Tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup di era teknologi dan komunikasi yang canggih. Kehidupan masa kini pun mengalami perubahan signifikan. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi masyarakat adalah media sosial. Pada dasarnya, media sosial berfungsi sebagai platform yang memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dan sebagai sarana berjualan. Akan tetapi, nyatanya, banyak masyarakat yang menjadikan media sebagai ajang pamer kekayaan. Perilaku seperti itu sedang marak dan disebut sebagai fenomena flexing. (Mutmainnah, Fenomena Flexing Dalam Ekonomi Islam, 32)
Baca juga: Sikap Alquran Terhadap Flexing Culture
Bahaya Flexing bagi Kehidupan Bermasyarakat
Flexing dalam konteks masa kini diartikan sebagai kebiasaan untuk memamerkan harta benda khususnya di media sosial. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya mengaitkan fenomena ini dengan kata bagha, yang berarti melampaui batas atau berbuat zalim. Kata ini dapat merujuk pada kesombongan seseorang akibat harta yang dimilikinya atau bisa disebut dengan riya’ (pamer). (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, jilid 20, 160)
Quraish Shihab berpendapat bahwa flexing adalah perlakuan untuk memamerkan harta dengan tujuan mendapat pujian dari orang lain. (Fikri, Fenomena Flexing perspektif al-Qur’an, 38)
Pada dasarnya, popularitas bisa diraih ketika seseorang mampu menunjukkan nilai yang dimilikinya. Kelebihan yang diperoleh melalui kerja keras akan membangun personal branding secara alami. Namun, kenyataannya justru terbalik, banyak yang berusaha menampilkan kekayaan instan demi validasi sosial. Cara yang digunakan seringkali juga tidak sehat, bahkan ada yang berhutang hanya untuk menampilkan kemewahan yang semu. Hal ini membuktikan bahwa flexing memiliki dampak negatif serius yang perlu disadari oleh masyarakat.
Menariknya, fenomena ini bukanlah hal baru. Sejarah bahkan mencatat bagaimana kisah Fir’aun dan Qarun berakhir tragis. Dua tokoh terdahulu tersebut dihukum Allah akibat kesombongan yang lahir dari perilaku flexing. Kisah ini tercatat dalam surah al-Qashash. Fir’aun disebutkan dalam ayat 38 dan Qarun pada ayat 77. Berikut bunyi ayat-ayat tersebut:
Kesombongan Fir’aun:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِى فَأَوْقِدْ لِى يَٰهَٰمَٰنُ عَلَى ٱلطِّينِ فَٱجْعَل لِّى صَرْحًا لَّعَلِّىٓ أَطَّلِعُ إِلَىٰٓ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّى لَأَظُنُّهُۥ مِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ
“Dan Fir’aun berkata: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.”
Dalam al-Munir karya Wahbah Zuhaili ayat tersebut menceritakan tentang pengakuan Fir’aun sebagai tuhan yang patut disembah oleh rakyatnya karena keperkasaannya sebagai seorang raja. Bahkan dialog Fira’un dan Musa menandakan tentang penafian Tuhan selain dirinya. Menurut ar-Razi, pengakuan Fir’aun sebagai Tuhan tidak mengharuskannya untuk bisa menciptakan sesuatu, melainkan keharusan untuk mengagungkan dan menyembahnya secara mutlak. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 10, 387)
Kesombongan Qarun:
اِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسٰى فَبَغٰى عَلَيْهِمْۖ وَاٰتَيْنٰهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَآ اِنَّ مَفَاتِحَهٗ لَتَنُوْۤاُ بِالْعُصْبَةِ اُولِى الْقُوَّةِ اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ
“Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku aniaya terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”
Begitupun Qarun yang juga berbuat Zalim kepada sanak saudaranya untuk mengikuti setiap perintah. Saat penasehat datang dari kalangan bani Israil, Qarun menyombongkan harta dan keilmuwannya bahwa semua yang dilakukan adalah hasil kerja kerasnya bukan atas bantuan Allah Swt. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid 10, 427)
Dari dua contoh di atas kita bisa mengambil benang merah larangan untuk melakukan flexing dari segi jabatan, harta atau yang lain dengan meniatkan diri untuk dipandang tinggi. Sifat yang akan timbul setelah flexing adalah sifat sombong. Allah sangat membenci sifat sombong karena seseorang akan merasa kuat tanpa bantuan Allah serta makhluk lain. Larangan sifat sombong terletak pada surah Luqman ayat 18 yang berbunyi:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ
“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”
Ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan tentang bahaya flexing bagi kehidupan sosial masyarakat.
- Masyarakat akan menjadikan tolak ukur kebahagiaan berupa hal yang tampak yakni harta. Penampakan masyarakat yang terlalu berfokus pada harta akan menjadikan seseorang yang tidak memiliki harta melimpah dan barang mewah akan dipandang sebelah mata.
- Memberikan pendidikan buruk pada seseorang untuk menjadi konsumtif. Seorang yang flexing akan membeli barang yang diinginkan bukan dibutuhkan untuk mendapat validasi dari orang yang melihatnya.
- Dampak buruk terbesar adalah melakukan praktik apapun untuk mendapat banyak harta. Seorang yang sudah memiliki sifat pamer dalam dirinya akan membenarkan segala cara untuk mendukung mendapatkan harta yang diinginkan
Perbedaan Flexing dan Tahadduts bin Ni’mah
Manusia zaman sekarang perlu mengembangkan sifat yang dapat melawan budaya flexing yang berujung pada kesombongan. Salah satu sifat yang diajarkan dalam Alquran adalah tahadus bi al-ni’mah (menyebut-nyebut nikmat dengan rasa syukur), sebagaimana tercantum dalam surat al-Dhuha ayat 11:
وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).”
Dalam kitab Mafatih al-Ghaib karya Fakrudin al-Razi dijelaskan bahwasanya tahadus bi al-Ni’mah merupakan pengagungan atas nikmat yang diberikan oleh Allah tanpa melibatkan unsur riya’ atau sombong. Menyampaikan nikmat juga bertujuan sebagai teladan, agar orang lain terdorong untuk meneladani kebaikan tersebut.
Seperti kisah Ali bin Abi Thalib yang menceritakan tentang keutamaan para sahabatnya. Kemudian ada seseorang yang berkata “ceritakanlah tentang dirimu.” Ali pun menjawab “Sungguh Allah melarang memuji dirinya sendiri.” Kemudian orang itu berkata “bukankah Allah telah berfirman” “Dan terhadap nikmat tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan?” Maka Ali pun menjawab keutamaan yang dimiliki olehnya. (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 31, 201)
Perbedaan mendasar antara flexing dan tahadus bi al-ni’mah terletak pada sikap hati dan pengakuan atas sumber nikmat. Flexing berpusat pada diri sendiri, seolah-olah kesuksesan murni hasil usaha pribadi, sementara tahadus bi al-ni’mah selalu melibatkan Allah sebagai pemberi nikmat, sehingga dapat menghilangkan kesombongan.
Kesimpulannya, tahadus bi al-ni’mah tidak hanya mengurangi kebanggan diri, bahkan bisa menghapusnya, karena semua kenikmatan yang diperoleh diyakini milik Allah semata. Dengan demikian, menyebut nikmat justru menjadi sarana untuk bersyukur bukan ajang untuk pamer atas apa yang didapatkan.