Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah bersama umat Islam melakukan perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi Madinah yang dikenal dengan Piagam Madinah. Ada tiga klan Yahudi terkemuka di Madinah saat itu, yaitu Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraidzah. Akan tetapi, pada akhirnya para Yahudi berkhianat dan merusak kesepakatan tersebut.
Ibn Ishaq dalam Sirah an-Nabawiyyah (3/70) mengutip ‘Asim bin Amar bin Qatadah yang menceritakan bahwa Bani Qainuqa’ menjadi kabilah Yahudi pertama yang berani dan secara terang-terangan melanggar perjanjian dengan Nabi. Ketika itu mereka melecehkan seorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah kemudian mendeklarasikan perlawanan terhadap kelompok yang bersekutu dengan Abdullah bin Ubay bin Salul tersebut. Hal ini sebagaimana disinggung dalam firman Allah:
هُوَ الَّذِيْٓ اَخْرَجَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِاَوَّلِ الْحَشْرِۗ
Dialah yang mengeluarkan orang-orang yang kufur di antara ahlu kitab dari kampung halaman mereka pada saat pengusiran yang pertama (Q.S. al-Hasyr: 2).
Peristiwa ini terjadi pada saat al-hasyr (pengusiran) yang pertama yang dilakukan Rasulullah terhadap kaum Yahudi, yakni Bani Qainuqa’. Sebelumnya pasukan muslim melakukan blokade hingga akhirnya mereka menyerah dan melakukan eksodus dari Madinah ke Adzra’at di daerah Syam. Peristiwa tersebut terjadi pasca perang Badar pada tahun kedua Hijriah (Tafsir al-Munir, 14/445).
Baca juga: Menjaga Pandangan, Langkah Pencegahan Kekerasan Seksual
Menurut Ibnu Hisyam (2/48), Perang Bani Qainuqa’ dipicu oleh insiden di pasar Bani Qainuqa’. Pasar milik kaum Yahudi tersebut adalah salah satu pasar Arab paling terkenal yang diadakan beberapa kali sepanjang tahun dan mereka berbangga-bangga karenanya. Di Madinah, mereka tidak mempunyai lahan pertanian atau kebun kurma. Kebanyakan pekerjaan Bani Qainuqa’ adalah sebagai pandai emas dan pandai besi (Tarikh at-Thabari, 2/481).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ja’far al-Miswar dari Abu ‘Aun, suatu ketika seorang perempuan muslimah mengunjungi toko perhiasan di pasar Bani Qainuqa’ dan meminta dibuatkan perhiasan untuknya. Saat perempuan itu duduk, salah seorang Yahudi Madinah mengganggunya dengan mengikatkan ujung pakaian bagian belakang muslimah tersebut ke bagian yang lainnya. Sehingga ketika perempuan itu bangkit dari duduknya tersingkaplah aurat bagian belakangnya. Hal itu membuat orang-orang yang ada di pasar melihat perempuan tersebut dan menertawakan serta menghinanya.
Baca juga: Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Alquran
Berita tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan dari golongan Anshar itupun akhirnya sampai kepada Rasullullah. Beliau saw. segera mengambil tindakan tegas terhadap Bani Qainuqa’ atas pelanggaran besar yang mereka lakukan dan membatalkan perjanjian yang telah disepakati itu sebagaimana perintah Allah:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَاءٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (Q.S. al-Anfal: 58).
Rasulullah mengirim tentaranya dan memberikan bendera perang kepada Sayyidina Hamzah bin Abdul Muththalib. Dengan dimulainya perang Bani Qainuqa’, orang-orang Yahudi segera berlindung di balik benteng mereka. Pasukan Rasulullah sebanyak 700 orang mengepung mereka dengan rapat selama 15 hari pada bulan Syawal hingga awal Zulkaidah tahun ke-2 Hijriyah (Sirah Nabawiyah, 313-316).
Baca juga: Alasan Pentingnya Perspektif Kesetaraan Gender dalam Tafsir
Bani Qainuqa’ akhirnya menyerah sebab ketakutan melanda mereka dan memutuskan untuk tunduk dengan apapun keputusan dari Rasulullah. Di sini ada peran Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai negosiator demi kepentingan Bani Qainuqa’. Dengan gaya kemunafikannya, ia membujuk Rasulullah agar tidak membunuh mereka. Hasilnya, Nabi membebaskan dan memerintahkan Bani Qainuqa’ untuk pergi dari kota Madinah agar tidak tinggal berdampingan dengan kaum Muslimin (Fath al-Bari, 15/203-204).
Keputusan Rasulullah yang membatalkan perjanjian damai dan tidak memberi perlindungan kepada kelompok pelaku pelecehan menjadi isyarat bahwa kekerasan seksual kepada siapapun, tidak hanya terhadap perempuan, merupakan bentuk kezaliman dan kemungkaran yang diharamkan Islam serta harus dilawan. Karena itu, sudah selayaknya kasus pelecehan harus diupayakan dengan segala cara agar tidak terjadi dalam masyarakat. Demikian pula perlindungan hukum bagi orang-orang yang rawan menjadi korban pelecehan seksual harus dimaksimalkan, agar korban tidak semakian berjatuhan. Wallah a’lam bis-shawwab.[]