Alunan nada dan irama telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban manusia. Dari lantunan pengantar tidur hingga dentuman pesta ria, musik hadir mewarnai berbagai aspek kehidupan. Namun, ketika kita menelisik pandangan Islam, khususnya yang bersumber dari kitab suci Alquran, tentang seni suara ini, sebuah diskusi panjang dan terkadang penuh perbedaan pendapat mencuat.
Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana sebenarnya Alquran memandang musik? Apakah ada ayat-ayat yang secara eksplisit melarang atau membolehkannya? Artikel ini mengajak Anda untuk menyingkap tabir kontroversi seputar hukum musik dalam bingkai tafsir Alquran.
Kita akan menyelami berbagai pandangan yang berkembang di kalangan ulama, menelusuri ayat-ayat yang seringkali menjadi landasan argumentasi, dan mencoba memahami secara lebih mendalam bagaimana seni yang universal ini diposisikan dalam ajaran Islam.
Menelusuri Jejak Ayat: Landasan Interpretasi Larangan Musik dalam Alquran
Ketika mencari jawaban atas pertanyaan tentang status musik dalam Islam melalui Alquran, kita akan mendapati bahwa tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit dan tegas mengharamkan atau menghalalkannya dengan menyebut kata “musik” secara langsung. Justru, perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama bertumpu pada interpretasi (tafsir) terhadap beberapa ayat yang dianggap memiliki korelasi dengan topik ini.
Berikut merupakan ayat yang sering menjadi sorotan.
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan (Q.S. Luqman: 6).
Baca juga: Pandangan Imam al-Ghazali Mengenai Musik dan Nyanyian
Lafadz lahwul hadith (لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ) inilah yang menjadi perbedaan pendapat dalam pemaknaannya dan meyebabkan banyaknya terjadi perdebatan. Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lahwul hadith (perkataan tidak berguna) adalah nyanyian.
Mereka berpendapat bahwa hal-hal tersebut dapat melalaikan seseorang dari mengingat Allah dan cenderung mengarah pada perbuatan yang sia-sia, bahkan dosa. Penafsiran ini kemudian menjadi salah satu landasan utama bagi pandangan yang mengharamkan sebagian atau seluruh jenis musik.
Terdapat juga penafsiran lain dari lafadz “lahwul hadith” ini di kalangan ulama. Beberapa ulama berpendapat bahwa yang dimaksud bukanlah semata-mata nyanyian, melainkan segala bentuk perkataan yang batil, dusta, dan tidak bermanfaat.
Memahami Dalil-dalil yang Mendasari Pandangan Permisif Terhadap Musik
Ayat Alquran yang dijadikan landasan dalil oleh orang-orang yang memperbolehkan musik dan lagu adalah dalam Q.S. Al-A’raf: 157 berikut.
وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ ٱلْخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ…
… Dan (Nabi) yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…
Ulama menafsirkan kata “ṭayyibat” sebagai segala sesuatu yang baik, menyenangkan, dan tidak mengandung unsur keburukan atau kemudaratan. Jika musik dan lagu tidak mengandung lirik yang buruk, tidak melalaikan dari kewajiban agama, dan tidak mendorong pada perbuatan maksiat, maka ia termasuk dalam kategori “ṭayyibat”.
Penggunaan Q.S. Al-A’raf: 157 ini menunjukkan adanya upaya dari sebagian ulama untuk mencari landasan pembolehan musik dalam prinsip-prinsip umum Alquran yang menghalalkan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat.
Baca juga: Tafsir Surah asy-Syu’ara dan Polemik Hukum Musik
Terdapat juga hadis sahih yang menerangkan bahwa bolehnya mendengar dan menyanyikan lagu. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang nyanyian di rumah Aisyah r.a., dan Rasulullah saw. berada di situ.
Berikut kisahnya. Suatu hari Abu Bakar r.a. masuk ke rumah Rasul. Di sana ada dua jariyah yang sedang bernyanyi dengan memainkan rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedangkan Rasulullah terhalang oleh tirainya. Abu Bakar melarang keduanya, sehingga rasulullah membuka tirai sambil bersabda:
دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ
“Wahai Abu Bakar, biarkanlah mereka (bernyanyi), karena hari ini adalah hari Id (hari raya).
Hadis tentang nyanyian di rumah Aisyah ini menjadi salah satu pilar penting bagi pandangan yang membolehkan musik dan nyanyian dengan batasan-batasan yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Ia menunjukkan adanya fleksibilitas dalam Islam terkait hiburan yang sehat dan tidak melanggar nilai-nilai agama.
Kesimpulan
Hadis tentang nyanyian di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha pada hari raya menjadi dalil kuat bagi pandangan yang membolehkan, menunjukkan bahwa dalam konteks yang tepat dan dengan batasan tertentu, mendengarkan dan menyanyikan lagu diperbolehkan. Namun, para ulama yang membolehkan tetap memberikan syarat-syarat yang ketat, seperti lirik yang baik, tidak melalaikan kewajiban, tidak bercampur dengan kemaksiatan, dan niat yang baik.
Dengan demikian, isu hukum musik adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Kedua pandangan memiliki argumentasi dan dalil masing-masing. Umat Islam dianjurkan untuk menghormati perbedaan ini, memahami dasar dari setiap pandangan, dan memilih pendapat yang diyakini kebenarannya berdasarkan ilmu dan pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil syariat.