BerandaTafsir TematikKritik Alquran Terhadap Kesenjangan Sosial

Kritik Alquran Terhadap Kesenjangan Sosial

Sejak awal penurunan, Alquran melontarkan kritik terhadap kesenjangan sosial yang terjadi di kalangan masyarakat Mekah. Kritik tersebut merupakan langkah untuk menciptakan tatanan masyarakat yang berakhlak dan berkeadilan.

Fazlur Rahman dalam Tema-tema Pokok Alquran (2017: 56) mencatat bahwa ketimpangan ekonomi menjadi sesuatu yang paling umum mendapat kecaman dari Alquran. Itulah yang paling sulit diperbaiki serta merupakan akar konflik sosial. Terjadi banyak penyiksaan terhadap anak perempuan, anak yatim, kaum perempuan, hingga perbudakan. Dari sudut pandang ekonomi, Mekah merupakan kota perdagangan yang makmur, akan tetapi ia memiliki dunia bawah tanah yang berisi eksploitasi kaum lemah dan berbagai praktik perdagangan yang curang.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11: Larangan Saling Menghina Dan Merendahkan dalam Al-Quran

Mekah saat itu menampilkan kehidupan bermegah-megahan dengan kekikiran yang egois dan tidak berperasaan di satu sisi, namun ada kemiskinan luar biasa dan kesengsaraan di sisi lain. Menurut Rahman (2017: 56), Alquran membuat pernyataan yang mengesankan untuk merespons situasi tersebut, seperti dalam Q.S. Attakasur [102]: 1-4.

اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ . حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ . كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ .ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ

“Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Sekali-kali tidak (jangan melakukan itu)! Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya).” (Q.S. Attakasur [102]:1-4)

Alquran tentu tidak melarang usaha mengumpulkan kekayaan dan menggapai kemakmuran. Bahkan, kedamaian dan kekayaan dipandang sebagai bentuk rahmat Allah. Akan tetapi, penyalahgunaan kekayaan akan membuat manusia menyimpang dari meraih nilai-nilai yang lebih tinggi. Mereka yang menyimpang itu hanya mementingkan kehidupan dunia saja, sementara kehidupan akhirat mereka lalaikan. Dalam konteks ini, bahkan para ahli ibadah yang tidak memperhatikan nasib orang-orang miskin pun dapat terjerumus dalam kemunafikan. Alquran mengistilahkan mereka dengan allazi yukadhdhibu bi al-din (orang yang mendustakan agama) dalam Alma’un.

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ. فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ. وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ. فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ. الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ. الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ. وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim; dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin. Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberi) bantuan.” (Q.S. Alma’un [107]:1-7)

Dalam Tafsir Al-Azhar (2015, 9: 673), Buya Hamka menegaskan bahwa orang yang membenci anak yatim adalah orang yang mendustakan agama, walaupun dia beribadah. Buya Hamka juga menjelaskan bahwa rasa benci, sombong, dan kikir tidak boleh ada dalam jiwa seseorang yang mengaku beragama. Dia mengaku menyembah Allah, tetapi hamba Allah tidak dipedulikan dan tidak diberi pertolongan. Artinya, spirit Alquran menginginkan agar orang yang menjalankan ritual ibadah secara individu juga memiliki rasa kepedulian secara sosial.

Baca juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

Dalam istilah Gus Mus, sesorang hendaknya memadukan antara soleh ritual dan soleh sosial. Yang dikatakan Gus Mus tersebut memang menjadi tuntutan bagi Muslim untuk ihsan kepada diri sendiri dan orang lain. Sebagai salah satu dasar pensyariatan saleh sosial dan ritual terdapat pada Alquran. Pada banyak ayat,  salat dan zakat disandingkan (Misal Q.S. 2: 43, 83, 110, 177, 277; QS. 4: 77; QS. 5: 55). Salat merupakan simbol ibadah ritual disandingkan dengan zakat yang berdimensi sosial.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa Alquran mengajarkan spirit kepedulian sosial dan melawan kesenjangan sosial. Secara tegas, Alquran menyatakan sebagai berikut.

“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Q.S. Alisra’ [17]:26)

Baca juga: Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah

Ayat di atas menegaskan perintah untuk memberikan hak kepada orang lain yang membutuhkan seraya diiringi larangan untuk menghambur-hamburkan harta. Hal ini relevan dengan fakta bahwa biasanya orang yang berbuat boros dalam membelanjakan harta cenderung tidak memiliki kepedulian sosial. Sikap seperti ini dikritik keras oleh Alquran. Berdasarkan itu semua, Alquran memiliki tujuan utama membentuk masyarakat yang adil dan makmur. Semua itu dapat dicapai apabila setiap individu senantiasa menjaga rasa kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat. Wallahu a’lam[]

Hendriyan Rayhan
Hendriyan Rayhan
Mahasiswa Institut PTIQ Jakarta. Pengajar di Ma’had Khairul Bariyyah Kota Bekasi.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Alasan Kiai Misbah Musthofa Tolak MTQ

Menghidupkan Islam dengan Irama: Potret Seni Tilawatil Qur’an di Indonesia

0
Seni Qiraat Alquran dan tilawatil Qur’an telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan masih berkembang hingga saat ini. Adanya perkembangan seni Alquran menjadikan setiap...