Di tengah riuhnya media sosial, informasi mengalir deras bagai sungai yang tak pernah kering. Hal tersebut kiranya relevan dengan wahyu pertama Nabi Muhammad Saw., yakni iqra’! (Bacalah!), Iqra’ bukan sekadar perintah untuk melafalkan huruf, melainkan seruan untuk “membaca” alam semesta, menafsirkan tanda-tanda zaman, dan menyaring kebenaran dari samudra data.
Alquran menegaskan bahwa Allah mengajarkan manusia dengan qalam (pena), sebuah simbol peradaban yang melampaui sekadar menulis, tetapi juga mengabadikan ilmu dan membangun kesadaran. Namun, sebagaimana pena bisa digunakan untuk menuliskan kebenaran atau menyebarkan fitnah, teknologi pun memiliki dua wajah: mendidik atau menyesatkan, mencerdaskan atau membutakan. Maka, memahami makna Iqra di era digital bukan hanya tentang akses informasi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral dalam menyebarkan, menafsirkan, dan mengamalkan ilmu.
Baca Juga: Benarkah Wahyu Pertama Kali Turun Adalah Iqra’? Ini 3 Pendapat Alternatif Lain
Iqra’: Dari Gua Hira hingga Layar Gawai
Allah Swt berfirman:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajarkan (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Ibnu ‘Âsyûr (At-Tahrîr wa At-Tanwîr, juz 30, 434–435) menjelaskan bahwa perintah iqra’ merupakan awal kebangkitan literasi dan ilmu dalam peradaban Islam. Meskipun Nabi Saw. belum mengenal bacaan tertulis, Allah Swt. menunjukkan bahwa ilmu akan dimudahkan bagi beliau dan umatnya kelak akan berkembang dalam pengetahuan.
Dalam konteks dunia digital, pemikiran Ibnu ‘Âsyûr ini sangat relevan. Manusia tidak cukup hanya bisa membaca tulisan di layar, tapi juga harus bisa menganalisis, memahami, dan memilah mana informasi yang membawa manfaat dan mana yang justru menyesatkan.
Lebih jauh Ibnu ‘Âsyûr juga menegaskan bahwa Allah yang mengajarkan manusia dengan pena (‘allama bil qalam) adalah isyarat bahwa peradaban Islam harus berbasis ilmu dan literasi. Dalam dunia yang dipenuhi clickbait, hoaks, dan disinformasi, Iqra bukan hanya perintah membaca, tetapi juga perintah untuk memahami dengan bijak agar kita tidak menjadi bagian dari penyebar kebodohan.
Oleh karena itu, literasi digital dalam perspektif Ibnu ‘Âsyûr dapat dimaknai sebagai kelanjutan dari perintah iqra’, yakni: membaca bukan sekadar melafalkan, tetapi memahami dan menafsirkan informasi; ilmu adalah kunci peradaban, dan manusia bertanggung jawab atas apa yang dibacanya dan disebarkannya; Allah yang mengajarkan manusia dengan pena adalah isyarat bahwa umat Islam harus menjadi pelopor dalam ilmu, termasuk dalam era digital.
‘Ali Ash-Shabuni menambahkan bahwa (Shafwat at-Tafasir, juz3, 554–555) pena adalah simbol ilmu pengetahuan yang menjadi pilar utama peradaban Islam. Ia menekankan bahwa tanpa tulisan, ilmu tidak akan terpelihara, hikmah tidak akan terdokumentasi, dan sejarah tidak akan tersampaikan. Ia mengutip pendapat Al-Qurthubi, bahwa segala bentuk ilmu, termasuk wahyu yang diturunkan kepada para nabi, telah diwariskan melalui tulisan, sebuah sistem yang menjadi dasar bagi keberlangsungan dunia dan agama.
Jika di masa lalu pena adalah alat utama dalam mentransmisikan ilmu, maka di era digital, pena telah berevolusi menjadi layar gawai dan papan ketik. Tulisan pun kini hadir dalam bentuk unggahan di media sosial, artikel daring, dan komentar digital yang tersebar di berbagai platform. Namun, esensi perintah Iqra tetap sama: membaca bukan sekadar aktivitas mekanis, tetapi juga proses memahami, menelaah, dan menyebarkan ilmu dengan tanggung jawab.
Dengan demikian, makna pena dalam Al-‘Alaq bukan hanya tentang menulis secara fisik, tapi juga tentang bagaimana umat Islam memanfaatkan teknologi sebagai sarana menjaga ilmu dan peradaban. Jika umat Islam dahulu menjaga wahyu dengan tulisan di lembaran-lembaran, maka di era digital, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap unggahan, komentar, dan artikel yang kita sebarkan tidak keluar dari nilai-nilai kebenaran dan keadaban.
Baca Juga: Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam
Literasi Digital: Jihad Ilmu di Medan Maya
Setiap scroll, likes, atau share adalah ujian iman. Media sosial bagai pisau bermata dua: bisa menjadi alat dakwah yang menyebarkan cahaya, atau senjata yang merusak akal dan akhlak. Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, ia mendapat pahala seperti pelakunya.” (HR. Muslim).
Namun, bagaimana jika yang disebarkan justru hoak, gibah, atau konten yang memecah umat? Di sinilah prinsip iqra’ hadir sebagai tameng:
1. Baca dengan Tafsir, Bukan Hanya Judul: Sebelum membagikan berita, telusuri sumbernya. Apakah berasal dari portal terpercaya? Apakah narasinya seimbang? Allah mencela orang yang menyebar informasi tanpa verifikasi: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya.” (QS. Al-Hujurat: 6).
2. Baca dengan Hati, Bukan Hanya Emoji: Konten yang viral belum tentu benar. Sebelum ikut-ikutan mengomentari isu sensitif, renungkan: Apakah ini akan mendatangkan maslahat atau mudarat?. Kata-kata di media sosial adalah amanah; setiap hurufnya akan dimintai pertanggungjawaban.
3. Baca untuk Menginspirasi, Bukan Mengeksploitasi: Alih-alih membagikan konten clickbait yang memanfaatkan emosi, pilih konten yang mengajak pada refleksi. Contohnya: Kutipan tafsir Qur’an yang relevan dengan isu sosial. Kisah inspiratif tentang perjuangan anak yatim menggapai pendidikan. Infografis ilmiah yang mematahkan hoaks kesehatan.
Dari Konsumen ke Penjaga Peradaban
Iqra’ mengajak manusia untuk tidak sekadar menjadi penikmat pasif, tetapi produsen konten yang bertanggung jawab. Setiap Muslim adalah khalifah di bumi digital. Ketika kita membagikan ilmu, menyebarkan kebaikan, atau meluruskan kesalahan, kita sedang menegakkan misi Qur’ani, yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
Bayangkan jika setiap akun media sosial menjadi “perpustakaan mini” yang menebar hikmah. Setiap feed Instagram menjadi lembaran tafsir, setiap cuitan X (Twitter) menjadi nasihat singkat, dan setiap status Facebook menjadi pengingat akan keagungan Allah. Inilah literasi digital yang berpahala!
Baca Juga: Tafsir Iqra’: Perintah Al-Quran untuk Tanggap Literasi
Penutup: Iqra’ adalah Senjata
Perlu di ingat, di akhir zaman, Nabi Saw. menggambarkan bahwa salah satu tanda kiamat adalah ketika “ilmu diangkat, dan kebodohan merajalela.” (HR. Bukhari). Di dunia maya yang dipenuhi kebisingan, ilmu adalah cahaya yang harus dijaga. Literasi digital bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.
Alhasil, mari “mencerna” setiap informasi dengan kritis, menulis dengan hati nurani, dan menjadikan media sosial sebagai medan untuk membumikan ayat-ayat-Nya. Iqra’ ! Bacalah, telusuri, dan sebarkanlah kebenaran. Karena di balik layar, ada malaikat yang mencatat, dan Allah yang Maha Menyaksikan. Wallahu a’alam