Kita tentu tidak asing dengan kisah Israiliyat. Israiliyat adalah kisah atau kabar tentang masa silam yang berisi kisah tentang para nabi atau orang shalih lainnya. Kisah Israiliyat sebenarnya kisah yang bersumber dari ahli kitab, yang mayoritas bersumber dari orang-orang Yahudi yang masuk agama Islam. Dalam salah satu tafsir Al-Quran karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantany yaitu Tafsir Al-Munir sangat sarat akan nuansa kisah Israiliyat di dalamnya.
Kisah-kisah Israiliyat yang Dipandang Benar
Dalam Tafsir Al-Munir terdapat banyak kisah Israiliyat, adapun di sini penulis ingin memaparkan kisah Israiliyat yang dipandang benar karena didukung oleh dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW yang sahih.
Ketika menafsirkan firman Allah dalam Q.S. al-Kahfi/18: 60, Syaikh Nawawi mengemukakan sebuah kisah berikut ini.
“Nabi Musa a.s telah meyakini bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih pandai daripada aku. Lalu Allah berfirman, “Hai Musa, sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba di muka bumi ini yang sangat tekun beribadah kepada-Ku melebihi kamu dan dis lebih pandai daripada kamu yaitu Khidr. “Kemudian Nabi Musa berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku petunjuk untuk menemuinya.”
Maka Allah berfirman kepadanya, “Ambillah seeokor ikan asin dan pergilah ke tepi laut sehingga engkau menjumpai sebuah batu besar, di dekatnya ada mata air kehidupan, maka percikkanlah airnya itu kepada ikan tersebut sehingga ikan itu hidup kembali, maka di sanalah engkau akan bertemu dengan Khidr.” Kemudian Nabi Musa mengambil seekor ikan yang disimpannya di dalam sebuah keranjang. Kemudian ia berpesan kepada muridnya (Yusya bin Nun bin Afrayim bin Yusuf a.s.) “Apabila ikan itu menghilang beritahulah aku. Lalu keduanya pergi berjalan kaki.”
Kisah ini dipandang benar, karena selain ada isyarat dalam Al-Quran surat al-Kahfi ayat 60 dan ayat-ayat sesudahnya atas kebenaran kisah tersebut, juga kisah itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab Sahih keduanya dari sahabat Ubay bin Ka’b.
Baca juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun
Kisah Nabi Sulaiman a.s.
Ketika menafsirkan firman Allah Q.S. Shaad/38:34 Syaikh Nawawi mengemukakan sebuah kisah berikut ini.
“Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau telah bersabda, “Nabi Sulaiman a.s. telah berkata, “Sungguh mala mini aku akan menggauli sebanyak tujuh puluh istri. Setiap istri itu tentu akan melahirkan anak yang ahli menunggang kuda yang digunakan untuk berjuang di jalan Allah. Namun ia tidak mengucapkan insyaallah ta’aala. Lalu ia menggauli istri-istrinya itu, namun tidak ada yang hamil kecuali hanya seorang istrinya yang melahirkan anak dalam keadaan cacat. Kemudian anaknya itu dibawa ke atas singgasananya lalu diletakkan di atas pangkuannya. Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya ia mengucapkan:insyaallah, tentu mereka berjuang di jalan Allah dengan menunggang kuda.”
Kisah ini juga diipandang benar, karena selain ada isyarat dalam Q.S. Shaad ayat 34, ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya. Imam Muslim juga dalam kitab Shahihnya, dan Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunannya.
Kisah-kisah Israiliyat yang Dipandang Tidak Benar
Kisah-kisah Israiliyat berikut ini dipandang tidak benar karena bertentangan dengan syariat islam, tidak didukung oleh Al-Quran dan hadis yang sahih atau tidak bisa diterima oleh akal yang sehat. Misalnya Kisah Nabi Ayyub di bawah ini,
Ketika menafsirkan Q.S. al-Anbiya’/21:83, Syaikh Nawawi mengemukakan sebuah kisah berikut ini.
“Nabi Ayyub a.s. itu adalah orang Rum dari keturunan ‘Ish bin Ishaq dan ibunya dari keturunan Nabi Luth a.s. Allah telah menjadikannya seorang nabi dan telah memberikannya harta yang banyak berupa binatang baik ternak maupun yang melata dan kebun. Allah juga telah mengarunia beberapa anak kepadanya baik laki-laki maupun perempuan. Beliau sangat penyayang terhadap orang-orang miskin, menanggung beban anak-anak yatim, janda-janda, dan memuliakan tamu.
Lalu Allah Ta’ala memberi ujian kepadanya dengan merobohkan sebuah rumah yang membinasakan anak-anaknya, melenyapkan segala hartanya dan menimpakan penyakit di badannya selama delapan belas tahun. Dari atas kepala sampai ujung kakinya keluar kutil-kutil yang menimbulkan rasa gatal yang sangat dahsyat. Beliau menggaruknya dengan kuku-kukunya sehingga kuku-kukunya itu rontok. Kemudian beliau menggaruknya dengan tembikar dan batu, dan terus-menerus menggaruknya sampai dagingnya berjatuhan dan berbau busuk. Kemudian beliau diusir oleh penduduk kampungnya dan mereka meletakkannya di atas sampah. Lalu dibuatkan untuknya sebuah saung (semacam kemah)”.
Baca juga: Bagaimana Kisah Harut dan Marut Sebenarnya dalam Al-Quran?
Nabi Ayyub a.s. adalah salah seorang nabi dari para nabi kaum Bani Israil. Dengan demikian kisah tersebut adalah kisah Israiliyat yang dikemukakan secara panjang lebar dalam perjanjian lama. Sedangkan yang mempopulerkan kisah itu kepada kaum Muslim khususnya kepada ulama ahli tafsir, sesuai dengan penelitian Ibn Kasir adalah Wahb bin Munabbbih. Seorang ulama ahli tafsir dari Yaman yang berasal dari agama Yahudi, ia termasuk orang yang banyak meriwayatkan kisah israiliyat.
Yaqut al-Hamawi berkata, “Wahb adalah orang yang banyak meriwayatkan kisah israiliyat yang diambilnya dari kitab-kitab terdahulu.” Bahkan menurut pengarang Muslim terkenal, Haji Khalifah “Wahb bin Munabbih telah mengarang sebuah kitab yang diberi judul “Kitab al-Israiliyat”.
Berkenaan dengan kisah-kisah israiliyat yang dikemukakan oleh Wahb bin Munabbih ini, Muhammad Husain adz-Dzahabi telah berkata: Wahb bin Munabbih telah banyak meriwayatkan kisah Israiliyat dan banyak pula kisah Israiliyat yang disandarkan kepadanya. Kisah-kisah tersebut ada yang bernilai dan ada yang tidak, ada yang sahih dan ada yang cacat, yang semuanya itu dijadikan sumber untuk mencela dan mencacinya, sehingga ia dituduh pendusta, penipu dan perusak pemikiran ulama Islam.
Kisah Nabi Dawud a.s.
Ketika menafsirkan firman Allah Q.S. Saad/38:21-24 Syaikh Nawawi mengemukakan kisah berikut ini.
“Dan dikatakan bahwa Uriya telah melamar seorang perempuan dan keluarganya telah menerima lamarannya. Kemudian Nabi Dawud a.s. melamar perempuan itu ketika Uriyah sedang tidak ada di tempat karena ia sedang melaksanakan tugas berperang. Lalu perempuan itu bersedia dinikahi oleh Nabi Dawud a.s. karena memandang kedudukannya”.
Kisah ini jelas tidak dapat dibenarkan karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, Tidak ada dasar yang kuat untuk dijadikan pegangan baik dalam Al-Quran maupun hadis.
Kedua, kisah tersebut dapat menodai sifat ‘ismah (terpelihara dari dosa) bagi Nabi Dawud a.s. karena orang yang bukan nabi pun tidak dibenarkan melamar seorang perempuan yang sudah dilamar orang lain, apalagi Nabi Dawud a.s. seorang nabi dan rosul pilihan Allah swt. Dan ternyata, di dalam syari’at Nabi Dawud pun sama dengan syari’at kita yakni diharamkan hukumnya melamar perempuan yang sudah dilamar oleh orang lain. Wallahu A’lam.