Figur Nabi Yusuf a.s. sering dikenal sebagai teladan kesabaran dalam menghadapi penderitaan, mulai dari tragedi pembuangan beliau ke dalam sumur, perbudakan, hingga dimasukkan ke penjara. Selain itu, pelajaran penting dari kisah beliau juga terdapat di saat setelah beliau keluar dari penjara, sebut saja ketika masa penderitaan itu telah usai dan beliau berada di puncak kekuasaan. Kajian pada bagian ini sering diistilahkan dengan profesionalitas Nabi Yusuf sebagai seorang profesional, teknokrat, atau seorang pemimpin.
Kisah Nabi Yusuf adalah cerminan abadi bagi para profesional dalam menghadapi tantangan profesinya, misal cara mengelola wewenang, menavigasi godaan, dan memimpin di tengah krisis dengan integritas yang tidak tergoyahkan. Profesionalitasnya menawarkan sebuah kurikulum yang sangat relevan bagi siapa pun yang memegang amanah, sekecil apa pun itu.
Baca Juga: Kisah Nabi Yusuf: Kisah yang Tidak Diulang
Proaktif dan Kompeten dalam Mengambil Inisiatif Berbasis Keahlian
Profesionalitas Nabi Yusuf tidak dimulai saat beliau sudah duduk di kursi kekuasaan, melainkan saat beliau melihat ada sebuah masalah yang membutuhkan solusi, dan pada waktu itu adalah teka teki mimpi raja.
Setelah berhasil menakwilkan mimpi raja, beliau secara proaktif menawarkan dirinya, bukan karena ambisi buta, melainkan karena kesadaran penuh atas kompetensinya. Hal ini terabadikan dalam Surah Yusuf, ayat 55,
قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ
Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
Ibnu Katsir (4/339) menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Nabi Yusuf menonjolkan keahliannya karena ada kebutuhan mendesak, dan hal ini diperbolehkan. Sedang Ibn Ashur (13/9) menggarisbawahi bahwa permintaan Yusuf ini bukanlah untuk kepentingan pribadi, melainkan sebuah inisiatif untuk “melaksanakan kemaslahatan umat.”
Di dunia kerja modern yang seringkali menuntut karyawan untuk pasif, sikap Yusuf adalah sebuah kritik yang tajam. Yusuf mengajarkan bahwa profesionalitas sejati dimulai dari inisiatif proaktif yang didasari kompetensi yang membedakan antara sekadar pekerja dengan seorang calon pemimpin.
Baca Juga: Doa Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf Ayat 33
Amanah dan Keadilan dalam Mengelola Sumber Daya di Tengah Krisis
Memegang jabatan sebagai orang yang menguasai seluruh cadangan pangan Mesir adalah posisi yang sangat rentan terhadap korupsi. Di sinilah pilar profesionalitas Nabi Yusuf diuji, yakni amanah. Hal ini tercermin dari ucapan beliau sendiri kepada saudara-saudaranya saat mereka pertama kali datang meminta bantuan. Sebagaimana disebutkan dalam surah Yusuf, ayat 59,
وَلَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ قَالَ ائْتُوْنِيْ بِاَخٍ لَّكُمْ مِّنْ اَبِيْكُمْ ۚ اَلَا تَرَوْنَ اَنِّيْٓ اُوْفِى الْكَيْلَ وَاَنَا۠ خَيْرُ الْمُنْزِلِيْنَ
Ketika dia (Yusuf) menyiapkan perbekalan (bahan makanan) untuk mereka, dia berkata, “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah denganmu (Bunyamin). Tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran (gandum) dan aku adalah sebaik-baiknya penerima tamu?
Frasa “aku menyempurnakan takaran” adalah sebuah deklarasi integritas. Menurut para mufasir, ucapan ini memiliki dua fungsi strategis, yaitu sebagai penegasan standar profesionalismenya yang adil, sekaligus sebagai insentif untuk meyakinkan saudara-saudaranya agar mau kembali lagi ke Mesir (Ibn Katsîr, 3/340–341).
“Perbendaharaan negara” di zaman sekarang mungkin berupa anggaran proyek, data, atau pengaruh kebijakan. Kisah Yusuf mengajukan sebuah pertanyaan provokatif, apakah sumber daya itu dikelola dengan kesadaran bahwa ia akan diaudit oleh Tuhan, bukan sekadar oleh auditor manusia?
Profesionalisme vs. Nepotisme dalam Menegakkan Aturan Tanpa Pandang Bulu
Ujian etika yang paling personal datang ketika saudara-saudaranya, yang pernah membuangnya ke sumur, kini berdiri di hadapannya. Nabi Yusuf tetap menjalankan tugasnya secara profesional, menerapkan aturan yang sama bagi semua orang. Beliau bahkan memberikan syarat tegas kepada mereka, seperti yang tertera dalam surah Yusuf, ayat 60,
فَاِنْ لَّمْ تَأْتُوْنِيْ بِهٖ فَلَا كَيْلَ لَكُمْ عِنْدِيْ وَلَا تَقْرَبُوْنِ
“Maka jika kamu tidak membawanya (Bunyamin) kepadaku, maka kamu tidak akan mendapat jatah gandum lagi dariku dan janganlah kamu mendekatiku.”
Dengan menetapkan syarat ini, Nabi Yusuf menunjukkan bahwa hukum dan prosedur negara berlaku untuk semua. Ini adalah manifestasi dari kemampuannya untuk menarik garis batas yang tegas antara urusan personal dan tanggung jawab profesional.
Tentu saja, sikap Nabi Yusuf ini adalah tamparan keras bagi budaya nepotisme dan konflik kepentingan. Beliau mengajarkan bahwa seorang profesional sejati harus mampu menundukkan sentimen pribadi di bawah supremasi aturan dan keadilan.
Baca Juga: Ada Isyarat Mitigasi Bencana dalam Mimpi Sang Raja di Kisah Nabi Yusuf
Kekuasaan yang Memaafkan, Bukan Menghancurkan
Puncak dari etika kepemimpinan Yusuf adalah saat beliau akhirnya mengungkapkan jati dirinya. Di momen itu, saudara-saudaranya berada di titik terlemah. Beliau memiliki segala kuasa untuk membalas dendam. Namun, beliau memilih jalan yang sebaliknya dan diabadikan dalam Surah Yusuf, ayat 92,
قَالَ لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَۗ يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكُمْ ۖوَهُوَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ
Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu…”
Prinsip bahwa kisah-kisah Alquran disajikan untuk menjadi pelajaran (‘ibrah) ditegaskan di akhir surah Yusuf itu sendiri (Q.S. Yusuf: 111), sebuah prinsip yang juga disoroti oleh Imam Ar-Razi dalam tafsirnya (18/298).
Puncak dari pelajaran etika kekuasaan dalam surah ini adalah momen pengampunan Nabi Yusuf. Tindakannya menunjukkan bahwa kekuasaan yang sesungguhnya tidak diukur dari kemampuan untuk menghancurkan, melainkan dari kemampuan untuk memaafkan dan menyembuhkan luka.
Sikap Nabi Yusuf ini memberikan pelajaran etika tertinggi bagi setiap pemimpin atau manajer. Di dunia profesional, sering kali seseorang meraih posisi di atas mereka yang pernah meremehkan atau menghalanginya. Godaan untuk menggunakan kekuasaan baru itu untuk “membalas” atau menyingkirkan “musuh” lama sangatlah besar, akan tetapi, Nabi Yusuf mengajarkan bahwa puncak kepemimpinan bukanlah unjuk kuasa, melainkan kemampuan untuk merangkul, mengubah potensi konflik masa lalu menjadi kekuatan kolaboratif untuk masa depan.
Penutup
Pada akhirnya, kisah Nabi Yusuf A.S. bukanlah sekadar riwayat, melainkan sebuah kurikulum utuh tentang etika kepemimpinan dan profesionalitas. Beliau mengajarkan serangkaian pelajaran abadi, bahwa seorang profesional sejati harus memulai dengan inisiatif proaktif yang berbasis kompetensi; menjalankan amanah dengan keadilan dan integritas mutlak; mampu menegakkan profesionalisme di atas sentimen pribadi; dan yang terpenting, di puncak kekuasaan, etika itu disempurnakan dengan kemampuan menggunakan wewenang untuk memaafkan. Keempat pelajaran inilah yang membentuk cetak biru seorang pemimpin yang tidak hanya sukses di mata manusia, tetapi juga mulia di hadapan Tuhan. Wallahu ‘alam.