Kamis lalu, ada naskah master mushaf dengan konten suplemen ayat mutasyabihat (ayat-ayat mirip) yang sedang ditashih oleh teman-teman pentashih LPMQ. Hal ini menjadi diskusi menarik antara kami. Jadi, satu halaman naskah tersebut memiliki hamisy berupa informasi nama surah, nomor ayat, dan halaman mana yang berlafaz mirip dengan ayat tertentu di halaman tersebut. Kata saya, mushaf ini mirip seperti at-Tibyan al-Mufashshal yang disusun oleh Syekh Yasir Bayyumi, dosen Al-Azhar Mesir.
Lalu kemarin, ketika scroll Instagram. Saya menemukan faidah dzahabiyyah di postingan @huffadzkrapyak tentang al-‘inayah bil ayah al-wahiidah. Sebuah tips mengingat ayat mutasyabihat dengan berfokus pada lafaz/kalimat yang beda sendiri dari kalimat miripannya. Anomali, kalau kata tren sekarang.
Dua momen ini membuat saya bernostalgia saat beberapa tahun lalu sowan ke al-muqri’ah Ustadzah Ihsan, Lc. MA. asal Kota Banjarmasin. Putri Dr. KH. M. Saberan Afandi, MA. yang konon merupakan doktor hadits pertama di Asia Tenggara.
Baca juga: Hidayatus Shibyan, Kitab Tajwid Dasar yang Banyak Diajarkan di Pesantren
Ketika saya menanyai Ustadzah Ihsan tentang trik beliau untuk mengingat ayat mutasyabihat, beliau memberikan jawaban unik yang belum pernah saya temui: “Nazhomkan Hidayatush Shibyan”, ujar beliau.
Hidayatush Shibyan li Fahmi Musykilil Qur’an (bukan Hidayatush Shibyan fi Tajwidil Qur’an) merupakan nazam dengan 142 bait yang digubah oleh Syekh al-Mihiy. Jika anda pernah belajar Tuhfatul Athfal, pasti familiar dengan laqab beliau. ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad al-Mihiy nama panjangnya. Gelarnya “Nuruddin”. Tuhfatul Athfal merupakan output Sulaiman al-Jamzury setelah berguru dengan al-Mihiy.
سَمَّيْتُهُ بِتُحْفَةِ الْأَطْفَالِ * عَنْ شَيْخِنَا الْـمِيهِىِّ ذِي الْكَمَالِ
“Aku beri nama (nazam) ini Tuhfatul Athfal.”
*
“(Kuriwayatkan) Dari guru kami, al-Mihiy yang mempunyai kesempurnaan.”
Namun setelah dibaca-baca, saya jadi paham, mengapa nazam ini kurang masyhur di tradisi tahfizh Alquran kita. Ternyata nazam ini hanya mencakup hingga Surah adz-Dzariyat. Selain itu, perlu beberapa kali jeda berpikir untuk memahami bait-bait Hidayatush Shibyan ini. Itupun masih susah mendapat maksudnya.
Misalnya untaian bait ke-130 ini:
فَأَقْبَلَ ٱلثَّانِي بِذِبْحٍ وَٱلْقَلَمْ * وَأَقْبَلَ ْٱلطُّورِ وَأُوْلَى ٱلذِّبْحِ ثَمّْ
Jika dibaca sekali-dua, sepertinya belum bisa dipahami maksud bait ini. Paling yang sekilas dapat ditangkap adalah bait ini menyangkut Surah al-Qalam dan ath-Thur.
Baca juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir
Nazam ini rasanya tidak untuk kalangan pemula, seperti saya. Dan ini sempat membuat saya sepintas sinis. “Ah, ini tak perlu diketahui”. Namun pikiran itu langsung diusir oleh semangat ihya’ut turots.
Diperlukan kemampuan memahami dan mengoordinasikan untaian bait dengan hafalan Al-Qur’an yang dimiliki. Artinya, mensyaratkan kemampuan kebahasaan, nalar dhobith dan hafalan yang mutqin 30 juz.
Oleh karena itu, Ihsan menyarankan untuk nazhoman sambil membaca syarahnya dulu agar paham maksud Syekh al-Mihiy. Nanti seiring waktu, hafalan nazam akan diiringi pemahaman.
Syarahnya berjudul Mauriduzh Zham’an karya Dr. ‘Abdul Waliy Abu Bakar ‘Abdul Waliy, anggota Lajnah Muraja’ah/Tashih Mushaf Alquran Mesir. Syarah ini juga telah ditinjau ulang dan ditashih oleh Syekh Mahmud Amin Thonthowi, Kepala Lajnah Mesir periode 1998-2004.
Mauriduzh Zham’an sukses menerangkan dengan ringkas dan lugas nazam al-Mihiy. Begitu menukil bait nazam, ‘Abdul Waliy langsung menuliskan ayat-ayat yang dimaksud di bawahnya. Ia juga memberikan tanda baca tertentu pada bait, dan membuat kategorisasi berdasarkan surah. Sangat memudahkan pembaca.
Baca juga: ‘Mutasyabih Nadzm’: Corak Baru dalam Elaborasi ‘I’jaz Al-Qur’an’
Mari kita baca kembali bait 130 tadi, tapi melalui POV ‘Abdul Waliy:
)فَأَقْبَلَ( ٱلثَّانِي بِذِبْحٍ وَٱلْقَلَمْ * )وَأَقْبَلَ( ْٱلطُّورِ وَأُوْلَى ٱلذِّبْحِ ثَمّْ
“Fa aqbala itu letaknya kedua (setelah wa aqbala) pada adz-Dzibh (ash-Shaffat) dan al-Qalam.”
*
“(Sedangkan) Wa aqbala ada pada ath-Thur dan lebih dahulu pada adz-Dzibh secara urutan.”
Tanda kurung seketika memberikan pemahaman, bahwa maksud bait ini adalah kemiripan kata فَأَقْبَلَ (ayat 50) dan وَأَقْبَلَ (ayat 27). Yang terdapat pada Surah ash-Shaffat (diistilahi al-Mihiy dengan “adz-Dzibh” karena surah itu menceritakan penyembelihan Nabi Isma’il a.s.). Dan juga pada al-Qalam (ayat 30) dan ath-Thur (ayat 25).
Pada akhirnya, nazam ini takkan berdampak apa-apa pada hafalan, jika tiada tanggungjawab untuk muraja’ah. Hidayatush Shibyan hanyalah bantuan, bukan tujuan. Dr. Hj. Umi Husnul Khatimah, anggota tim pelaksana ahli pentashihan LPMQ pernah menasehati penulis, “Baca saja, muraja’ah. Tugasmu cuma itu, sisanya Allah yang memudahkan.”
Wallahu waliyyut taufiq.