BerandaUlumul QuranBalaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Balaghah al-Quran adalah salah satu alternatif untuk mengetahui seni tata krama dalam bahasa al-Quran. Alasan Allah Swt memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran bukan tanpa maksud. Bahasa Arab sendiri merupakan bahasa yang paling akurat untuk mewakili firman-firman Allah yang diturunkan pada umat manusia. Imam As-Syafi’i dalam kitab Ar-Risālah menyebutkan:

” ولسان العرب أوسع الألسنة مذهباً، وأكثرها ألفاظاً، ولا نعلمه يحيط بجميع علمه إنسان غيرُ نبي

“Bahasa Arab adalah bahasa yang paling luas madzhabnya, paling banyak kosa-katanya, dan kami belum pernah mendapati manusia yang menguasai seluruh ilmunya kecuali Nabi”.

Para ulama telah mengerahkan kemampuannya dalam menghimpun keindahan-keindahan bahasa Arab khususnya bahasa Al-Quran dalam satu disiplin ilmu khusus, yakni Ilmu Balāghah. Salah satu kandungan Balaghah Al-Quran adalah Fann At-Taaddub (seni bertata krama).

Contoh konkritnya terdapat dalam QS. al-Fatiha [1]:7

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

“(yaitu) jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.

Menurut Dr. M. Afifuddin Dimyathi, Lc, MA dalam kitab beliau tentang Balaghah Al-Quran, As-Syāmil fī al-Balāghah al-Qurān, dalam ayat tersebut terdapat Fann at-Taaddub (seni tata krama). Yaitu ketika berbicara tentang nikmat, maka perbuatan ‘memberi nikmat’ itu langsung disandarkan pada Allah Swt dengan menyebutkan fā’il (pelaku) yakni Dzāt pemberi nikmat tersebut dengan redaksi أَنْعَمْتَ (menyebutkan dlamir mukhatab ت pada lafadz tersebut, yaitu Allah). Hal itu bertujuan untuk menjelaskan bahwa yang memberi segala macam nikmat dan karunia hanyalah Allah Swt semata.

Baca Juga: Menilik Pengertian ‘Amud Al-Quran dan Metodologinya ala Hamiduddin Farahi

Berbanding terbalik ketika membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan kemurkaan, kesesatan dan semacamnya, Al-Quran tidak menyandarkannya langsung kepada Allah Swt, sebagaimana redaksi ٱلْمَغْضُوبِ (menggunakan shīgāt maf’ūl, tanpa menyebut Fā’il, yaitu Dzāt yang memurkai, yakni Allah), begitu juga redaksi ٱلضَّآلِّينَ (menggunakan shīghat Fā’il) itu karena semata-mata mereka sendirilah yang melakukan kesesatan.

Syaikh Ali As-Shabuni dalam Shafwah At-Tafasir menerangkan jika redaksi di atas konsisten mengikuti uslub (gaya bahasa) sebelumnya sebagaimana أَنْعَمْتَ, maka akan berbunyi غَضِبْتَ عَلَيْهِمْ وَالَّذِيْنَ أَضْلَلْتَهُمْ , yang artinya, “bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang Engkau sesatkan.”

Beliau juga menambahkan:

فالشرّ لا ينسب إلى الله تعالى أدباً وإن كان منه تقديراً. الخير كله بيدك والشر لا ينسب إليك

“Adapun suatu keburukan tanpa dinisbatkan kepada Allah untuk menjaga adab. Walaupun hal itu sejatinya merupakan takdir dari-Nya. Kebaikan ada pada kuasa-Mu seluruhnya tanpa menisbatkan suatu keburukan pun pada-Mu”.

Memang benar, ada hakikatnya segala sesuatu baik berupa nikmat ataupun adzab tidak lain dari sisi Allah Swt tanpa terkecuali. Jika itu berupa nikmat, maka semata-mata karunia Allah. Dan jika berupa adzab, maka yang demikian adalah bentuk keadilan dari Allah.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan dalam Nadzam Jauharatut Tauhīd-nya:

فَإِنْ يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ الْفَضْلِ # وَ إِنْ يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ العَدْلِ

“Maka jika Dia memberi pahala, itu adalah semata-mata karena karunia-Nya, dan jika dia memberi adzab (menyiksa) pada kita, adalah semata-mata karena keadilan-Nya”.

Pembahasan mengenai Fann At-Taaddub pada QS. al-Fatihah [1]:7 senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Fadhil Shalih As-Samarrai, seorang pakar nahwu dan konsentrasi Ta’bīr Qur’ānī (ungkapan-ungkapan dalam Al-Quran). Beliau meneliti perbedaan antara redaksi آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ (mereka yang telah Aku beri Kitab) dan أُوتُواْ الْكِتَابَ (yang yang telah diberikan Kitab).

Menurut beliau, uslūb آتَيْنَاهُمْ الْكِتَابَ yang menyebutkan fā’il (pelaku) yakni Dzāt Sang Pemberi Kitab pada pada dlamīr (نَا) yang kembali pada Allah Swt menunjukkan suatu kebaikan serta digunakan untuk memuji mereka yang diberi Kitab.

Sedangkan uslub أُوتُواْ الْكِتَابَ yang menggunakan shīghāt kata kerja mabnī majhūl (bentuk pasif) dalam arti lain menyembunyikan fā’il (pelaku), yakni Dzāt yang memberi Kitab menunjukkan sesuatu yang buruk atau digunakan untuk mencaci dan menghinakan.

Beliau mengumpulkan beberapa ayat yang terkait uslub الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ, di antaranya:

 (الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ 121) البقرة)

 (أُوْلَئِكَ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ (89) الأنعام)

 (وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ (36) الرعد)

Mari kita coba telisik lebih dalam salah satu dari ayat di atas, pada surah Al-Baqarah:121:

ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَتْلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ

“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi”.

Pada ayat di atas, mereka yang telah diberi Kitab oleh Allah merupakan hamba-hamba yang baik dan terpuji, mereka membaca Kitab sebagaimana mestinya Kitab tersebut harus dibaca.

Ayat-ayat lain yang senada, jika kita telisik lebih dalam maka akan ditemukan fakta yang sama.

Berikut beberapa ayat yang menggunakan redaksi أُوتُواْ الْكِتَابَ.

 (وَلَمَّا جَاءهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ اللّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ كِتَابَ اللّهِ وَرَاء ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ (101) البقرة)

 (وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَّا تَبِعُواْ قِبْلَتَكَ (145) البقرة)

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ (100) آل عمران)

Jika kita teliti salah satu ayat di atas, misalnya pada Al-Baqarah 2:101:

وَلَمَّا جَآءَهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul (Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah itu ke belakang (punggung), seakan-akan mereka tidak tahu”.

Ayat tersebut menegaskan bahwa mereka yang telah diberi Kitab adalah orang-orang yang enggan menerima kebenaran dan mengamalkan isi dari Kitab tersebut, seakan-akan mereka berlagak tidak mengetahui bahwa apa yang ada di dalam Kitab (Taurat) adalah kebenaran yang harus mereka jalankan.

Baca Juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

Demikianlah di antara kemukjizatan bahasa Al-Qur’an yang berhasil diteliti oleh para ulama. Tentu saja masih banyak sekali yang belum ditemukan karena keterbatasan akal manusia. Sedangkan Al-Quran sendiri adalah samudera yang amat dalam dan tak bertepi. Dan salah satu keindahan tersebut adalah Fann Taaddub (seni tata krama) yang terdapat di dalamnya.

Jika pada sesama makhluk kita dituntut untuk bertata krama yang baik dan santun, apalagi terhadap Allah Sang Khāliq?

Maka, dari Balaghah Al-Quran kita bisa meneladani adab-adab kepada Allah Swt. Rahasia Al-Quran sangatlah melimpah, sedangkan kemampuan manusia amatlah terbatas. Wallahu a’lam bis Showab

Muhammad Ryan Charisma
Muhammad Ryan Charisma
Alumni Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...