Sejarah Legalitas Pungutan Pajak dalam Islam

Pajak merupakan salah satu kewajiban yang harus dibayarkan oleh rakyat kepada pemerintah. Dari aspek historis, kewajiban membayar pajak dimulai saat penerimaan negara dari minyak bumi dan gas alam (migas) mengalami penurunan di waktu Radius Prawiro menjabat sebagai Menteri Keuangan (1983-1988).
Pemerintah pada waktu itu memutar otak untuk mendapatkan sumber pendapatan lain, dan pilihan itu jatuh pada pajak. Dengan tidak menunggu waktu lama, pemerintah langsung bermusyawarah untuk menetapkan aturan dan regulasi terkait pungutan pajak. Hal ini penting untuk memenuhi keperluan pendapatan negara yang merupakan salah satu komponen penting dalam memenuhi kegiatan pemerintahan dan program pembangunan nasional.
Terlepas dari segala kontroversi yang terjadi, pajak merupakan penyumbang terbesar anggaran pendapatan yang diperoleh negara setiap tahunnya. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari pajak menjadi sumber utama dalam struktur penerimaan negara, yakni mencapai 82,4% dari total pendapatan. Pajak sendiri terdiri dari berbagai jenis seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan, serta bea cukai.
Lantas, apakah Islam juga mengenal istilah pajak? Dan apakah tindakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan rakyatnya untuk membayar pajak berdasarkan undang-undang mendapat legitimasi dari agama Islam?

Baca Juga: Jual Beli Emisi Karbon, Upaya Pencegahan Kerusakan Iklim
Perubahan Hukum Tentang Pajak 
Pada awalnya, Islam tidak mengenal pungutan yang diwajibkan negara kepada rakyatnya selain pajak, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Muhammad saw. yang termuat dalam kitab Sunan Ibnu Majah (570 1/) sebagai berikut:

ليس في المال لحقا سوى الزكاة

Tidak ada hak dalam harta selain zakat.
Dari hadis di atas, Nabi saw. menyampaikan dengan lafal sharih yang mengindikasikan bahwa kewajiban seseorang untuk mengeluarkan hartanya hanya terbatas pada urusan zakat. Sedangkan, pajak itu berbeda sama sekali dari segi teknis dan kewajibannya dengan zakat. Apalagi, terdapat ayat yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ۝٢٩

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Sebagian ulama menganggap pajak adalah bagian dari upaya memakan harta dengan cara batil karena tidak sesuai norma-norma syariat. Ditambah adanya kaidah fikih yang mengatakan الأصل في الأموال التحريم, asal pada setiap harta adalah haram, semakin menegaskan bahwa pajak memanglah layak mendapatkan label haram. Dan pada akhirnya, ketika memahami hukum bayar pajak hanya dari nas-nas tersebut, maka akan muncul pemahaman bahwa rakyat tidak memiliki kewajiban untuk membayarkannya
Akan tetapi, sejarah Islam mengatakan bahwa dulu pernah terjadi praktik pemungutan pajak oleh pemerintah Islam yang bersifat wajib dan dibebankan pada seluruh rakyatnya. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Rajab Al-Bayumi dalam kitab Ulamau fi Wajhit Tughyan (hal. 73):
“Ketika bangsa Tatar menyerang wilayah Syam, Sulthan Al-Zahir pun bersiap untuk melawan mereka. Akan tetapi, ia membutuhkan banyak uang untuk mempersiapkan tentara beserta nafkahnya. Sayangnya, kas negara saat itu tidak memiliki cukup dana. Maka, ulama’ Syam memberikan legalitas pada Sulthan untuk mengambil uang rakyat (pajak) untuk memenuhi kebutuhan tersebut”.

Baca Juga: Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 3) 
Ini artinya, pada mulanya Islam memandang pajak sebagai sesuatu yang diharamkan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pajak berubah menjadi wajib dan mengikat bagi masyarakat ketika dalam kondisi darurat, semisal pemerintah membutuhkan biaya yang tidak dapat dipenuhi oleh kas negara kecuali dengan menarik pajak.
Lebih lanjut, Ibnu ‘Asyur, salah satu mufassir reformis menuturkan dalam kitabnya Al-I’tisham (hal. 619) terkait faktor utama yang melatarbelakangi kebolehan bagi pemimpin untuk memungut pajak terhadap rakyatnya sebagai berikut:
“Jika kita telah memutuskan seorang imam yang ditaati dan ia membutuhkan banyak pasukan beserta kebutuhannya untuk melindungi wilayah kekuasaan negara yang luas, sedangkan kas negara tidak mencukupi, maka Imam -jika adil- boleh menetapkan pungutan dari orang-orang kaya sesuai kebutuhan negara saat itu”
Tidak sampai di situ, dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaily disebutkan terdapat tiga syarat  terkait legalitas pemerintah menarik pajak dari rakyatnya. Pertama, adanya kebutuhan nyata dari pemerintah terhadap harta serta tidak ada kas negara yang dapat memenuhi. Kedua, pengelolaan pajak harus diatur dengan format yang adil. Ketiga, pajak harus didistribusikan terhadap kemaslahatan umat secara menyeluruh.
Kembali ke persoalan awal, dengan melihat penjelasan yang terdapat di kitab-kitab klasik maupun kontemporer di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa praktik pungutan pajak yang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda dari yang ada pada masa-masa pemerintahan Islam. Jika dulu biaya yang mewajibkan bayar pajak ialah untuk membiayai peralatan perang dan segala macamnya, maka saat ini Indonesia berada dalam kondisi darurat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dan rencana pembangunan negara, lebih-lebih guna melunasi utang negara yang sudah mencapai angka triliunan.

Baca Juga: Ayat Zakat dan Isyarat tentang Sumber Pendapatan Negara
Tinggal bagaimana para aparatur negara menjaga dan melaksanakan amanah tersebut dengan adil dan bertanggung jawab. Serta, tidak lupa untuk mengalokasikan anggaran pajak pada sesuatu yang manfaatnya dapat dirasakan bersama-sama. Artinya, jika  syarat-syarat yang diberikan para ulama dilaksanakan dengan baik, maka membayar pajak menjadi kewajiban yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan begitu pula sebaliknya, jika ada satu syarat saja yang tidak terpenuhi, maka hukum pajak akan kembali seperti sedia kala, yakni diharamkan.