Kekerasan ekonomi merupakan satu di antara jenis kekerasan yang kerap terjadi pada perempuan yang berkaitan dengan masalah finansial. Melansir data dari Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa kasus kekerasan ekonomi di tahun 2024 memang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yakni 762 kasus (9,05%). Meskipun begitu, masih banyak kasus-kasus serupa lainnya yang belum dilaporkan yang menjadi tantangan dalam masyarakat.
Kekerasan ekonomi terhadap perempuan dapat terjadi di ruang publik, seperti dalam pekerjaan dan pemerintahan. Namun, kasus tersebut lebih sering terjadi di ranah domestik atau dalam rumah tangga. Di mana bentuknya bermacam-macam, dimulai dari tidak memberikan izin untuk bekerja oleh suami, mengambil penghasilan atau tabungan tanpa persetujuan pihak istri, penelantaran terhadap istrinya, merampas atau memanipulasi harta benda korban, serta memaksa istri bekerja dengan cara eksploitatif, termasuk pelacuran.
Baca Juga: Para Suami Wajib Memperlakukan Istri Dengan Baik
Upaya Islam Melenyapkan Kezaliman terhadap Perempuan
Islam mengajarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun, termasuk ekonomi adalah perbuatan yang zalim. Dalam Alquran telah diatur dan ditetapkan bahwa harta yang dimiliki oleh perempuan—baik berupa hasil usaha, warisan, pemberian dari orang lain, bahkan pemberian suaminya merupakan hak milik pribadi yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Sekalipun suami tidak memiliki hak untuk mengambil atau ikut campur atas harta, kecuali dengan izin istrinya.
Bahkan ketika seorang istri dalam status diceraikan pun, suami sama sekali tidak berhak meminta kembali apa yang telah diberikan kepada istrinya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 229:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
Dan tidaklah halal bagimu mengambil kembali apa yang telah kamu kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Mengenai sabab nuzul ayat di atas, menurut riwayat dari Ibnu Abbas bahwa di masa jahiliah seorang laki-laki boleh mengambil lagi maskawin dan lain-lain yang telah diberikannya kepada istrinya. Perbuatan itu tidak dipandang dosa. Maka Allah menurunkan firman-Nya tersebut. (HR. Abu Dawud)
Syekh Wahbah al-Zuhaili menafsirkan bahwa Allah melarang suami mengambil lagi segala pemberiannya kepada istri untuk menyengsarakannya apabila ia menalak istrinya itu. Secara khusus, Allah menyebut pemberian suami kepada istri karena, pada saat terjadi pertikaian, biasanya lelaki meminta kembali mas kawin dan perabot rumah yang telah diberikannya kepada istrinya. (Tafsir al-Munir, 2/545)
Imam al-Qurthubi (3/295-296) menambahkan, menurut jumhur ulama jika istri membayar tebusan atas talak, suami boleh mengambilnya ketika istri berbuat nusyuz. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang membolehkan pengambilan tebusan ini adalah kekhawatiran bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah lantaran masing-masing tidak suka hidup bersama pasangannya.
Baca Juga: Tafsir Surah an-Nisa Ayat 128: Menyikapi Suami Nusyuz
Sementara jika yang nusyuz pihak suami, maka ia dilarang untuk mengambil kembali sedikitpun mahar yang telah diberikan kepada istrinya. Namun, jika istrinya melakukan khulu’ (minta diceraikan dengan pengembalian mahar atau penggantinya kepada suami), maka hal itu dibolehkan, namun suami berdosa yang sebenarnya tidak dihalalkan berbuat demikian. (Tafsir Mafatih al-Ghaib, 10/13)
Dengan demikian suami tidak boleh mengambil paksa harta yang diberikan kepada istri dan menimpakan mudarat terhadap mereka. Hal ini juga sebagaimana surah an-Nisa ayat 20:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا، أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Jika kalian menghendaki menggantikan seorang istri pada posisi istri lainnya sementara kalian telah memberikan salah satu dari para istri itu harta yang banyak (sebagai mahar) maka jangan kalian ambil kembali sedikitpun harta itu. Apakah kalian akan mengambilnya dengan kezaliman dan dosa yang sangat jelas?
Dari dua ayat di atas, terdapat hikmah pelajaran bahwa ini merupakan salah satu dari upaya Islam melenyapkan semua bentuk kezaliman terhadap perempuan, dalam konteks ini kekerasan ekonomi (membatasi akses istri terhadap sumber daya finansial yang seharusnya menjadi haknya). Seraya mengembalikan semua yang menjadi hak-hak istri.
Kewajiban Suami untuk Memberikan Kesejahteraan Ekonomi
Islam mewajibkan suami untuk bertanggung jawab terhadap kesejahteraan ekonomi istri selama pernikahan dan setelah perceraian. Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah bahwa Rasul saw. menegaskan wajib bagi suami memberikan nafkah kepada istri dan larangan menelantarkan istri karena akan mengakibatkan fatal. (H.R.Muslim)
Dalam riwayat lain, dari Sayyidah Aisyah: Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah menemui Rasulullah dan mengadu, “Ya Rasullullah, sesungguhnya Abu Sufyan orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku, kecuali aku mengambil harta tanpa sepengetahuannya. Apakah hal demikian berdosa?”. Beliau bersabda, “Ambillah hartanya yang cukup untukmu dan anak-anakmu dengan baik.” (Muttafaqun ‘alaih)
Baca Juga: Hak Waris Bagi Suami Istri dan Saudara Menurut Al-Qur’an
Di masa Rasul Saw. telah terjadi kasus kekerasan ekonomi, dan Rasul saw. membela perempuan. Rasulullah dan Alquran menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang jelas untuk mengakses sumber daya ekonomi, baik dalam pernikahan maupun setelahnya. Praktik kekerasan ekonomi, seperti penahanan atau pemotongan nafkah tanpa alasan yang sah sangat bertentangan dengan ajaran Islam tentang keadilan dan perlindungan hak-hak perempuan.
Wallahu a’lam.[]