Belakangan ini, publik dikejutkan oleh berbagai kisah tragis yang tersebar luas di media sosial: nenek mencuri bawang karena terpaksa, ibu mencuri susu formula untuk anaknya, ayah mengambil beras dari toko karena tak sanggup melihat anaknya kelaparan, atau remaja mencuri makanan karena tak punya keluarga dan tempat tinggal.
Mirisnya, kasus-kasus ini tak jarang langsung diseret ke ranah hukum tanpa diselami alasan di baliknya. Masyarakat terburu-buru menghakimi, padahal sering kali pencurian itu dilakukan karena terpaksa demi bertahan hidup.
Fenomena pencurian karena kebutuhan mendesak atau keterpaksaan bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah cermin dari kegagalan sistem sosial. Ketika seseorang mencuri demi sesuap nasi, pertanyaannya bukan hanya “mengapa mencuri?”, tapi juga “di mana kita saat mereka kelaparan sehingga terpaksa mencuri?”
Dalam realitas sosial hari ini, kemiskinan struktural, minimnya jaminan sosial, dan ketimpangan ekonomi menjadi akar dari tindak kriminal semacam ini. Namun, bagaimana Alquran memandang tindakan seperti ini? Apakah Islam hanya menghukum tanpa mempertimbangkan latar belakang pelaku?
Alquran dan Perspektif Keadilan yang Berkeadaban
Alquran memang menegaskan bahwa pencurian adalah perbuatan terlarang. Dalam Q.S. al-Mā’idah: 38 disebutkan:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Namun, ayat ini tidak berdiri sendiri. Ulama tafsir, seperti al-Qurṭubī dalam al-Jāmiʿ li Aḥkām al-Qur’ān, menjelaskan bahwa penerapan hukuman potong tangan tidak berlaku sembarangan. Ada banyak syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi: barang curian harus mencapai nilai nisab tertentu, dilakukan dengan niat mencuri, bukan karena terpaksa atau dalam kondisi darurat, dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bukan terang-terangan karena kebutuhan hidup.
Ibnu Taymiyyah bahkan secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang mencuri karena kelaparan, maka tidak dikenakan hukum potong tangan, melainkan negara wajib memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, hukum pidana tidak kaku, melainkan memperhatikan konteks sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.
Solusi Alquran: Bukan Hanya Hukuman, tapi Perlindungan Sosial
Jika ditelusuri lebih jauh, Alquran banyak berbicara tentang keadilan sosial dan kewajiban menolong fakir miskin. Dalam Q.S. Al-Baqarah: 273, Allah berfirman:
لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ࣖ
(Apa pun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Tahu tentang itu.
Baca juga: Al-Baqarah Ayat 188 dan Relevansinya dengan Tindakan Korupsi
Ayat ini menggambarkan bahwa sebagian orang miskin tidak meminta-minta, tetapi kebutuhan mereka tetap mendesak. Di sinilah masyarakat dan negara seharusnya hadir. Memberi sebelum diminta. Menyantuni sebelum terlambat.
Alquran tidak hanya menurunkan hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi juga mewajibkan zakat, infak, dan sedekah sebagai mekanisme pencegahan terhadap munculnya kejahatan karena kemiskinan.
Maqāṣid al-Syari’ah: Menjaga Jiwa dan Kesejahteraan
Dalam kerangka maqaṣid al-syari‘ah, tindakan mencuri karena kelaparan termasuk dalam situasi darurat (ḍarūrah). Tujuan utama syariat adalah menjaga agama (ḥifẓ al-din), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-mal). Namun, dalam kondisi darurat, menjaga jiwa menjadi prioritas utama.
Ketika seseorang mencuri demi menyelamatkan hidupnya atau anak-anaknya dari kelaparan, maka perbuatan itu tidak bisa disamakan dengan pencurian karena serakah. Dalam kaidah fikih disebutkan:
“Ad-darūrātu tubīḥ al-maḥẓūrāt”
Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.
Namun, bukan berarti Islam melegalkan pencurian. Justru, Islam mengajak semua pihak; individu, masyarakat, dan negara untuk menciptakan sistem sosial yang adil sehingga tak seorang pun harus memilih antara mencuri atau mati kelaparan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pertama, hentikan budaya menyalahkan korban keadaan. Bukan berarti membenarkan pencurian, tapi memahami latar belakangnya. Jangan sampai kita menjadi masyarakat yang sibuk menghukum tanpa menyediakan solusi.
Kedua, dorong sistem jaminan sosial yang lebih adil. Islam sudah mencontohkan lewat konsep zakat, baitul mal, dan infak wajib untuk orang miskin. Negara modern pun bisa menyesuaikannya lewat program bantuan langsung yang menyeluruh dan tepat sasaran.
Baca juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 2)
Ketiga, jadikan Alquran bukan hanya sebagai bacaan, tapi sumber inspirasi sosial. Ayat-ayat yang menekankan pentingnya membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan melindungi hak orang lemah, harus menjadi pedoman dalam merancang kebijakan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Pencurian karena terpaksa bukan hanya persoalan kriminalitas, ia bisa juga karena jeritan sosial dari mereka yang tersisih. Nah, di sini Alquran mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya memberi hukuman, tetapi juga mencegah penderitaan. Sudah saatnya kita membaca Alquran bukan hanya dengan lidah, tapi juga dengan hati dan empati.