Stabilitas pemerintah Indonesia saat ini sedang berada dalam fase yang tidak baik-baik saja. Pasalnya, banyak berita bertebaran yang mengabarkan bahwa banyak dari kalangan pemuda berbondong-bondong turun ke jalan untuk melancarkan aksi demo. Setelah ditelusuri, tujuan mereka berdemo yakni menyuarakan aspirasinya pada pemerintah agar konsisten dengan visi misinya, dan tidak gampang mengubah suatu aturan negara hanya demi kepentingan satu pihak. Hal ini mengindikasikan bahwa negeri ini menganut sistem demokrasi dimana seluruh elemen berhak untuk menyuarakan aspirasinya terhadap pemerintah.
Lantas, seperti apa moral etika yang seharusnya dipakai oleh rakyat sebagai pihak yang mengoreksi, dan pemerintah sebagai objek yang dikritik?
Baca Juga: Relasi Pemerintah dan Rakyat dalam Perspektif Alquran
Anjuran dan Kode Etik dalam Kebebasan Berpendapat
Di Indonesia, sistem pemerintah yang digunakan ialah demokrasi. Dalam kamus al-Ma’any, demokrasi diartikan sebagai salah satu bentuk kekuasaan di mana segala penetapan hukumnya diserahkan pada rakyat. Hal ini meniscayakan tumbuhnya keberanian dalam benak masyarakat Indonesia untuk mengoreksi segala tindakan yang dimunculkan pemerintah. Maka tidak salah jika protes bermunculan jika (semisal) kebijakan pemerintah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 yang menjadi asas hukum Republik Indonesia.
Terkait kebebasan berpendapat sendiri memang telah mendapat legitimasi dalam Alquran surah An-Nisa’ [4]: 83:
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا ٨٣
Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ lil Ahkam Alquran mengatakan bahwa jika dilihat dari konteksnya, ayat tersebut mengindikasikan bahwa seseorang diberi kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini yakni umara’ (pemerintah).
Baca Juga: Kewajiban Taat Kepada Pemerintah dalam Tafsir Surat An-Nisa ayat 59
Selain itu, keharusan memberikan kritik dalam Islam agar bisa menjadi lebih baik sudah tertulis dalam Alquran. Allah swt berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Meski begitu, ada beberapa etika yang harus dipakai oleh rakyat dalam mengkritik pemerintah. Kewajiban pertama bagi orang yang mengkritik adalah kritiknya harus berupa nasihat; bertujuan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar; menyampaikan kritik dengan cara bijaksana, lemah lembut, dan prasangka yang baik; apa yang disampaikan harus berupa kejujuran dan kebenaran; menghindari prasangka buruk, memaki, mengutuk, mengejek, dan mencemooh, karena semua ini merupakan bagian dari dosa besar.” (Tim Fatwa, Darul Ifta Jordan, nomor fatwa: 3725, tanggal fatwa: 08-09-2022).
Etika Penguasa Ketika Menerima Sebuah Kritik
Tidak hanya rakyat yang harus sopan dalam menasihati, pemerintah pun juga harus bersikap legowo ketika menerima kritikan yang disampaikan relevan tanpa memandang kelas dan derajat orang yang mengkritik. Hal ini sebenarnya sudah praktikkan oleh Salafuna as-shalih, seperti Nabi Muhammad dan para Khulafa ar-Rasyidin yang merasa perlu mendapat kritik ketika mereka menjabat sebagai pemimpin.
Dalam buku 9 Resep Hidup Rasulullah karya Abdillah F. Hasan, diceritakan bahwa saat terjadi perang Badar, pasukan Muslimin berhenti di sebuah sumur yang bernama Badar dan Beliau memerintahkan untuk menguasai sumber air tersebut sebelum dikuasai musuh.
Baca Juga: An-Nisa Ayat 58: Menelusuri Pesan Al-Quran Untuk Para Pemimpin
Salah seorang sahabat yang pandai strategi perang, Khahab ibn Mundzir berdiri menghampiri Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah penentuan posisi ini adalah wahyu dari Allah atau hanya strategi perang?”
Beliau menjawab, “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan strategi perang.” Kemudian Khahab menjelaskan, “Wahai Rasulullah, jika demikian tempat ini tidak strategis. Lebih baik kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya.”
“Kita buat lubang-lubang dekat perkemahan dan kita isi dengan air sampai penuh, sehingga kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup. Sedangkan musuh tidak mempunyai persediaan air minum,” kata Khahab.
Ketika mendengar ada saran dan kritik terhadap pendapatnya, Rasul bukannya marah melainkan malah tersenyum dan menyetujui pendapat orang lain sembari berkata “Pendapatmu sungguh baik.”
Contoh lainnya datang dari keterbukaan Sayyidina Abu Bakar dalam menerima saran dan kritik yang termuat dalam pidatonya ketika ia baru saja dilantik, seperti dikutip dari Ahmad Sya’labi dalam Mausuah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah, sebagai berikut:
“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpinmu. Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Dan jika aku berbuat salah, maka luruskanlah. Taatlah kalian kepadaku selagi aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bila aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka aku tidak berhak untuk kalian taati.
Tidak sampai di situ, dikisahkan dalam Jami’ Al-Ahadis bahwa Sayyidina Ali pernah ditegur oleh seseorang menyangkut suatu persoalan, lalu beliau berkata:
“Kamu benar, dan saya salah. Setiap orang yang punya ilmu, masih ada orang yang lebih berilmu”.
Dapat diambil kesimpulan bahwa seyogyanya para pemimpin mengambil teladan dari kisah-kisah inspiratif di atas. Mereka tidak boleh bersikap anti-kritik ketika menjadi seorang pemimpin. Di samping karena mereka ialah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, pada dasarnya, Islam merupakan agama yang mengandung unsur saling mengingatkan.
Hal ini terbukti ketika Alquran sangat menganjurkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan menjadikan muslim satu dengan yang lain ibarat sebuah teman yang harus diberikan nasihat ketika yang lain melakukan kesalahan, seperti dijelaskan dalam surah at-Taubah [9]: 71:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ٧
Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Wallahu A’lam.