Menjelang Magrib di berbagai daerah, masih dapat dijumpai sekawanan anak-anak yang pergi ke surau-surau atau rumah gurunya untuk mengaji Alquran. Di antara mereka, ada yang sudah pandai membaca Alquran, ada juga yang masih di jenjang Iqro’ (belum sampai tingkatan Alquran). Meski suasananya tidak sesyahdu dulu, yakni ketika anak-anak belum mengenal gawai, dan lainnya, tetapi semangat anak-anak untuk belajar membaca Alquran patut diapresiasi.
Di Lombok, pemandangan seperti ini juga masih sering dijumpai. Anak-anak kecil seusia anak Sekolah Dasar belajar Alquran di bawah bimbingan seorang guru. Dalam jangka waktu tertentu, mereka yang sudah hatam membaca Alquran di bawah bimbingan guru tersebut atau mereka yang dirasa sudah bagus bacaan Alqurannya akan melewati proses semacam demonstrasi atau uji publik yang disebut dengan Namatang.
Baca Juga: Membaca Surah-Surah Pilihan: Antara Amalan, Tradisi dan Doa
Namatang sebagai uji publik kelayakan bacaan Alquran
Salah satu tradisi yang sampai sekarang masih lestari di beberapa daerah di Lombok adalah tradisi Namatang. Namatang atau Namatan sendiri berasal dari kata tamat. Ia merupakan acara seremonial yang menjadi simbol bahwa anak yang mengaji Alquran kepada seorang guru tertentu telah khatam membaca Alquran dan dinyatakan lancar bacaan Alqurannya.
Dalam praktiknya, anak-anak yang mengaji kepada seorang guru terlebih dahulu akan diseleksi oleh guru yang bersangkutan. Mereka yang sudah hatam bacaan Alqurannya atau yang bacaannya sudah bagus dan fasih dianjurkan untuk mengikuti acara Namatang.
Namatang sendiri merupakan acara seremonial yang biasanya menjadi salah satu rangkaian dalam acara Maulid Nabi. Anak-anak yang sudah terpilih untuk ikut acara Namatang dipersiapkan sedemikian rupa dan dibawa ke tempat acara maulid nabi daerah setempat, biasanya di masjid atau di surau. Hal ini biasanya dilakukan sebelum uraian hikmah maulid Nabi Muhammad saw. dimulai.
Di hadapan jamaah dan tokoh agama (biasanya disebut TGH/Tuan Guru), mereka diminta untuk membaca surah-surah pendek, mulai dari surah ad-Dhuha sampai an-Nas secara bergiliran. Ketika mereka membacakan ayat-ayat tersebut, Tuan Guru akan menyimak dan membetulkan bacaan anak-anak yang Namatang tersebut bila terdapat kekeliruan. Selain sebagai simbol kemahiran anak-anak didik dalam membaca Alquran, acara seremonial ini juga sekaligus menjadi uji publik bacaan Alquran bagi anak-anak yang bersangkutan.
Acara Namatang ini menjadi kebanggaan tersendiri khususnya bagi orang tua yang anaknya ikut sebagai peserta Namatang. Maka dari itu, guna merayakan kebahagiaan karena anaknya sudah hatam Alquran, mereka mengadakan acara selametan dengan mengundang sanak keluarga dan tetangga sekitar. Kegiatan selametan seperti ini biasanya disebut dengan istilah Gawe Namatang.
Bahkan di beberapa daerah, para wali murid ini membuat sajian yang dirangkai sedemikian rupa untuk diantarkan ke rumah sang guru ngaji. Masing-masing orang tua murid membuat dua hantaran, satu untuk diantarkan kepada guru ngaji dan satunya lagi untuk Tuan Guru dan para jamaah yang hadir dalam acara Namatang (acara maulid nabi). Dalam tradisi masyarakat lombok, hantaran ini disebut sebagai Dulang Penamat.
Dulang Penamat sendiri merupakan tumpukan makanan yang disusun sedemikian rupa sehingga menjulang tinggi membentuk seperti gunung. Isinya pun bermacm-macam, terdiri dari buah-buahan, makanan kering bahkan uang kertas. Komponen-komponen Dulang Penamat tersebut disusun membentuk gunung dan dihias semenarik mungkin sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak orang.
Baca Juga: Membaca Surah-Surah Pilihan: Antara Amalan, Tradisi dan Doa
Namatang sebagai ekspresi rasa syukur
Salah satu nikmat terbesar yang dianugerahkan kepada manusia adalah nikmat iman dan Islam beserta segala hal yang menjadi wasilah untuk memahami Islam itu sendiri. Dengan demikian, bisa membaca Alquran, kitab yang merupakan sumber ajaran Islam menjadi salah satu nikmat terbesar yang wajib disyukuri oleh setiap muslim. Sebab, tak dapat dipungkiri bahwa mahir membaca Alquran merupakan tangga awal untuk selanjutnya belajar memahami lautan ilmu dan hidayah dalam kitab suci Alquran.
Dalam Kitab Ta’lim al-Mutaallim, Syaikh az-Zarnuji menjelaskan bahwa ada empat cara yang dapat dilakukan seseorang untuk mengekspresikan rasa syukur. Pertama, syukur dengan lisan, yakni dengan menyebut-nyebut nikmat Allah swt. seraya dibarengi dengan puji-pujian kepada-Nya.
Kedua, syukur dengan hati, yakni dengan meyakini bahwa nikmat yang dipreolehnya didapat dari Allah swt. Ketiga, bersyukur dengan anggota badan, yakni dengan mempergunakan tubuh fisik dan fasilitas lain yang diberikan oleh Allah untuk beribadah dan menghambakan diri kepadaNya. Terakhir adalah syukur dengan harta, yakni mempergunakan harta benda untuk brsedekah dan berinfak sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan.
Acara Namatang yang dilakukan masyarakat Lombok juga merupakan salah satu bentuk syukur atas pencapaian sang anak. Dulang Namatang yang dibuat sedemikian rupa menjadi ajang para wali murid untuk mengekspresikan syukur mereka dengan menginfakkan sebagian hartanya.
Terkait dengan syukur, menurut Syaikh Muhammad Abdul Latif Khotib dalam kitab ‘Audhah at-Tafasir, syukur itu tidak cukup diucapkan dengan lisan tetapi juga harus dengan ibadah, sedekah, puasa dan amaliah lainnya. Wallah a’lam