Dalam ilmu Alquran, di bagian kaidah Asbabunnuzul terdapat suatu kaidah yang lebih khusus lagi, yaitu al-‘Ibrah bi ‘umūm al-lafdz dan al-‘Ibrah bi khuṣūṣ al-sabab. Mulanya kaidah ini banyak dijelaskan dalam kitab-kitab Uṣūl fiqh, kemudian pembahasan kaidah ini berlanjut ke dalam kitab-kitab ‘Ulūm al-Qur’ān.
Dalam kitab ‘Ulūm al-Qur’ān Ibn Jauzī yang berjudul Funūn al-Afnān fī ‘Uyūn ‘Ulūm al-Qur’ān dan al-Mujtabā min al-Mujtanā masih belum ada pembahasan tentang kaidah ini, termasuk asbāb al-nuzūl yang merupakan akar dari adanya kaidah ini dalam pembahasan ‘Ulūm al-Qur’ān. Kemudian disusul oleh ulama setelahnya yaitu Abū Syamah al-Maqdīsī dengan nama kitabnya al-Mursyid al-Wajīz masih belum ada juga pembahasan tentang kaidah ini.
Selanjutnya Ibn Taimiyyah dengan nama kitabnya Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr (44-47) baru ilmu tentang kaidah ini dijelaskan walaupun masih sangat ringkas. Di sini sang pengarang lebih menjelaskan maksud dari pendapat al-‘ibrah bi khuṣūṣ al-sabab. Dari sini dapat dilihat bahwa kaidah tesebut baru masuk pada pembahasan Ulūm al-Qur’ān di masa Ibn Taimiyah secara tertulis.
Baca Juga: Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul
Kemudian pada penjelasan al-Zarkasyī dalam kitabnya, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, pembahasan tentang kaidah ini hanya 1/4 halaman saja (sangat sedikit). Dalam pembahasannya, ketika beliau mengungkap argumentasi kelompok yang berpendapat al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafżi, beliau menukil pernyataan az-Zamakhsyarī yang disebutkan dalam kitab tafsirnya perihal surah al-Humazah dan juga pembahasan yang sangat ringkas terkait al-‘ibrah bi khuṣūṣ al-sabab.
Sementara itu, Jalāl al-Dīn al-Balqinī dalam kitabnya Mawāqi’ al-‘Ulūm min Mawāqi’ al-Nujūm, tidak membahas tentang kaidah ini. Dilanjutkan dengan ulama yang bernama Muhammad bin Sulaiman al-Kafijī dalam kitabnya al-Taisīr fī Qawā’id al-Tafsīr juga tidak ada pembahasan terkait kaidah ini. Untuk selanjutnya, Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī dalam kitabnya, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, penjelasan tentang kaidah ini sudah lebih detail daripada penjelasan Ibn Taimiyyah sebelumnya.
Selanjutnya Ṭāhir bin Ṣālih dalam kitabnya al-Tibyān li Ba’ḍi al-Mabāhiṡ al-Muta’alliqah bi al-Qur’ān juga tidak ada pembahasan tentang kaidah tersebut.
Selanjutnya, az-Zarqānī dengan nama kitabnya, “Manāhil al-‘Irfān (74)” mulai kaidah ‘umūm al-lafẓi dan khuṣūṣ al-Sabab dijelaskan secara detail. Selanjutnya Muhammad Abu Syuhbah dengan nama kitabnya al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān al-Karīm tidak jauh dengan penjelasan yang diuraikan oleh al-Zarqānī dan kemungkinan salah satu refrensinya adalah kitab al-Zarqānī.
Ṣabhi Ṣālih dalam kitabnya Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān juga tidak jauh berbeda penjelasannya dengan ulama sebelumnya. Abdullah Mahmūd dalam kitabnya ‘Ulūm al-Qur’ān menjelaskan lebih khusus pada pendapat yang memperhatikan keuniversalan teks.
Kemudian Manna’ al-Qaṭṭān dengan nama kitabnya Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān di dalamnya dijelaskan tentang kiadah ini secara global, terutama mengenai pendapat selain mayoritas ulama yang diistilahkan olehnya dengan jammā’ah.
Muhammad Hādī Ma’rafah dengan nama kitabnya, al-Tamhīd fī ‘Ulūm al-Qur’ān walaupun kitab ini ada 10 jilid tapi pembahasan tentang kaidah ini masih ada 3 halaman saja, yakni penjelasannya masih global.
Kemudian Fadl Hasan ‘Abbās dengan nama kitabnya Itqān al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān penjelasan dalam kitab ini masih tidak jauh beda dengan ulama sebelumnya, beliau mengutip pendapat dari al-Zarkasyī dan al-Suyūṭī dalam menjelaskan kaidah ini.
Kemudian Musṭafa Dīb dan muhyi al-Dīn dalam kitab mereka, al-Wāḍih fī ‘Ulūm al-Qur’ān tidak ada pembahasan terkait pembahasan ini. Musā’id bin Sulaimān al-Ṭayyar dalam kitabnya al-Muharrar fī ‘Ulūm al-Qur’ān menjelaskan kedua kaidah ini masih secara global.
Kemudian Muhammad Sālim Abū ‘Āṣī yang terbilang salah satu ulama masa modern, dalam kitabnya, Asbāb al-Nuzūl Tajdīd Mafāhim wa Rad al-Syubhāt menjelaskan tentang kaidah ini sebagaimana penjelasan ulama sebelumnya, hanya beberapa tambahan penjelasan yang sedikit lebih rinci. Selain itu, beliau juga menjawab kemusykilan, kecurigaan dari para tokoh pemikir tentang ilmu ini, seperti Nasr Ḥāmid abū Zayd.
Baca Juga: Konteks Historis Penurunan Alquran dan Perannya bagi Asbabunnuzul
Sebagaimana disampaikan oleh beberapa pengkaji ilmu Alquran mengenai peran dan urgensi kaidah asbabunnuzul dalam penafsiran Alquran, meski demikian, ulasan di atas menunjukkan bahwa ternyata tidak semua pengkai ilmu Alquran memberi ruang yang sama untuk pembahasan kaidah tersebut.
Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah kaidah asbabunnuzul ternyata lebih dahulu menjadi perhatian para ulama usul fiqh, baru kemudian menjadi bagian dari pembahasan ilmu Alquran. Wallah a’lam