Alquran merupakan kitab suci dengan bahasa yang unik dan mengandung sastra tinggi. Salah satu keunikan tersebut adalah penggunaan iltifat. Ayat-ayat yang mengandung iltifat memiliki perbedaan struktur bahasa jika dibandingkan dengan struktur bahasa Arab pada umumnya.
Para pakar telah menguraikan iltifat dalam sejumlah definisi. Dalam Fan al-Balâghah, Abdul Qadir Husein (2005) misalnya menyatakan bahwa iltifat merupakan peralihan penggunaan kata ganti (dhamir) dari bentuk khithab atau ghaib atau takallum ke bentuk lain dari bentuk-bentuk tersebut.
Senada dengan definisi tersebut, Abd al-Mu’thy ‘Azafah (1985) dalam Qadhiyyatu al-I’jâz al-Qurâny menjelaskan bahwa iltifat merupakan peralihan penutur dari menggunakan bentuk mukhatabah (dialogis) kepada tutur ikhbar (infomatif) atau dari ikhbar kepada mukhatabah dan sebagainya.
Lebih luas dari definisi tersebut, Muhammad Abdul Muthallib (1994) dalam al-Balaghah wa al-Uslubiyyah mengungkapkan, iltifat merupakan peralihan dari suatu gaya bahasa kepada gaya bahasa lain yang berbeda dengan gaya bahasa pertama.
Penulis Uslub al-Iltifat fi al-Balagat al-Qur’aniyah, Hasan Thabl (1998) juga melihat bahwa peralihan penggunaan sebuah bentuk kata kepada bentuk lain merupakan salah satu kajian iltifat. Hasan Thabl bahkan mengkategorikan iltifat kepada beberapa bentuk yang tidak hanya melibatkan dhamir saja tetapi juga mencakup pola morfologi, struktur nahwu, gender, bilangan, partikel dan unit leksikologi.
Demikianlah uraian para pakar tentang definisi iltifat. Perbedaan definisi disebabkan karena perbedaan sudut pandang mereka dalam membatasi iltifat. Namun demikian, mereka tetap melihat bahwa peralihan gaya bahasa tertentu menjadi gaya bahasa lainnya merupakan kajian iltifat. Untuk selanjutnya, tulisan ini hanya akan membahas iltifat dhamir yang terdapat di dalam Alquran.
Baca Juga: I’rab Alquran: Ragam Badal dalam Alquran
Iltifat Dhamir
Alquran mengandung banyak ayat yang menggunakan iltifat dhamir yakni peralihan penggunaan kata ganti dari satu bentuk ke bentuk lain. Secara mendasar, kata ganti dapat berbentuk takallum atau kata ganti orang pertama, khitab atau kata ganti orang kedua, dan ghaib atau kata ganti orang ketiga. Peralihan penggunaan kata ganti tersebut dari satu satu bentuk ke bentuk lain akan menimbulkan iltifat dhamir.
Iltifat dhamir sengaja diciptakan untuk maksud-maksud tertentu. Dalam Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Imam az-Zarkasyi menguraikan bahwa iltifat dhamir mempunyai fungsi umum dan fungsi khusus. Secara umum iltifat dhamir berfungsi untuk menunjukkan kreativitas, merangsang pembaca, mendatangkan ketenangan, memperluas alur bicara, serta memperlancar irama dan rima. Para pakar ilmu bayan juga menguraikan bahwa jika suatu ujaran disampaikan dalam satu gaya bahasa dan berkepanjangan, gaya bahasa tersebut sebaiknya diubah.
Secara khusus, iltifat dhamir memiliki fungsi berbeda-beda dan tergantung pada konteks dan maksud sipenutur. Diantara fungsi tersebut adalah mengingatkan apa yang hendak disampaikan oleh sipenutur. Hal tersebut misalnya terlihat dari penggunaan iltifat dhamir dalam Q. S Ya sin [36]: 22. Ayat tersebut berbunyi وَمَا لِيَ لا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kalian akan dikembalikan).
Ayat ini pada dasarnya berbunyi وَمَا لَكَمَ لَا تَعْبُدُونَ الَّذِي فَطَرَكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. Dalam ayat tersebut, terdapat iltifat dari dhamir khitab ke dhamir takallum yakni peralihan dari dhamir bermakna “kalian” pada kata تَعْبُدُونَ ,لَكَمَ dan فَطَرَكُمْ. Dhamir tersebut kemudian dialihkan menjadi dhamir takallum yang terdapat pada kata لِيَ ,أَعْبُدُ dan فَطَرَنِي.
Baca Juga: Balaghah Al-Qur’an: Majaz Isti’arah dan Penggunaannya dalam Al-Qur’an
Dalam Tafsir Al-Munir, Wahbah Zuhaili menceritakan bahwa ayat tersebut merupakan bagian dari nasehat Habib al-Najjar terhadap kaumnya. Dalam Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Imam az-Zarkasyi menguraikan bahwa dalam menasehati mereka, Habib al-Najjar menggunakan ujaran وَمَا لِيَ لا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي. Ujaran ini memberi kesan bahwa seakan-akan beliau sedang menasehati dirinya sendiri padahal beliau sedang menasehati kaumnya.
Dengan cara ini, Habib al-Najjar ingin bersikap baik dan berempati serta menunjukkan kepada kaumnya bahwa beliau menginginkan untuk mereka apa yang beliau senangi untuk diri sendiri. Kemudian, ketika telah menasehati dan menyelesaikan maksudnya itu, beliau menunjukkan asal usul ucapan tersebut yang tidak mengandung iltifat dan berkata وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ.
Iltifat juga memiliki fungsi khusus yakni merendahkan dan menghina seseorang. Hal tersebut misalnya terlihat dari penggunaan iltifat dhamir dalam Q. S Maryam [18]: 88-89. Ayat tersebut berbunyi وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (Mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Pengasih telah mengangkat anak.” Sungguh, kamu benar-benar telah membawa sesuatu yang sangat mungkar).
Dalam ayat tersebut, terdapat iltifat dari dhamir ghaib ke dhamir khitab yakni peralihan dari dhamir ghaib yang terdapat pada kata وَقَالُوا menjadi dhamir khitab pada kata جِئْتُمْ. Seandainya tidak terjadi peralihan, ayat tersebut berbunyi وَقَالُوْا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جَاءُوْا شَيْئًا إِدًّا.
Baca Juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran
Dalam Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Imam az-Zarkasyi menegaskan bahwa orang yang mengatakan bahwa Allah telah mengangkat anak harus dicela. Celaan akan lebih mengena dan terasa apabila orang yang dicela diposisikan sebagai lawan bicara (dhamir khitab), bukan sebagai orang ketiga (dhamir ghaib). Agar maksud tersebut tercapai, dhamir ghaib pada kata وَقَالُوا dialihkan menjadi dhamir khitab pada kata جِئْتُمْ. Dengan cara tersebut, celaan akan lebih terasa sebab mereka mengalami celaan secara langsung, tanpa jeda dan tanpa perantara.
Iltifat juga memiliki fungsi khusus yakni mengkhususkan hal yang disampaikan. Hal tersebut misalnya terlihat dari penggunaan iltifat dhamir dalam Q. S Fathir [35]: 9. Ayat tersebut berbunyi وَاللّٰهُ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ الرِّيٰحَ فَتُثِيْرُ سَحَابًا فَسُقْنٰهُ اِلٰى بَلَدٍ مَّيِّتٍ فَاَحْيَيْنَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَاۗ كَذٰلِكَ النُّشُوْرُ (Allahlah yang mengirimkan bermacam angin, lalu ia (angin) menggerakkan awan. (Selanjutnya) Kami arahkan awan itu ke suatu negeri yang mati (tandus), lalu dengannya (hujan) Kami hidupkan bumi yang telah mati. Demikianlah kebangkitan itu).
Dalam ayat tersebut, terdapat iltifat dari dhamir ghaib ke dhamir takallum yakni peralihan dari kata اللَّهُ serta dhamir ghaib yang terdapat pada kata اَرْسَلَ menjadi dhamir takallum yang terdapat pada kata فَسُقْنٰ dan فَاَحْيَيْنَا. Dalam Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Imam az-Zarkasyi menguraikan bahwa peralihan tersebut menunjukkan kekhususan sebab menggiring awan ke tanah yang mati (فَسُقْنٰهُ) dan menghidupkan kembali bumi yang mati dengan hujan (فَاَحْيَيْنَا) merupakan pertanda kekuasaan luar biasa yang hanya mampu dilakukan oleh Allah.
Demikianlah uraian beberapa dari sekian banyak penggunaan iltifat dhamir dalam Alquran. Penggunaan iltifat dhamir tersebut menunjukkan bahwa bahasa Alquran itu unik dan berbeda dengan bahasa yang lazim digunakan penutur Bahasa Arab. Penggunaan iltifat dhamir juga menunjukkan bahwa peralihan dhamir tersebut dilakukan untuk maksud-maksud tertentu, bukan serta merta atau mengarah kepada inkonsistensi. Penggunaan iltifat dhamir juga menambah daftar mu’jizat Alquran disamping berbagai mu’jizat lainnya. Wallahu a’lam