BerandaPotret al-Dakhīl dalam Tafsir al-Baiḍāwī

Potret al-Dakhīl dalam Tafsir al-Baiḍāwī

Para ulama merumuskan dasar-dasar dan kaidah tafsir, termasuk juga syarat dan adab mufassir agar tidak melampai batasan-batasan tafsir. Sebagian dari mereka menyimpang dari kaidah dan dasar-dasar ini, sebab berpaling dari sumber-sumber tafsir yang asli, dan hal itu berdampak negatif terhadap hasil penafsiran, sehingga terjadilah apa yang disebut al-dakhīl fī al-tafsir.

Salah satu tafsir yang di dalamnya masih terdapat al-dakhīl adalah tafsir al-Baiḍāwī yang dikenal dengan nama kitabnya Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl. Sebelum beranjak jauh melihat al-dakhīl dalam kitab tafsirnya, seyogyanya dipahami terlebih dahulu terkait definisi al-dakhīl fi al-tafsir.

Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran

Pengertian al-Dakhīl

Secara etimologi kata “الدخل” adalah lawan dari “الخرج” (keluar). Kata “المدخل” dengan memfathahkan huruf mim berarti masuk dan juga tempat masuknya. Misalnya, dikatakan “دخل مدخل حسن” (masuk dengan cara yang baik) dan “دخل مدخل صدق” (masuk dengan cara yang benar). ((Muhammad bin Abu Bakr bin Abd al-Qādir al-Rāzī, Mukhtār al-Shihhāh, 84).

Kata “دخيل” digunakan untuk menyebut seseorang yang bergabung dengan suatu kaum dalam garis keturunan mereka, tetapi aslinya bukan bagian dari kaum tersebut. Selain itu, “الدخيل” juga berarti tamu karena tamu memasuki rumah tuan rumah. (Ibn Saidah, al-Muhkam wa al-Muhīth al-‘A’dzam, 141).

Dalam sebuah hadis dari Mu’adz yang menyebutkan tentang bidadari surga:

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةُ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنْ الْحُوْرِ الْعِيْنِ لاَ تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكَ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكَ إِلَيْنَا

“Jika seorang isteri menyakiti suaminya di dunia, maka isterinya yang bidadari berkata: “Janganlah kamu menyakitinya, semoga Allah membinasakanmu. Sesungguhnya dia di sisimu hanyalah orang yang mampir atau tamu “دخيل”. Sebentar lagi dia akan berpisah denganmu untuk berpulang kepada kami.” (Al-Tirmidzi)

 Terkadang “دخيل” dapat menunjukkan hubungan dengan celaan. Kata الدخل sendiri bermakna العيب (cacat) dan الريبة (keraguan). Misalnya, ada ungkapan: هذا الأمر فيه دخل ودخل (hal ini mengandung cacat dan kekurangan). Dalam Alquran, pada surah Al-Nahl ayat 94:

وَلَا تَتَّخِذُوْٓا اَيْمَانَكُمْ دَخَلًا ۢ بَيْنَكُمْ

“Janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antara kamu” yakni tipu daya dan pengkhianatan. (al-Qādir al-Rāzī, Mukhtār al-Shihhāh, 84).

Secara terminologi, banyak ulama yang mendefinisikan al-dakhīl fī al-tafsīr. Di antaranya adalah Jamāl Musthafā al-Najjār dalam kitab Ushūl al-Dakhīl fī Tafsīr Ay al-Tanzīl, (28), ia berkata, “Al-dakhīl adalah setiap sesuatu yang disandarkan dengan dusta kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat atau tabi’in, atau riwayatnya tetap pada sahabat atau tabi’in akan tetapi tidak mencukupi syarat diterimanya Riwayat tersebut. Juga, bisa dimutlakkan pada suatu pendapat yang rusak yang tidak mencukupi syarat.”

‘Imād Hamittū dalam kitab al-Dakhīl fī al-Tafsīr Ushuluhu wa Ḍawābithuhu (24), ia berkata, “Al-Dakhīl adalah sesuatu yang diriwayatkan dalam tafsir tetapi bertentangan dengan syarat diterimanya, baik secara keseluruhan atau sebagiannya, atau merupakan bagian dari tafsir bi al-ra’y yang keliru.”

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa al-dakhīl adalah suatu penafsiran atau penjelasan yang tidak berdasarkan riwayat yang diterima atau merupakan bagian dari tafsir yang tertolak dari kaidah-kaidah tafsir yang disepakati oleh para ulama.

Baca Juga: Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

Al-Dakhīl dalam Kitab Tafsir al-Baiḍāwī

Ada beberapa bentuk al-dakhīl yang ada dalam tafsirnya, sebagaimana berikut;

Ta’wil Jauh dari Makna Ḍahirnya

Ketika al-Baiḍāwī menafsirkan surah Ali Imran [03] ayat 36:

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ اِنِّيْ وَضَعْتُهَآ اُنْثٰىۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْۗ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْاُنْثٰىۚ وَاِنِّيْ سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَاِنِّيْٓ اُعِيْذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ ۝٣٦

“Ketika melahirkannya, dia berkata, “Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal, Allah lebih tahu apa yang dia (istri Imran) lahirkan. “Laki-laki tidak sama dengan perempuan. Aku memberinya nama Maryam serta memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan yang terkutuk.”

 Al-Baiḍāwī berkata:

وعن النبي صلّى الله عليه وسلّم مَا مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلَّا وَالشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِينَ يُولَدُ فَيَسْتَهِلُّ مِنْ مَسِّهِ إِلَّا مَرْيَمَ وَابْنَهَا. ومعناه:
أنَّ الشَّيْطَانَ يَطْمَعُ فِي إِغْوَاءِ كُلِّ مَوْلُودٍ وَيُؤَثِّرُ فِيهِ، إِلَّا مَرْيَمَ وَابْنَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَصَمَهُمَا بِبَرَكَةِ هَذِهِ الاِسْتِعَاذَةِ.

Dari Nabi Muhammad SAW “Tidaklah seorang bayi dilahirkan kecuali setan menyentuhnya ketika dilahirkan, sehingga bayi itu menangis karena sentuhannya, kecuali Maryam dan anaknya (Nabi Isa).” Maknanya: Setan memiliki keinginan untuk menggoda (untuk menyesatkan) setiap bayi yang lahir kecuali Maryam dan anaknya, maka Allah melindungi mereka dari gangguan setan karena keberkahan doa perlindungan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. (al-Baiḍāwī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, 14).

Makna yang benar adalah bahwa hadis tersebut dipahami secara zahirnya, dan sentuhan setan yang dimaksud adalah tusukannya (dalam riwayat lain berarti sentuhan biasa), bukan godaannya, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat lain dari hadis Abu Hurairah. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak Adam ditusuk oleh setan pada kedua sisinya dengan kedua jarinya ketika lahir, kecuali anak Maryam. Setan berusaha menusuknya, tetapi tusukannya mengenai penghalang.” (Nur al-Dīn ‘Alī al-Qārī, Murqah al-Mafātīh Syarh Misykāt al-Mashābīh, 9: 3658).

Baca Juga: Posisi Kitab Anwār al-Tanzīl dalam Kesejarahan Tafsir Alquran

Menyampaikan Qira’āt al-Syaddah

al-Baiḍāwī menyebutkan dalam surah Ali Imran [03] ayat 18:

شَهِدَ اللّٰهُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۙ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَاُولُوا الْعِلْمِ قَاۤىِٕمًا ۢ بِالْقِسْطِۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Kalimat qāiman bil qisth dibaca القائم بالقسط sebagai badal dariهو atau sebagai khabar bagi mubtada yang tersembunyi/dibuang.” Sedangkan Abu Hayyān berpendapat bahwa kalimat “القائم” dijelaskan sebagai khabar dari mubtada’ yang dihilangkan. Perkiraan lengkapnya menjadi “هو القائم بالقسط” yang berarti “Dialah yang menegakkan keadilan.” Tidak diperbolehkan menjadikan “القائم” sebagai badal dari “هو” karena terdapat pemisahan antara badal dan mubdal minhu (yang digantikan) oleh kata yang dihubungkan dengan dua athaf. Dua athaf itu menjadi ‘amil dari ‘amil yang berbeda dengan ‘amil pada mubdal minhu. Bahkan jika ‘amil dalam ma’thuf sama dengan ‘amil pada mubdal minhu, tetap tidak boleh. Hal ini karena jika terdapat kombinasi antara athaf dan badal, maka badal harus didahulukan atas athaf. (Abu Hayyān al-Andalusī, al-Bahr al-Muhīth, 422).

Dari penjelasan Abu Hayyān dapat dipahami bahwa qira’āh syaddah ini tidak memiliki pengaruh (tidak memberi konstribusi signifikan) terhadap makna dan pemahaman ayat, sehingga di sini dianggap sebagai al-dakhīl fī al-tafsīr.

Secara umum dapat disimpukan bahwa al-dakhīl bisa ada pada beberapa tafsir lainnya sebab tujuan al-dakhīl itu sendiri yang menjadi proteksi dari semua bentuk penafsiran yang jauh dari kebenaran. Penjelasan di atas dapat menjadi contoh dari potret al-dakhīl dalam tafsir al-Baiḍāwī.

Abd Hamid
Abd Hamid
Dosen Institut Agama Islam al-Khairat Pamekasan
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur'ani

Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur’ani

0
Berdasarkan laporan "Digital 2023" oleh We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta pada Januari 2023, yang setara dengan 60,4%...