BerandaKisah Al QuranKeteguhan Nabi Nuh Berdakwah Selama 950 Tahun

Keteguhan Nabi Nuh Berdakwah Selama 950 Tahun

Dalam sejarah para nabi, tidak ada contoh keteguhan dan kesabaran yang lebih mengesankan daripada kisah keteguhan Nabi Nuh as. Selama 950 tahun, beliau berdakwah kepada kaumnya tanpa mengenal lelah dan putus asa, meskipun respons yang diterima sangat mengecewakan. Kisah perjuangan panjang ini mengandung pelajaran luar biasa tentang kegigihan dalam menegakkan kebenaran.

Dakwah yang Tak Kenal Lelah

Allah SWT. mengabadikan rentang waktu dakwah Nabi Nuh dalam Alquran,

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلاّ خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 14).

Ibnu Katsir (6/242) menukilkan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Nuh diutus menjadi nabi ketika berusia 40 tahun, kemudian berdakwah di tengah kaumnya selama 950 tahun. Setelah banjir besar, beliau masih hidup selama 60 tahun hingga manusia kembali berkembang biak dan tersebar. Ini kontras dengan pendapat lain yang dianggap gharib (tidak umum) yang mengatakan bahwa umur total Nabi Nuh adalah 950 tahun, atau bahwa beliau berdakwah setelah berusia 350 tahun. Ibnu Katsir menegaskan bahwa pendapat Ibnu Abbas-lah yang lebih mendekati kebenaran.

Sebagai perbandingan, umur rata-rata manusia saat ini hanya sekitar 70-80 tahun. Artinya, Nabi Nuh berdakwah selama lebih dari 10 kali lipat umur manusia modern. Menariknya, Alquran tidak menyebutkan bahwa Nabi Nuh pernah mengeluh atau merasa putus asa selama rentang waktu yang sangat panjang tersebut.

Baca Juga: Doa Nabi Nuh ketika Berlayar di Kapal yang Diajarkan Allah

Strategi Dakwah yang Komprehensif

Nabi Nuh menggunakan berbagai metode dalam dakwahnya, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran,

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.’” (QS. Nuh [71]: 5-7).

Al-Maraghi (29/82–83) menjelaskan bahwa Nabi Nuh mengadukan kepada Allah bagaimana ia telah bersungguh-sungguh menyeru kaumnya siang dan malam tanpa henti, menjalankan perintah Allah dengan tekun. Namun, setiap kali beliau mengajak mereka untuk mendekati kebenaran, mereka justru lari menjauh dan berpaling.

Ayat ini juga menggambarkan sikap keras kepala kaumnya dengan tiga tindakan penolakan, yaitu menutup telinga dengan jari-jari (agar tidak mendengar), menutupi diri dengan pakaian (agar tidak melihat), dan bersikeras dalam kekafiran dengan sikap sombong yang berlebihan. Mereka melakukan ini setiap kali Nabi Nuh mengajak mereka untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa.

Al-Maraghi menguraikan bahwa Nabi Nuh menggunakan tiga pendekatan utama dalam dakwahnya:

  1. Memulai dengan nasihat secara rahasia (secara personal)
  2. Menyeru secara terang-terangan (di depan umum)
  3. Menggabungkan antara seruan terang-terangan dan sembunyi-sembunyi

Al-Maraghi juga menjelaskan bahwa Nabi Nuh tidak hanya menyeru kaumnya untuk beriman, tetapi juga menyampaikan motivasi duniawi jika mereka beriman: pertama, Allah akan menurunkan hujan yang berlimpah; Kedua, Allah akan menambah harta benda mereka; dan ketiga, Allah akan memperbanyak keturunan mereka.

Strategi komprehensif ini menunjukkan keinginan kuat Nabi Nuh untuk menyelamatkan kaumnya. Namun, meskipun telah berusaha selama hampir satu milenium dengan berbagai pendekatan, hasilnya tetap sangat minim.

Baca Juga: Nabi Nuh dan Gelar ‘Hamba yang Bersyukur’

Titik Balik: Doa kepada Allah

Setelah berdakwah selama 950 tahun dengan hasil yang sangat minim, Nabi Nuh akhirnya berdoa kepada Allah:

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.’” (QS. Nuh [71]: 26-27).

Ibnu Ashur (29/214) menjelaskan bahwa kalimat “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu” merupakan alasan permintaan Nabi Nuh. Beliau khawatir mereka akan menyesatkan sebagian orang beriman dan akan melahirkan anak-anak yang tumbuh dalam kekafiran.

Doa ini muncul setelah Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa tidak akan ada lagi dari kaumnya yang beriman selain yang telah beriman. Ini adalah bukti bahwa Nabi Nuh tidak berdoa untuk kehancuran kaumnya kecuali setelah mengetahui dengan pasti—melalui wahyu dari Allah—bahwa tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk beriman.

Ibnu Ashur juga menyebutkan bahwa Nabi Nuh mengetahui bahwa kaumnya hanya akan melahirkan anak-anak yang fasik dan kafir berdasarkan pengalaman dan pengamatan beliau.

Beliau menggunakan pernyataan “tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir” karena melihat bagaimana anak-anak tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekafiran dan penolakan terhadap kebenaran. Menurut Ibnu Ashur, “fajir” (fasik) berarti orang yang melakukan perbuatan buruk yang parah, sedangkan “kaffar” adalah bentuk hiperbola dari kata “kafir”, artinya yang sangat kafir.

Ibnu Ashur juga membahas apakah banjir tersebut menimpa seluruh bumi atau hanya wilayah tempat kaum Nabi Nuh tinggal. Beliau menyebutkan bahwa ada kemungkinan manusia pada masa itu hanya terbatas pada kaum Nabi Nuh, meskipun juga mungkin tidak demikian. Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan ini, bisa jadi banjir tersebut menutupi seluruh permukaan bumi, atau hanya mencakup wilayah besar tempat kaum Nabi Nuh tinggal.

Baca Juga: Isyarat Kreativitas Manusia dalam Kisah Nabi Nuh

Penutup: Pelajaran dari Keteguhan Nabi Nuh

Kisah perjuangan Nabi Nuh memberikan pelajaran berharga tentang keteguhan dalam menegakkan kebenaran. Di era modern yang serba cepat dan berorientasi pada hasil instan, menjadi pengingat penting bahwa upaya menegakkan kebenaran seringkali membutuhkan waktu panjang dan kesabaran luar biasa.

Konsistensi Nabi Nuh dalam menyampaikan pesan yang sama selama 950 tahun mengajarkan bahwa kebenaran tidak perlu diubah atau dikompromikan untuk menarik pengikut. Kebenaran tetap kebenaran, terlepas dari berapa banyak orang yang menerimanya.

Fleksibilitas Nabi Nuh dalam metode penyampaian mengajarkan bahwa kita perlu adaptif dalam cara menyampaikan kebenaran, meskipun tetap teguh pada prinsip dan isi pesannya. Beliau menggunakan pendekatan personal dan pendekatan massal, pendekatan spiritual dan pendekatan material, semua demi menyelamatkan kaumnya.

Doa Nabi Nuh di akhir masa dakwahnya mengajarkan bahwa ada batasnya ketika dialog dan pendekatan persuasif harus diakhiri, yaitu ketika telah jelas bahwa pihak yang didakwahi telah tertutup total dari kebenaran dan berpotensi menyebarkan kerusakan yang lebih besar. Ini adalah kebijaksanaan yang penting dalam konteks dakwah.

Keteguhan Nabi Nuh dalam berdakwah selama 950 tahun merupakan teladan tertinggi tentang kesabaran, kegigihan, dan ketabahan dalam menegakkan kebenaran. Perjuangan panjang Nabi Nuh mengingatkan kita bahwa menegakkan kebenaran bukan tentang kesuksesan instan atau pengakuan massal, melainkan tentang keteguhan hati dan kesetiaan pada prinsip.

Muhammad Arsyad
Muhammad Arsyad
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin. Akun Ig: @arsyadmodh.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Kisah Nabi Musa dan Harun: Solusi Menghadapi Rasa Khawatir

0
Setiap manusia pasti pernah merasa khawatir. Perasaan tersebut muncul saat menghadapi hal-hal yang tidak pasti, seperti: pekerjaan, masa depan, keputusan penting, atau bahkan hal-hal...