar terjadinya kriminalitas dan perampasan harta oleh mereka yang merasa termarjinalkan.
Zakat sebagai Intrumen Pembangun Ekonomi Sosial
Di sisi lain, Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa zakat juga memiliki makna tumbuh, berkembang, dan bertambah. Dalam Tafsir al-Qurthubi (8/456) dijelaskan bahwa mengeluarkan harta disebut zakat (bertambah), padahal sesungguhnya zakat itu mengurangi harta muzaki. Namun, harta itu menjadi semakin berkembang dari sisi keberkahannya. Keberkahan itu dapat dirasakan dalam diri muzaki dan mustahik serta masyarakat luas.
Hal itu bisa dilihat dalam konteks ekonomi masyarakat, zakat yang merupakan ibadah maliyyah ijtimaiyyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan) memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan untuk pemberdayaan pembangunan umat (Jamuan Ilahi Pesan al-Quran, h. 40).
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki memberi keuntungan dan efek positif bagi berbagai pihak (multiplier effect), menumbuhkan kesuburan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara adil dan merata. Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, otomatis akan melancarkan perputaran modal dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian masyarakat.
Baca juga: Kritik Alquran Terhadap Kesenjangan Sosial
Dalam hal ini, zakat yang merupakan salah satu instrumen distribusi kekayaan dalam Islam memiliki peran dan fungsi untuk menciptakan keadilan ekonomi dan sosial. Selain itu, zakat juga berfungsi mengurangi kesenjangan ekonomi, kelemahan fisik, maupun mental, dan menghindarkan dari bencana-bencana kemasyarakatan lainnya, serta dapat mempererat hubungan sosial dalam masyarakat.
Sebagaimana penjelasan Qardawi dalam Hukum Zakat (h. 876), zakat mampu memberikan ikatan yang kuat antara muzaki dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Ikatan tersebut akan selalu dibingkai oleh cinta kasih serta dipadukan dengan sifat persaudaran dan saling tolong-menolong yang mengantarakan pada rasa aman, tenteram, dan harmonis. Jika suasana tersebut telah ada dalam masyarakat, ini kemudian akan menjadi salah satu pilar keberhasilan pembangunan ekonomi dan kemajuan negara. []