Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

perawi israiliyat di kitab-kitab tafsir
perawi israiliyat di kitab-kitab tafsir

Israiliyat merupakan salah satu bentuk ad-dakhil atau infiltrasi dalam kitab-kitab tafsir. Masuknya Israiliyat ini menurut Husein adz-Dzahabi sudah dimulai sejak masa sahabat. Namun para sahabat sangat selektif dan meminimalisir periwayatan dari tokoh-tokoh perawi Israiliyat. Para tokoh perawi Israiliyat ini kebanyakan adalah orang-orang yang dulunya adalah tokoh Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Beberapa diantara mereka menjadi bagian dari sahabat nabi dan para tabiin senior.

Di antara faktor yang mendorong para sahabat untuk bertanya kepada mereka adalah karena kisah-kisah yang disebutkan secara global di dalam al-Quran, sementara kisah-kisah tersebut diceritakan secara terperinci di dalam kitab Taurat dan Injil.

Baca Juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Husein adz-Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya At-Tafsir wa Al-Mufassirun bahwa penyebaran riwayat israiliyyat kebanyakan bersumber setidaknya dari empat orang di bawah ini. Mereka adalah:

  1. Abdullah bin Salam (w. 43H)

Perawi Israiliyat yang pertama ini nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam al Israily al Anshary. Dia termasuk keturunan nabi Yusuf bin Ya’qub. Sebelum masuk Islam namanya Hushain bin Salam. Ketika Nabi datang ke Madinah, dia menyatakan diri masuk Islam setelah melihat tanda-tanda kenabian pada diri Nabi yang sesuai dengan yang dia temukan di dalam kitab Taurat.

Dia merupakan orang yang paling mengetahui isi kitab Taurat di antara kaumnya. Kisah masuk Islamnya diceritakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Bahkan beberapa mufasir menyebutkan bahwa ayat 10 surat al Ahqaf,

…. وَشَهِدَ شَاهِدٞ مِّنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ….

Turun berkenaan dengan masuk Islamnya Abdullah bin Salam. Setelah masuk Islam, namanya diganti oleh Nabi menjadi Abdullah.

Tingkat keilmuan Abdullah bin Salam diakui oleh para sahabat, di antaranya oleh Muadz bin Jabal. Muadz menyatakan bahwa ilmu dan iman itu bisa didapatkan pada empat orang, salah satunya adalah Abdullah bin Salam. Beberapa orang yang mengambil riwayat darinya adalah kedua anaknya yaitu Yusuf dan Muhammad, Abu Hurairah, Abu Bardah bin Abu Musa, Atha’ bin Yasar, dll. Syaikh Manna’ al Qaththan menyebutkan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran bahwa diantara para perawi Israiliyat, dia adalah yang memiliki kedudukan paling tinggi dan paling bersih dari berbagai tuduhan.

Baca Juga: Inilah Kisah-Kisah Israiliyat dalam Tafsir Al-Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantany, Begini Penjelasannya

2. Ka’b Al-Ahbar (w. 32 H)

Namanya Abu Ishaq Ka’b bin Mati’ al Himyari. Dia dikenal dengan Ka’b Al-Ahbar atau Ka’b Al-Bahr karena keluasan ilmunya. Sebelum masuk Islam dia adalah seorang Yahudi dari Yaman. Ada perbedaan pendapat mengenai kapan dia masuk Islam, namun yang masyhur menurut Ibnu Hajar adalah pada masa kekhalifahan Umar. Setelah masuk Islam dia menetap di Madinah kemudian pindah ke Syam pada masa kekhalifahan Usman dan wafat di Homs pada tahun 32 H. Beberapa orang yang menerima riwayat darinya adalah Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Atha’ bin Rabah.

Mengenai ketsiqahannya dalam ilmu riwayat, ada banyak tuduhan yang disandarkan kepadanya. Namun, Husein Adz-Dzahabi menyatakan bahwa terlepas dari segala tuduhan yang disandarkan kepadanya, dengan mempertimbangkan adanya pengambilan riwayat darinya oleh Ibnu Abbas dan Abu Hurairah yang memiliki kapasitas ilmu yang luar biasa, hal ini sudah cukup untuk menolak tuduhan beberapa orang kepadanya. Selain itu, Imam Muslim, Abu Dawud dan An-Nasai juga mencantumkan beberapa riwayat darinya.

3. Wahab bin Munabbih (w. 110 H)

Abu Abdillah Wahab bin Munabbih bin Sij bin Kinaz al Yamani as-Shan’ani termasuk orang pilihan dari para ulama tabiin. Dia banyak membaca kitab-kitab terdahulu dan menguasai kisah-kisah tentang awal penciptaan alam. Al Harawiy mengatakan Wahab lahir tahun 34 H pada masa kekhalifahan Usman. Dia wafat tahun 110 H.

Wahab menerima riwayat dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Said al Khudry, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Amr bin Ash, Jabir dan Anas. Sedangkan yang menerima riwayat darinya adalah kedua anaknya Abdullah dan Abdurrahman bin Wahab, Umar bin Dinar. Para Imam hadis juga menakhrij riwayatnya seperti Bukhari, Muslim, Nasai, Tirmidzi, dan Abu Dawud.

Seperti halnya Ka’b Al-Ahbar, Wahab bin Munabbih juga mendapat banyak tuduhan seperti kidzb, tadlis, merusak akal dan akidah umat Islam dengan riwayatnya. Di antara yang banyak mengkritik Wahab bin Munabbih dan Ka’b Al-Ahbar adalah Ahmad Amin dan Muhammad Rasyid Ridla.

Baca Juga: Benarkah Ahlu Kitab Musuh Umat Islam? Simak Penjelasan Surat Ali Imran Ayat 113

4. Ibnu Juraij (w. 150 H)

Perawi Israiliyat ini bernama lengkap Abu Khalid atau Abu al Walid Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, dulunya seorang Nasrani dari Romawi. Dia termasuk dari ulama dan ahli hadis Makkah. Ibnu Juraij adalah salah seorang yang pertama kali menyusun kitab di Hijaz. Dia merupakan sumber riwayat israiliyat di kalangan tabiin. Imam at-Thabari banyak mengambil riwayat Ibnu Juraij dalam tafsirnya Jami’ al Bayan untuk menjelaskan perihal yang berkenaan dengan Nasrani.

Ibnu Juraij menerima riwayat dari ayahnya, Atha’ bin Rabah, Zaid bin Aslam, az-Zuhry dan lainnya. Kemudian yang mengambil riwayat darinya diantaranya kedua anaknya; Abdul Aziz dan Muhammad, al Auza’iy, al Laits, Yahya bin Said al Anshary, Hammad bin Zaid, dan lainnya.

Ibnu Juraij lahir pada tahun 80 H. Tahun wafatnya masih diperselisihkan, ada yang menyebutkan tahun 150 H, ada juga yang mengatakan pada tahun 159 H.

Status ketsiqahannya diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang menilainya sebagai orang yang tsiqah, ada pula yang menyangsikan tingkat tsiqahnya. Banyak para ahli hadis menilai tadlis pada sebagian riwayatnya.

Demikianlah empat orang yang menjadi sumber riwayat israiliyat yang banyak tersebar di kitab-kitab tafsir. Para ulama telah membagi jenis-jenis israiliyat ke dalam tiga jenis dan cara menyikapinya; riwayat yang bertentangan dengan syariat harus ditolak, riwayat yang sejalan dengan syariat boleh diterima, dan riwayat yang tidak bisa dipastikan kebenaran dan kebatilannya maka disikapi dengan tawaqquf, tidak menerima dan tidak mengingkari.

Wallahu a’lam