BerandaTafsir TematikTafsir EkologiJual Beli Emisi Karbon, Upaya Pencegahan Kerusakan Iklim

Jual Beli Emisi Karbon, Upaya Pencegahan Kerusakan Iklim

Kerusakan iklim akibat efek pemanasan global yang semakin masif membuat beberapa perusahaan penghasil emisi karbon di Indonesia melakukan perjanjian perdagangan emisi karbon dengan perusahaan pengurai limbah emisi karbon (selanjutnya disebut emisi) yang dihasilkan akibat proses kegiatan industri.

Perdagangan emisi merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit). Di sini pihak penghasil emisi membeli udara bersih kepada perusahaan yang bisa mengolah emisi menjadi udara yang bersih. Sejatinya jual beli emisi adalah upaya untuk menurunkan emisi atau pencemaran udara antara perusahaan penghasil emisi sebagai pihak yang menghasilkan emisi dan perusahaan pengurai emisi.

Praktik jual beli emisi sebenarnya tidak berbeda dengan transaksi jual beli pada umumnya, hanya saja “barang” yang diperjualbelikan adalah sesuatu hal yang tak lazim, yaitu emisi atau karbondioksida.

Baca juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Alquran

K.H. Afifuddin Muhajir saat mengisi kegiatan Bahtsul Masail Nasional bertajuk Pajak dan Perdagangan Karbon yang digelar secara daring, Kamis (9/9/2021) menjelaskan, “Perdagangan karbon tidak ada masalah dalam syariat Islam. Karena bentuknya kompensasi dari pihak yang telah melakukan kerusakan alam, atau sebagai transaksi jual beli antara kedua belah pihak.”

Dalam tinjauan kaidah fikih, sebenarnya jual beli karbon adalah sah bahkan cenderung dianjurkan mengingat hal ini sebagai kompensasi atas udara kotor yang dihasilkan akibat proses industri. Ini berdasarkan kaidah fikih:

ﺍَﻟﻀَّﺮَﺭُ ﻳُﺰَﺍﻝُ

Kemudaratan itu harus dihilangkan.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

Pengertian dari kaidah di atas adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan harus dihilangkan. Dengan kata lain kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Dalam hal ini kerusakan yang dihasilkan atas emisi sejatinya harus dihilangkan dengan cara diolah kembali menjadi udara bersih.

Senada dengan uraian di atas, dalam Alquran dijelaskan tentang perintah menjaga lingkungan sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-A’raf ayat 56.

وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Baca juga: Term Fasad dan Pemaknaannya dalam Alquran, dari Penyimpangan sampai Kerusakan Lingkungan

Meskipun beberapa mufasir seperti Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dan Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ dengan makna khusus, yaitu “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi dengan berbuat syirik dan maksiat”. Akan tetapi, ayat di atas  juga boleh dipahami dengan keumuman redaksi ayat berdasarkan kaidah:

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”

Mengutip sumber lain, yakni Al-Tafsir al-Kabir/Mafatih al-Ghaib, dijelaskan maksud dari ayat di atas sebagai berikut.

Firman Allah Swt. “Dan janganlah kalian membuat kerusakan” adalah larangan membuat kerusakan apapun dalam barang yang wujud, dan larangan dalam barang yang wujud berarti larangan pula dalam segala macam dan jenisnya. Sehingga, larangan tersebut mencakup larangan membuat kerusakan pada lima perkara ini (jiwa, harta, nasab, agama dan akal). Sedangkan firman Allah Swt. “(Sesudah (Allah Swt.) memperbaikinya” bisa berarti yang dimaksud adalah setelah Allah Swt. membuat baik bentuk semulanya pada bentuk yang cocok bagi kepentingan makhluk dan sesuai dengan kemaslahatan para mukallaf.

Baca juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Dapat dipahami wujud implementasi ayat di atas adalah larangan untuk membuat kerusakan di muka bumi dengan maksiat dan mencemari lingkungan. Salah satu bentuk pencemaran lingkungan yakni menghasilkan emisi yang berlebihan. Berdasarkan ayat di atas pula maka mencemari lingkungan juga termasuk dalam kategori maksiat. Apabila dikaitkan dengan jual beli emisi maka pihak yang menghasilkan emisi mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kualitas udara yang tercemar agar tidak merusak lingkungan.

Dengan demikian, diharapkan regulasi jual beli emisi karbon segera terbit sehingga menjadi suatu keniscayaan bagi perusahaan atau industri yang menghasilkan udara kotor untuk membayar kompensasi demi terjaganya kualitas udara yang baik dan demi mengurangi pencemaran iklim. Wallahu a’lam.

Kholid Irfani
Kholid Irfani
Alumni jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah at-Taubah ayat 122_menuntut ilmu sebagai bentuk cinta tanah air

Surah at-Taubah Ayat 122: Menuntut Ilmu sebagai Bentuk Cinta Tanah Air

0
Surah at-Taubah ayat 122 mengandung informasi tentang pembagian tugas orang-orang yang beriman. Tidak semua dari mereka harus pergi berperang; ada pula sebagian dari mereka...