Di era algoritma ini, lahwul hadits menjadi salah satu penyebab krisis standar hidup yang dialami manusia tanpa sadar. Manusia hidup berdampingan dengan beragam tren digital yang selalu hadir dengan wajah baru. Konten-konten yang bersliweran di gawai kecil masuk begitu saja, mengisi ruang pikiran tanpa peduli layak atau tidaknya dikonsumsi otak. Pada akhirnya, banyak orang menjadikan konten-konten media sosial sebagai standar hidup secara cuma-cuma, meski sering kali isinya hanyalah lahwul hadits—ucapan kosong yang melalaikan.
Baca Juga: Memilih Circle di Media Sosial: Pelajaran dari Surah Al-Kahfi
Padahal, tidak semua konten layak ditelan mentah-mentah tanpa difilter terlebih dahulu. Ada oknum yang sengaja menjerumuskan orang-orang yang berselancar di media sosial dengan lahwul hadits: konten menyesatkan, tidak terbukti secara ilmiah, bahkan bertolak belakang dengan kebenaran. Ironisnya, semua itu dibungkus semenarik mungkin hingga tak tampak celah penyelewengannya. Fenomena ini telah diingatkan Alquran dalam Surah Luqman ayat 6:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۖ
Di antara manusia ada orang yang membeli percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu
Dalam Tafsir al-Maraghi [21/74], ayat ini dijelaskan sebagai peringatan terhadap sekelompok manusia yang lebih memilih hal-hal yang melalaikan dibandingkan pembicaraan yang bermanfaat. Mereka menjadikan dongeng, mitos, lelucon, dan cerita kosong sebagai konsumsi utama, bahkan digunakan sebagai alat untuk menghalangi orang dari agama Allah.
Tindakan semacam ini tidak sekadar berhenti pada penyimpangan individu, namun telah menjadi industri yang mengakar. Dalam penjelasan al-Maraghi, disebutkan contoh seperti Nadhr bin al-Harits yang membeli buku-buku cerita asing untuk kemudian diceritakan kepada masyarakat sebagai tandingan terhadap Alquran. Ia bahkan membayar wanita-wanita untuk menggoda para pemuda muslim agar meninggalkan Islam. Semuanya dibungkus dalam bentuk hiburan yang tujuannya bukan sekadar menghibur, tapi menyesatkan dari jalan Allah secara terselubung.
Baca Juga: Karakter Orang-orang yang Lalai (Ghâfilin) Menurut Alquran
Kini, lahwul hadits hadir dalam rupa yang lebih canggih, yaitu berupa konten digital estetik, tren musik, suara narator meyakinkan, atau potongan video yang memprovokasi. Banyak di antaranya menggiring opini dengan narasi semu seperti, “Jangan berharap balasan dari kebaikan dari siapapun, dunia tidak seadil itu” atau “Selain donatur, dilarang ngatur.” Pesan-pesan semacam ini terdengar realistis, padahal jika ditelaah mendalam, justru seperti ini malah bentuk modern dari lahwul hadits.
Krisis standar hidup pun lahir dari sini. Orang tak lagi menjadikan sumber ajaran Islam sebagai kompas, tetapi justru menjadikan konten viral sebagai patokan. Nilai diukur bukan dari benar atau salah menurut agama, tapi seberapa relate dengan nafsunya sendiri, seberapa relate dengan tren yang ada. Yang dikejar bukan lagi keridaan Allah, tapi validasi digital. Ayat ini benar-benar menjadi cermin zaman bahwa ketika informasi tidak ditimbang dengan ilmu dan iman, lahwul hadits akan menjelma kiblat baru, menggantikan petunjuk yang benar.
Karena itu, umat Islam wajib membentengi diri dari krisis standar hidup akibat lahwul hadits. Caranya bukan sekadar meninggalkan konten menyesatkan, tetapi juga dengan senantiasa membentengi diri dengan ilmu, menyaring apa yang masuk ke pikiran, dan menjaga hati agar tak larut dalam arus hiburan menipu. Berhati-hati terhadap lahwul hadits bukan berarti menjauhi hiburan atau media sosial sepenuhnya. Namun, kita harus bijak memilih perihal bagaimana informasinya, menimbang manfaatnya, dan menjadikannya dasar dalam bersikap serta mengambil keputusan hidup. Tidak semua hal viral membawa kebenaran; tidak semua yang populer layak diikuti.
Baca Juga: Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur’ani
Algoritma akan terus menyuguhkan apa yang manusia sukai, tanpa peduli benar atau salah menurut agama. Maka, kemampuan memilah dengan akal sehat dan hati yang terdidik oleh ilmu adalah kunci agar manusia tidak terjebak dalam lahwul hadits. Mari jadikan Alquran sebagai standar utama dalam hidup. Ukur segala sesuatu dengan timbangan ilmu, bukan popularitas. Jika tidak, kita akan menjadi generasi tanpa arah, diseret arus tren sesat, dan tenggelam dalam lahwul hadits yang menyesatkan.