BerandaTafsir TematikPara Suami Wajib Memperlakukan Istri Dengan Baik

Para Suami Wajib Memperlakukan Istri Dengan Baik

Pernikahan merupakan prosesi sakral yang dilalui oleh sepasang manusia, yakni suami dan istri. Dalam ajaran Islam, pasangan suami istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang tidak boleh diabaikan. Hak dan kewajiban ini diamanahkan oleh Allah swt bagi keduanya untuk ditunaikan demi menjaga keharmonisan dan keutuhan rumah tangga. Salah satunya adalah para suami wajib memperlakukan istri dengan baik, begitu pula sebaliknya.

Perintah memperlakukan istri dengan baik Allah firmankan dalam QS. An-Nisa [4] ayat 19 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا ١٩

“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa [4]: ayat 19).

Baca Juga: Sebagian Karakteristik Ortografi Mushaf Utsmani

Secara umum, QS. An-Nisa [4] ayat 19 berisi dua diskursus utama, yakni: pertama, pembebasan perempuan jahiliyah – istri – dari cengkeraman kekuasaan kaum laki-laki. Sebab dahulu para janda (istri yang ditinggal suaminya) sering diakusisi secara paksa dan dirampas hak-haknya. Kedua, memuliakan perempuan sebagai partner berumah tangga secara simetris. Artinya para suami wajib memperlakukan istri dengan baik, begitu pula sebaliknya.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menuturkan, QS. An-Nisa [4] ayat 19 berkaitan erat dengan adat buruk masyarakat Jahiliyah di mana apabila seorang mati meninggalkan istri, maka anak tirinya atau salah satu keluarganya datang kepada mantan istri tersebut seraya meletakkan pakaian padanya. Ini merupakan simbolisasi bahwa yang bersangkutan lebih berhak untuk mempersuntingnya dari orang lain. Pada saat yang sama – bahkan – kebebasan perempuan itu direnggut sepenuhnya.

 Kemudian, jika mereka – anak tiri atau bagian keluarga – ingin menikahi perempuan itu, mereka tidak akan membayar mahar sama sekali dengan alasan sudah cukup dengan mahar yang dibayarkan almarhum. Yang lebih memprihatinkan, manakala mereka tidak menginginkannya, sang perempuan diabaikan hingga terluntang-lantung atau bahkan dipersulit keadaannya. Tidak jarang, untuk memperoleh kebebasan ia harus membayar dengan warisan yang ditinggalkan suaminya (Tafsir Marah Labid).

Karena alasan itulah, Allah swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal, yakni tidak dibenarkan dengan alasan apapun bagi kamu berlaku seperti perbuatan orang yang tidak beriman yang mempusakai – mewarisi – harta atau wanita dengan jalan paksa, yakni dengan memaksa. Dan janganlah kamu menyusahkan mereka, yakni membatasi gerak-gerik perempuan atau mencegah mereka menikah lagi dengan seseorang yang ia cintai (Tafsir al-Ragib).

Imam Abd al-Karim al-Qusyairi menyebutkan, penggalan awal QS. An-Nisa [4] ayat 19 tentang larangan penindasan dan pemaksaan terhadap perempuan merupakan ilustrasi dari larangan “memanfaatkan” atau mengambil keuntungan dari kaum yang lemah, karena menipu itu merupakan perbuatan tidak terpuji di sisi Allah. Siapa yang melakukan perbuatan tersebut, maka Allah swt. tidak akan memberi keberkahan dalam hidupnya dan di akhirat kelak ia akan mendapat siksa (Lathaif al-Isyarat).

Kemudian pada penggalan selanjutnya, Dan bergaullah dengan mereka secara makruf, Allah swt. mengingatkan bahwa para suami wajib memperlakukan istri dengan baik. Makruf di sini mencakup tidak mengganggu, tidak memaksa, tidak menindas, tidak menghardik, tidak kasar, tidak jahat, menghormati, menyayangi dan menghargainya secara proporsional. Makna makruf menurut sebagian ulama mendekati makna ihsan, yakni berbuat baik semaksimal mungkin (Tafsir al-Misbah).

Imam al-Qusyairi mengartikan Dan bergaullah dengan mereka secara makruf dengan makna ajarilah mereka – perempuan – pengetahuan agama, didiklah dengan adab atau etika Islam, dan temanilah dengan baik meskipun sedang dalam keadaan hati tidak senang. Selain itu, janganlah membebani pikiran mereka, jangan semena-mena memberikan tugas berkhidmat dan sebagainya serta jagalah apa yang dapat membuat mereka malu (Lathaif al-Isyarat).

Sedangkan Imam al-Qurthubi mengatakan, makna Dan bergaullah dengan mereka secara makruf adalah para suami wajib memperlakukan istri dengan baik secara proporsional sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah swt. Perintah ini berlaku kepada seluruh muslim, baik suami atau istri, termasuk juga wali mereka. Berlaku baik di sini maksudnya adalah dengan berinteraksi sesuai dengan ajaran agama dan memberikan hak-hak pasangan (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an).

Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Berkenaan tentang perintah memperlakukan dengan istri dengan baik atau makruf, Asy-Sya’rawi memiliki pandangan menarik. Menurutnya, kata makruf mengarah pada makna perlakuan baik meskipun sudah tidak cinta lagi. Ini berbeda dengan mawaddah yang berarti berbuat baik dengan penuh rasa senang dan cinta. Artinya, para suami wajib memperlakukan istri dengan baik meskipun sudah tidak cinta, terutama di penghujung usia (al-Khawatiry Haula Al-Qur’an al-Karim).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa QS. An-Nisa [4] ayat 19 perintah memuliakan dan memperlakukan istri dengan baik. Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan dan penindasan, baik fisik maupun psikis tidak dibenarkan apa pun alasannya. Perintah ini berlaku tidak hanya untuk suami kepada istri, melainkan juga sebaliknya. Suami istri wajib hidup berdampingan dan bergaul secara simetris sehingga tidak terjadi ketimpangan dan ketidakadilan. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...