BerandaTafsir TematikTafsir Surah asy-Syu’ara dan Polemik Hukum Musik

Tafsir Surah asy-Syu’ara dan Polemik Hukum Musik

Akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di media sosial mengenai hukum musik. Pasalnya, ceramah Ustadz Adi Hidayat yang mengatakan bahwa surah asy-Syu’ara sebagai surah para pemusik menghebohkan sebagian pihak. Ada yang setuju, dan ada yang berpendapat sebaliknya.

Jika menelaah penafsiran beberapa ayat dalam surah asy-Syu’ara, memang benar bahwa ada ayat di surah tersebut yang ditafsiri dengan kesan sebagai dalil pengharaman musik, dan ada pula ayat yang dipahami sebagai argumentasi membolehkan musik. Kali ini tidak untuk adu kuat antara argumentasi yang membolehkan dan yang melarang musik, nemun lebih kepada eksplorasi pendapat yang beragam, yang tidak hanya satu.

Baca Juga: Memahami Alquran Melalui Sinematografi

Makna Syair dan Musik

Menurut buku Transformasi Syair Jauharat at-Tauhid di Nusantara, syair merupakan salah satu bentuk puisi. Dalam bahasa Arab, ia disebut dengab syu’ur yang bermakna perasaan. Dari kata syu’ur ini muncul lagi makna puisi dalam pengertian umum.

Biasanya bentuk syair diakhiri dengan rima akhir a/a/a/a atau a/a/b. Adapun menurut Lailatuz Zahroh dalam penelitiannya tentang syair di Universitas Airlangga menyatakan bahwa syair atau syi’r adalah ucapan atau tulisan yang memiliki irama dan sajak serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang lebih dominan.

Menurut Teungku M. Hasby Ash-Shiddiqy dalam tafsir Al-Qur’anul Majid (Jilid 3/h. 272) dan dalam kitab At-Tahrir wat Tanwir (Jilid 19/h. 89) karya Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa asy-syu’ara memiliki makna para penyair.

Adapun musik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi dan hubungan temporal sehingga menghasilkan irama, lagu, dan keharmonisan. Dalam buku Musik dan Pembelajaran (2016), Halimah juga menyebut bahwa sesuatu dikatakan musik jika memiliki 3 komponen, yaitu bit, irama atau ritme dan harmoni. Sehingga dari kedua makna ini ada sebagian pihak yang menyamakan antara syair dan musik karena keduanya sama-sama memiliki irama.

Baca Juga: Hukum Mengidolakan Artis Nonmuslim

Argumentasi Pengharaman Musik

Memang tidak ada satu pun ayat Alquran yang secara tegas menyebut istilah musik, alat musik, lagu maupun nyanyian. Dalil terkait dengan musik dalam Alquran umumnya bersifat penafsiran. Seperti halnya penafsiran firman Allah swt., surah asy-Syu’ara ayat 224,

وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلۡغَاوُۥنَ

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (Q.S. asy-Syu’ara [26]: 224).

Tidak ada istilah musik yang disebutkan Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat di atas, namun demikian, beliau mengutip hadis riwayat Imam Ahmad yang mengecam seseorang yang sedang menyenandungkan sebuah syair. Bahkan dalam hadis tersebut dikatakan lebih baik tenggorokan seseorang terisi dengan nanah daripada terisi dengan syair. (Tafsir Ibnu Katsir/Jilid 6/h. 193). Sedang kata “senandung/menyenandungkan” di atas menurtu KBBI bermakna nyanyian atau alunan lagu.

Pengharaman musik yang merujuk pada ayat Alquran juga dapat dicermati dari tafsir surah Luqman ayat 6 (Tafsir Ibnu Katsir/Jilid 6/h. 395) yang menyebutkan bahwa ada sekelompok manusia yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahw al-ḥadīṣ) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah swt. Perkataan yang tidak berguna itulah menurut Ibnu Katsir sebagai sebuah lagu.

Selain itu, pengharaman musik ini juga didapat dari beberapa hadis, seperti hadis al-Bukhari dalam Fathul Bari (Jilid 10, h. 51), hadis al-Baihaqi dalam Sunan Baihaqi (Jilid 10, h. 221) dan hadis Ibnu Hibban dalam kitab at Tali’qatul Hisan no. 6719.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh sahabat Ibnu Abbas dalam kitab Tahrim Alatith Tharb (h. 92). Begitu juga dengan Imam Malik dalam kitab Mughni al Muhtaj (Jilid 3, h. 2), dan Imam Abu Hanifah dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin (h. 268) yang memandang musik sebagai perbuatan dosa.

Baca Juga: Syair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran

Argumentasi Membolehkan Syair dan Musik

Di samping tafsiran ayat, hadis dan beberapa pendapat ulama di atas terkesan belum cukup tuntas untuk menganggap bahwa musik itu mutlak diharamkan. Sebab jika dikaji lebih lanjut dan disamakan pemaknaan antara syair dan musik sesuai pembahasan di atas, tentu akan ditemukan bahwa terdapat penyair yang justru dipuji oleh Nabi Muhammad saw. sekaligus dikecualikan dari ayat yang mencela para penyair.

Salah satu argumentasinya adalah penafsiran di surah yang sama, yaitu surah asy-Syu’ara ayat 227,

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَذَكَرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرا وَٱنتَصَرُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا ظُلِمُواْۗ … ٢٢٧

“Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal saleh serta banyak menyebut Allah dan mendpat kemenangan sesudah menderita kezaliman…” (QS. asy-Syu’ara [26]: 227).

Ayat 227 ini merupakan lanjutan dari kecaman terhadap penyair (disamakan dengan pemusik) pada ayat sebelumnya. Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zhilalil Quran (Jilid 8/h. 375) menyebut bahwa penyair yang digambarkan dalam ayat ini adalah penyair yang berdiri di atas akidah dan manhaj yang lurus. Mereka beramal saleh dan masuk dalam kategori pejuang Islam, di antaranya adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan Ibnu Rawahah. Bahkan Rasulullah Saw. pernah memerintahkan kepada Hasan bin Tsabit untuk menyerang kaum kafir dengan syairnya dan mengatakan bahwa Jibril membersamainya.

Begitu juga menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah, penyair yang dimaksud dalam ayat ini merupakan penyair yang syairnya digunakan sebagai sarana untuk mempertahankan kebenaran.

Dalam buku Hakekat Tasawuf (h. 130) karya Abdul Qadir Isa dikisahkan ada seorang penyair di zaman Nabi Saw. bernama Amir bin Akwa. Ketika itu beliau sedang membersamai Nabi Muhammad saw. menuju Khaibar.  Dalam perjalanan, beliau melantunkan sebuah syair. Kemudian Rasulullah saw. mendoakannya agar ia mendapat rahmat.

Melihat ada pengecualian terhadap kecaman terhadap para penyair (disamakan dengan pemusik), maka beberapa ulama ada yang membolehkan hukum musik tersebut. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin bab Sima’ wal Wajd menyatakan bahwa pengharaman musik ini bukan pada musik atau alatnya. Melainkan karena ada “sesuatu yang lain”, seperti kemaksiatan yang identik diiringi dengan musik.

Dalam kitab Kaf al-Ria’ (h. 273) disebutkan bahwa beberapa sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Mughirah bin Syu’bah ialah sahabat yang suka mendengarkan musik, sehingga dari sini hukum musik/syair terbagi menjadi dua.

Jika musik itu digunakan untuk sarana kemaksiatan dan melalaikan dari perintah Allah swt. maka jelas hukumnya haram. Begitu juga sebaliknya, jika ia sebagai sarana pengingat dan nasihat (kebaikan) maka hukumnya diperbolehkan. Inilah pendapat Syekh Yusuf al Qardhawi dalam Fatwa-fatwa Muta’akhirin (h. 871)

Demikian sedikit ulasan tentang syair dan musik. Pembahasan ini memang cenderung menyamakan antara syair dan musik. Sebab keduanya sama-sama memiliki irama. Terlepas dari pemaknaan tersebut, hendaknya sebagai umat Islam memiliki sikap yang moderat dan bijaksana. Jangan sampai perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang pemaknaan dan hukum musik dijadikan sebagai alat untuk berpecah belah. Segala perbedaan tersebut hendaknya dijadikan sebagai bukti betapa luasnya khazanah Islam dan fleksibelnya hukum Islam. Wallahu a’lam.

Ahmad Riyadh Maulidi
Ahmad Riyadh Maulidi
Mahasiswa S2 UIN Antasari Banjarmasin
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tafsir tentang laut yang tidak bercampur

Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

0
Alquran bukan sekadar kitab petunjuk spiritual, tetapi juga lumbung keajaiban yang terus mengundang rasa ingin tahu. Salah satu ayatnya, yang membahas tentang "laut yang...