BerandaUlumul QuranSyair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran

Syair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran

Syair merupakan produk kebudayaan sangat luhur yang dicapai oleh bangsa Arab. Tidak syak lagi jika Al-Quran turun di tanah Arab, bangsa Arab, sebuah bangsa yang telah mencapai titik termatang dalam kesusastraannya. Syair Arab sendiri jika ditinjau dari masanya terbagi menjadi tujuh; Jahili, Islami, Umawi, Abbasi, Andalusi, Pertengahan (Wustha), dan Modern (Husain, 2018). Namun, tulisan kali ini hanya akan menyoal masa pertama syair Arab; Jahili, dan kaitannya dengan Al-Quran.

Syair Jahili

Dimulai dari pertanyaan kapan rentang waktu yang disebut dengan masa Jahili? Al-Jahizh dalam al-Hayawan menakrifkan masa Jahili sebagai masa yang terentang seratus lima puluh tahun sampai dua ratus tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai seorang nabi dan rasul. Lalu orang pertama yang mentradisikannya, tutur al-Jahiz, ialah Imru’ al-Qais ibn Hajar atau Muhalhal bin Rabi’ah al-Taghlibiy. Namun, Ibn Salam dalam Thabaqat Fuhul al-Syu’ara` menyebutkan nama terakhir tersebut sebagai pelopor syair Jahili.

Secara istilah, syi’r (atau syair) adalah ungkapan yang berwazan (satu metrum) dan be-qafiyah (satu rima) yang mengungkapkan keindahan imajinasi dan penggambaran yang mengesankan. Sama seperti istilah guru lagu dan guru gatra dalam tetembangan Jawa. Sehingga, jika diperhatikan menurut klasifikasi syair formal Yunani, maka syair Arab tampak sangat lyrical bila dibandingkan dengan syair Yunani yang lebih naratif dan cenderung dramatik (Fadlil, 2011).

Baca Juga: Benarkah Syair Itu Haram? Simak Penafsiran Surat Yasin Ayat 69

Penyair Mesir yang dijuluki Amir al-Syu’ara`, Ahmad Syauqi, dalam al-Syauqiyat mensyaratkan tiga hal agar suatu ungkapan tersebut disebut sebagai syair. Tidak cukup berwazan dan ber-qafiyah, tapi syair juga harus memuat al-dzikra (impresi), al-‘athifah (afeksi) dan al-hikmah (kebijaksanaan).

Dahulu, untuk mengukur tingkat intelektualitas seseorang pada zaman itu, kepiawaian dalam membuat syair adalah parameter utama. Baru kemudian pengetahuan nasab dan ilmu perbintangan (nujum) menjadi parameter yang lain, sebagaimana yang dikatakan Azis Fachrudin dalam Linguistik Arab (2021).

Lebih jauh, Ibn Rasyiq dalam al-‘Umdah (1934) menyebutkan kebiasaan bangsa Arab yang sangat bangga ketika ada seorang penyair lahir dari kabilahnya. Lantas, mereka akan mendatangi rumahnya, membikinkan aneka makanan, membawa gadis-gadis mereka untuk bermain alat musik semacam kecapi di hadapannya, peris seperti yang mereka lakukan kepada seorang pengantin baru. Dengan kata lain, seorang penyair adalah layaknya intan permata yang dimiliki oleh suatu kabilah, saking tingginya prestise seorang penyair.

Baca Juga: Ragam Qiraat Sebagai Hujah Kebahasaan, Antara Mazhab Basrah dan Kufah

Syair dan Autentisitas Bahasa

Pada bagian lain dalam al-Hayawan, al-Jahizh kemudian menuturkan bahwa keluhuran setiap bangsa itu dapat dilihat dari seberapa lamanya tradisi dan budaya umat tersebut dijaga dan berlangsung dari masa ke masa. Dan bangsa Arab, dengan tradisi Jahilinya—termasuk kebahasaannya yang adiluhung—masih terjaga dalam syair-syair bermetrum dan berima. Itulah diwan (catatan sejarah) bangsa Arab.

Hingga Allah menurunkan kalam-Nya ke dunia dalam bahasa terbaik sezamannya, bahasa Arab, dan kepada utusannya, Nabi Muhammad, seorang pemuda Quraisy, kaum yang memiliki bahasa terbaik itu. Tamam sudah!

Berkat adanya Al-Quran, bahasa mereka terwarisi hingga kini. Tak hanya sebagai perekam, bahkan Al-Quran dalam konteks ini menjadi sebuah agen budaya. Dan dengan adanya syair-syair Jahili yang banyak diriwayatkan dalam literatur klasik, kosakata dalam Al-Quran dapat ditafsirkan (Azis, 2021).

Tak mengherankan jika kemudian para ulama mensyaratkan seorang mufasir menguasai bahasa Arab, mulai seluk-beluknya, detail-detailnya hingga asrar-asrarnya. Dan seorang mufasir tak akan sampai pada tingkatan tersebut tanpa mempelajari syair-syair yang menjadi diwan-nya bangsa Arab. Sebagaimana yang dikatakan Imam Malik, “seseorang yang ingin menafsirkan Kitabullah, maka ia harus benar-benar mumpuni dalam bahasa Arab.”

Walhasil, semakin luas pengetahuan seorang mufasir tentang lisanul ‘arab—bahasa Arab, maka semakin banyak ia mencerap pengetahuan dari kandungan Al-Quran. Senada dengan itu, al-Syathibi dalam al-Muwafaqat mengatakan, “barangsiapa ingin memahami Al-Quran, maka hanya satu cara, yaitu melalui lisanul ‘arab. Tiada jalan memahaminya kecuali dengan cara tersebut.”

Baca Juga: Ayat-Ayat ‘Lucu’ Musailamah Al-Kadzdzab dalam ‘Menjawab’ Tantangan Al-Quran

Syair dan Penafsiran Al-Quran

Dalil atau hujah yang dipakai untuk menafsirkan Al-Quran dengan syair adalah riwayat Sayyidina Umar dengan seorang badui. Kala itu, Sayyidina Umar berdiri di atas mimbar. Lalu ada seseorang yang bertanya apa makna kata takhawwuf dalam al-Nahl [16]: 47

اَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلٰى تَخَوُّفٍۗ فَاِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Kemudian berdirilah seorang badui paruh baya dari bani Huzail dan berkata; “al-takhawwuf adalah bahasa kami, yang berarti al-tanaqqush (berkurang sedikit demi sedikit).”

Kemudian Sayyidina Umar bertanya lagi, “Apakah orang Arab mengetahui itu dalam syair-syair mereka?”

“Iya,” jawab Badui, kemudian melanjutkan, “penyair kami bernama Abu Kabir menyifati untanya begini..

تَخَوَّفَ الرَّحْلُ مِنْهَا تَامِكًا قَرِدًا * كَمَا تَخَوَّفَ عُوْدُ النَّبْعَةِ السَّفِنُ

Lalu Sayyidina Umar berseru; “Wahai manusia, peganglah diwan syair-syair Jahili kalian. Karena di dalamnya ada tafsir bagi kitab kalian dan makna-makna kalam kalian.”

Kemudian di antara para mufasir, Ibn Abbas adalah seorang mufasir yang paling banyak merujuk pada syair-syair Jahili. Keterangan tersebut dikatakan oleh muridnya, Ikrimah, bahwa ia tak pernah mendengar gurunya itu, Ibn Abbas, menafsirkan ayat Al-Quran kecuali merujuk syair-syair meski satu bait. Dan ia menyitir pernyataan Ibn Abbas begini, “jika kalian kesulitan dalam menafsirkan ayat Al-Quran, maka carilah dalam syair. Karena sesungguhnya ia merupakan diwan (bangsa) Arab.”

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, ada perselisihan di kalangan ulama tentang keabsahan syair sebagai rujukan untuk menafsirkan Al-Quran. Perselisihan tersebut kemudian membagi dua pendapat yang saling bertentangan satu sama lain, pro dan kontra. Wallahu a’lam.

Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari, Santri Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta. Minat pada kajian keislaman. Bisa disapa di Twitter (@ath_anwari)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...