Peristiwa eksodus adalah peristiwa meninggalkan tempat asal; kampung halaman, kota, atau negara. Dalam kisah Nabi Musa, ayat yang menjelaskan tentang peristiwa ini salah satunya terdapat dalam Q.S al-Baqarah/2:50. Menurut al-Alusi, ayat tersebut tidak hanya mengandung sisi eksoterik, akan tetapi juga esoterik.
وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ تَنْظُرُونَ
Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun, sedang kamu menyaksikan. (Al-Baqarah/2:50)
Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 49-50
Ayat ini menceritakan bahwa ketika Nabi Musa dan Bani Israil terusir dari Mesir dan terpaksa harus berpindah dari tempat itu secara besar-besaran, di tengah jalan mereka terhalang oleh lautan. Maka, Allah memisahkan lautan itu, lalu menyelamatkan mereka dan menenggelamkan Fir’aun serta bala tentaranya.
Selain mempunyai makna zahir yang diungkap lewat penafsiran eksoterik, ayat ini juga mempunyai makna batin yang diungkap oleh Imam al-Alūsī dalam kitab tafsirnya Rūh al-Ma’āni fī Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm wa Sab’al-Maṡānī.
Baca Juga: Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan
Penafsiran Eksoterik ayat
Ketika menafsirkan ayat ini, al-Alūsi mengungkap makna masing-masing kata dari ayat ini seperti makna dari kata al-farq yang mempunyai asal kata yang sama dengan kata faraqnā yang ada di dalam ayat.
Al-Alūsī juga menjelaskan posisi kalimat pada ayat ini dalam gramatika ilmu bahasa Arab dan juga memberikan penjelasan yang mendalam terkait penggunaan huruf jar pada ayat ini. Yaitu, pada kata bikum.
Al-Alūsī menyebutkan bahwa huruf ba’ digunakan karena yang menjadi sebab dari kata kerja sebelumnya adalah orang yang sudah tidak ada bukan orang yang masih ada ketika ayat tersebut turun. Jika yang dimaksud oleh ayat itu adalah orang-orang yang masih ada dan masih hidup, maka ayat tersebus akan menggunakan redaksi lakum. (al-Alusi, Rūh al-Ma’ānī)
Selain itu, dalam mengungkap penafsiran eksoterik ayat ini, al-Alūsī juga mengutip penafsiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi yang menjelaskan tentang bagaimana air laut itu terpisah saat Nabi Musa dan Bani Israil menyebrang. Dalam penafsiran itu, air laut yang diinjak oleh Nabi Musa dan Bani Israil langsung terpisah sehingga membentuk suatu jalan.(al-Razi, Mafātīh al-Gaib) Selain itu, al-Alūsī juga menyampaikan penafsiran lain yang menjelaskan bagaimana proses mukjizat ini terjadi.
Al-Alūsī juga menjelaskan penafsiran terkait kata al-bahr dan menyampaikan beberapa pendapat terkait laut mana yang dimaksud. Ia menyampaikan bahwa ada yang mengatakan bahwa laut itu adalah al-Qulzum (laut merah), dan ada yang mengatakan bahwa laut itu adalah Sungai Nil yang karena lebarnya Sungai Nil diungkapkan sebagai laut oleh orang Arab. Dan, al-Alūsī menyebutkan syair yang menjadi landasan penggunaan kata al-bahr untuk sungai yang sangat luas.
Baca Juga: Etika Kritik Terhadap Penguasa Ala Nabi Musa
Penafsiran Esoterik ayat
Kata al-bahr juga memiliki isyarat yang menjadi dasar bagi al-Alūsī untuk mengungkapkan penafsiran esoterik terhadap ayat ini. Al-Alūsī mengatakan bahwa al-bahr itu adalah isyarat atas nafsu dan kenikmatan dunia. Al-Alūsī menyampaikan bahwa penyelamatan Allah adalah dengan memisahkan nafsu dunia dan juga kenikmatannya dari hati hambanya. Al-Alūsī juga menyebutkan bahwa Nabi Musa dan kaumnya yang menyebrangi laut ini adalah simbol dari hati dan sifat-sifat hati yang terpisah dari nafsu dan juga dunia.(al-Alusi, 2010, hlm. 168)
Hati dan sifat-sifatnya yang dilambangkan dengan Musa dan kaumnya harus lari dari kejaran nafs al-‘ammārah yang dilambangkan dengan Firʽaun dan bala tentaranya di belakang mereka. Kemudian, di depan mereka terhalangi oleh lautan yang menjadi lambang dari dunia dan kenikmatannya yang menghalangi hati untuk sampai kepada tujuannya.
Agar hati sampai kepada tujuannya, yaitu Allah Ta’ālā, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya tingkat yang digunakan untuk memukul lautan itu dan juga tongkat itu harus berada di tangan Nabi Musa dan dipukulkan olehnya. Tongkat yang digunakan untuk memukul ini adalah lambang dari ungkapan Lā ilāha illā Allāh yang harus dipukulkan oleh hati untuk menjauhkan hati dari syahwat dunia dan kenikmatannya.
Al-Alūsi dalam ayat yang mengisahkan tentang peristiwa eksodus ini mengungkapkan empat isyarat penting yaitu Nabi Musa sebagai simbol hati, Fir’aun sebagai simbol hawa nafsu, lautan sebagai simbol dunia dan tongkat sebagai simbol zikir. Hati dan zikir menjadi kunci dalam perjalanan menuju Allah. Seandainya tidak ada zikir maka hati akan tenggelam dalam syahwat dunia dan akan celaka seperti Fir’aun dan bala tentaranya.
Dan seandainya zikir ini tidak berasal dari hati maka tidak akan mampu untuk memisahkan diri dari syahwat dan kenikmatan dunia yang menipu. Al-Alūsi kemudian mengutip ayat Alquran yang selaras dengan penafsiran ini yaitu bahwa tujuan seorang hamba adalah Allah sebagai Tuhannya. Ayat yang dikutip al-Alūsi adalah Q.S al-Najm/53:42:
وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ
dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu) (An-Najm/53:42)
Kemudian, untuk mendukung penafsiran terkait Firʽaun dan bala tentaranya yang tenggelam dan tidak berhasil mencapai tujuan, al-Alūsī mengutip Q.S Hud/11:44:
وَقِيْلَ يٰٓاَرْضُ ابْلَعِيْ مَاۤءَكِ وَيٰسَمَاۤءُ اَقْلِعِيْ وَغِيْضَ الْمَاۤءُ وَقُضِيَ الْاَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُوْدِيِّ وَقِيْلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ
Dan difirmankan, “Wahai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan!) berhentilah.” Dan air pun disurutkan, dan perintah pun diselesaikan dan kapal itupun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, ”Binasalah orang-orang zalim.” (Hud/11:44)
Baca Juga: Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa
Relevansi Penafsiran Esoterik al-Alūsī dengan Masa Kekinian
Penafsiran esoterik yang diungkap oleh al-Alūsī sangat relevan dengan masa kekinian. Relevansi ini dilihat dari segi kondisi spiritual manusia yang semakin dikendalikan oleh al-nafs al-‘ammārah. Selain itu, kecintaan terhadap dunia dan kenikmatan-kenikmatannya semakin memperburuk kondisi manusia.
Dari penafsiran esoterik yang diungkap al-Alūsī dapat disimpulkan bahwa solusi atas masalah ini adalah dengan zikir dan memerangi hawa nafsu. Dari penafsiran ini pula, bisa diketahui bahwa jika manusia terus menerus mengikuti hawa nafsunya untuk mendapatkan kenikmatan dunia, maka mereka tidak akan sampai kepada Allah dan akan tenggelam selayaknya Fir’aun dan bala tentaranya yang tenggelam di laut merah.