Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Syekh Nawawi Al-Bantani
Syekh Nawawi Al-Bantani credit: jatman.or.id

Syekh Nawawi al-Bantani mempunyai nama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Ia lahir di Desa Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M.  Beliau dikenal sebagai seorang tokoh mufasir, sufi dan ulama fiqih bermazhab Syafi’i. Di kalangan keluarganya, Syaikh Nawawi al-Bantani dikenal dengan sebutan Abu Abd al-Mu’ti.

Nawawi kecil tumbuh dalam keluarga yang religius. Ayahnya, ‘Umar bin ‘Arabi merupakan seorang ulama dan tokoh masyarakat di tanah kelahirannya. Ia juga menjadi pemimpin di masjid yang digunakan sebagai tempat pengajian dan pembelajaran agama bagi orang di desa tersebut. Tidak hanya pengajian dan pembelajaran, masjid juga kerap digunakan sebagai tempat musyawarah untuk membicarakan masalah agama.

Adapun ibunya, Zubaidah dikenal sebagai seorang wanita yang salihah. Ketika Nawawi  masih berada dalam kandungan, ibunya senantiasa mendoakan terhadap kebaikan, kesalihan dan kebaktian anak pertamanya itu. Berkat latar belakang tersebut, Nawawi kecil tumbuh menjadi anak yang soleh dan mencintai ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu keislaman.

Jejak Intelektual

Sejak belia Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari kedua orang tuanya. Mata pelajaran yang diterima olehnya antara lain adalah bahasa Arab, fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu, beliau juga berguru kepada Kiai Sahal di Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Berkat pendidikan tersebut, Nawawi al-Bantani bisa menguasai berbagai macam dasar-dasar ilmu agama sebagai bekal pendidikannya kelak.

Pada usia 15 tahun, Nawawi muda merantau meninggalkan tanah air (Indonesia) menuju Mekah untuk menuntut ilmu dan ia tinggal di sana kurang lebih selama 3 tahun. Di Mekah Syekh Nawawi al-Bantani mempelajari berbagai cabang ilmu keislaman dan berguru pada Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimyathi, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (para masyayikh Masjid al-Haram ketika itu).

Ia juga pernah belajar di kota Madinah melalui bimbingan Syaikh Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian beliau juga melanjutkan belajarnya ke Syam (sekarang Syiria) dan Mesir. Sekitar tahun 1248 H/1831 M beliau kembali ke Indonesia untuk mengabdikan diri. Namun, setelah 3 tahun berada di Tanara, beliau kembali lagi ke Mekkah karena situasi politik yang bergejolak akibat penjajahan Belanda dan tidak pernah kembali lagi ke Indonesia.

Setelah lebih dari 30 tahun mempelajari dan mendalami pengetahuan agama, pada tahun 1860 beliau mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram (Mekka in Latter Part of The 19th Century: 171). Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia, diantaranya ada yang berasal dari Indonesia, yaitu: KH. Khalil (Bangkalan), KH. Asy’ari (Bawean), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang).

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

Kecerdasan dan ketekunan Syekh Nawawi al-Bantani selama proses belajar dan mengajar mengantarkan dirinya menjadi salah satu ulama terpandang di Masjid al-Haram. Bahkan, orang-orang Indonesia maupun masyarakat Mekah mengenal sosoknya sebagai ulama di tanah Hijaz. Karena hal itu, karya-karya hasil tangan emasnya sering dipelajari dan diteliti hingga saat ini (abad 21).

 Tafsir Marah Labid fi Kasyfi Ma’na al-Quran al-Majid dan Karya-karyanya

Pada tahun 1864 atau 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi al-Bantani mulai giat menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu luang lagi untuk mengajar. Selama hidupnya, Syekh Nawawi al-Bantani dikenal sebagai ulama yang produktif menulis dalam berbagai bidang persoalan agama. Dictionary of Arabic Printed Books mencatat Setidaknya ada 34 karya Syekh Nawawi al-Bantani.

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa jumlah karya tangan Syekh Nawawi al-Bantani mencapai lebih dari 100 judul buku. Hanya saja sebagian karya tersebut tidak tercatat dan tidak terlacak oleh para peneliti. Secara umum, karya Syekh Nawawi al-Bantani meliputi berbagai disiplin ilmu, yakni tauhid, fiqih, sirah nabawi, hadis, lugah (bahasa Arab), retorika, tasawuf, etika dan tafsir.

Diantara karya Syekh Nawawi al-Bantani yang diketahui adalah Nashaih al-‘Ibad,  al-Maraqi al-‘Ubudiyah, Sulalim al-Fudhala, Mishbah al-Zhulam, Tanqih al-Qaul, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja, al-Tsamar fi .Riyadh al-Badi’ah, Sulam Munajat, ‘Uqud alLujain, al-Tausyih ibn Qasim, Tijan al-Darari, Qami’ Thugyan, Fath al-Majid, al-Ibriz al Dani fi Maulid Sayyidina Muhammad.

Selain itu, beliau juga menulis, Bughyah al-Awwam fi Maulid Sayyid al-Anam Fath al-Ghafir al-Khatiyah ‘ala al-Kawakib al-Jaliyah fi Nazham al-Ajrumiyah, al-Fushush al-Yaqutiyah ‘ala Raudhah al-Bahiyah fi Abwab al-Tashrifiyah, Lubab al-Bayan fi al Isti’arah dam Tafsir Marah Labid fi Kasyfi Ma’na al-Quran al-Majid (sebuah kitab tafsir lengkap 30 juz).

Kitab Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid atau dikenal juga dengan Marah Labid-Tafsir al-Nawawi/al-Tafsir al-Munir ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani dengan menggunakan bahasa Arab, berjumlah 2 jilid. Kitab ini menafsirkan al-Qur’an secara lengkap tiga puluh juz. Di dalamnya, Syekh Nawawi al-Bantani menggunakan metode penafsiran tahlili dan tartib mushafi.

Sumber utama dari kitab tafsir tersebut adalah riwayat-riwayat penafsiran nabi, sahabat dan tabi’in (ma’tsur). Selain itu beliau juga mengutip pandangan-pandangan ulama tentang penafsiran al-Qur’an (ra’yu) yang terdiri dari kitab-kitab sufi, kitab al-Futuhat al-Ilahiyah karya Sulaiman al-Jamal (w. 970), Mafatih al-Ghaib karya Fakhru al-Din al-Razi (w. 1209), al-Siraj al-Munir karya al-Syirbini (w. 1570), Tanwirul Miqbas karya Fairuzzabadi (w. 1415), dan Tafsir Abi Su’ud karya Ibn Su’ud (w. 1574).

Kitab Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid dipublikasikan pertama kali oleh penerbit al-Razzaq pada tahun 1305 Hijriah di Kairo. Bagi penulis, Tafsir ini adalah magnum opus terakhir dari Syekh Nawawi al-Bantani sebelum beliau wafat (usia 84 tahun) pada tanggal 25 Syawal 1314H/1879 M di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan pinggiran kota Mekah. Hingga saat ini karya beliau tersebut selalu dikaji dan dipelajari, terutama di pondok pesantren Jawa seperti PP. LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta. Wallahu a’lam.